Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sepeda-sepeda itu Membawaku ke Bivak

8 November 2018   16:03 Diperbarui: 8 November 2018   16:18 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jalan menuju SD Negeri 12 Juli Bivak

Tanpa terasa, walau hanya barus sebentar, suara azan magrib mulai bergema. Kami memutuskan untuk singgah di rumah adikku iparku di Meurandeh Alue, Ule Gle untuk salat magrib dan inginnya mandi. Namun, karena kelelahan, usai salat magrib aku dan Iqbal membaringkan badan sejenak di kamar yang sudah disediakan adik iparku. Ternyata, entah karena kelelahan, kedua kami tertidur dan baru terbangun tengah malam. Tentu saja perjalanan tidak bisa dilanjutkan, kecuali melaksanakan salat isya. Akhirnya perjalanan ke Bireun dilanjutkan di pagi hari, pada pukul 07.00 WIB. Perjalanan ke Bireun tidak lama, hanya sekitar 45 menit bisa tiba di kota Bireun yang disebut kota Juang itu.

Kebiasaan di pagi hari, perut ingin diisi dahulu bersama segelas kopi. Maka, ketika mendekati kota Bireun, aku mengambil HP dan menelpon teman yang sekalian adil letting yang kuliah di FKIP Bahasa Inggris di Unsyiah dahulu. Ia mengajaku kami menikmati sajian sarapan di sebuah warung di kota Juang itu. Tak berapa lama, Pak Jakfar Kobar pun datang, lalu kami bercengkerama sejenak. Karena aku dan Iqbal akan melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Juli, menemui Pak Iskandar yang sudah menunggu kami. Jarak Bireun ke Juli hanya sekitar 5 kilometer. Maka, usai ngopi kami meluncur ke Juli untuk selanjutnya ke lokasi pembagian sepeda.

 

Pak Iskandar yang sudah lama menunggu, terlihat di pinggir jalan dengan kemeja putihnya.  Aku menghentikan kenderaan di depan warung dan turun menjumpai Pak Iskandar. Ada teman-temannya mengajak kami minum, namun karena takut tidak cukup waktu, aku memutuskan untuk langsung ke lokasi pengantarana sepeda tersebut. Pak Iskandar yang menunjukan jalan. Beranjak dari kilometer 5, kami tiba di kilometer 11, setelah melewati sebuah jembatan panjang. Pak Iskandar memintaku belok ke kanan, masuk ke jalan yang mengarah ke SD Bivak. Jalan itu adalah wilayah pegunungan yang menjadi tapal batas antara Bireun dan Takengon serta Bener Meriah. Aku harus mengemudikan mobil dengan penuh hati-hati. Soalnya kondisi jalan yang berliku-liku, ada yang licin dan berbatu-batu. Ada jalan yang sudah beraspal dan rusak, ada pula yang masih batu-batu. Untunglah dari sekian kilometer jalan itu, ada jalan yang mulus, yang kata orang kampung di sekitar itu, jalan itu adalah jalan yang dibangun oleh Kausar, anggota DPRA yang mungkin menggunakan dana aspirasinya untuk jalan itu. Walau tidak semua jalan diaspal, tetapi sudah sangat membantu hingga kami bisa sampai ke Bivak.

jalan menuju SD Negeri 12 Juli Bivak
jalan menuju SD Negeri 12 Juli Bivak
 

Perjalanan ke Bivak, dilalui dengan melewati  daerah semak-semak, sungai, bukit dan hutan sawit serta jalan berbatu-batu. Alahmdulilah kami tiba di sebuah kampung yang bernama Sarah Sirong, Blang Rhe. Tiba di Sarah Sirong, ternyata belum sampai ke sekolah yang dituju. Kami harus melewati sebuah jembatan gantung. Aku terus terang tidak berani mengemudi mobil di atas jembatan gantung tersebut. Ya, aku tidak mau ambil risiko. Akhirnya Pak Iskandar yang kepala sekolah tersebut, meminta jasa dua orang guru menjemput aku dan Iqbal di seberang sungai. Kedua guru tersebut membawa masing-masing satu sepeda motor, lalu mengantarkan kami ke sekolah SD Negeri 12 yang berlokasi di Gampong Krueng Simpo Bivak. Betapa kagetnya ketika menuju sekolah tersebut yang letaknya tidak jauh dari bukit-bukit yang sudah disulap jadi kebun sawit itu. Sebuah sekolah yang letaknya jauh dari rumah penduduk dan ditutup oleh pohon-pohon besar. Bisa jadi, hampir tdak banyak orang yang tahu, kalau di situ ada sebuah sekolah yang sedang mendidik dan mengajar  sebanyak 72 anak dari desa yang dibelah oleh sungai (Krueng Simpo Bivak) itu. 

 

Sekolah yang terkesan " hidden building" ini ternyata sekolah minim dalam berbagai hal. Dari sudut peserta didik, anak-anak yang bersekolah di sekolah ini adalah anak-anak dari kalangan miskin dan ekonomi lemah. Mereka hidup di rumah yang jauh dari layak. Berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Hanya beberapa di antara mereka yang menggunakan sepeda dengan merek-merek dan kualitas seadanya. Bagi  pembaca yang sudah pernah memasuki kampung di pedalaman, bisa bayangan apa yang bisa terjadi terhadap anak, terutama anak-anak perempuan yang berjalan kaki sendiri, melewati jalan berbatu lebih dari 3 kilometer? Sangat berbahaya bukan? Itulah faktanya,  hingga mereka ada yang menggantungkan sepatu di leher. 

Sekolah serba minim itu
Sekolah serba minim itu
Hal lain yang menyedihkan, ternyata fasilitas belajar di sekolah ini sangat minim. Sekolah yang memiliki 6 guru negeri (PNS) dan 6 guru honor yang sudah berbakti bertahun-tahun ini, seperti diakui oleh kepala Sekolahnya sangat minim akan peralatan belajar. Miskin bacaan, media belajar dan bahkan kepala sekolah ketika pertama bertugas di sekolah ini terpaksa meminjam bangku dan meja sekolah ke sekolah lain. Ya, ia harus meminjam sebanyak 40 bangku dan meja daro SD Negeri 3 Juli dan SD Negeri 10 Juli. Ya, statunya pinjaman. Ironis sekali bukan?

Memang dan pasti sangat ironis. Aceh yang katanya kaya dan bahkan istimewa di bidang pendidikan, dalam realitasnya menyimpan potret kemiskinan sekolah, terutama sekolah yang jauh dari pusat kekuasaan. Maka, wajar kalau kami datang untuk bisa berkontribusi membantu sepeda agar anak-anak yatim, yatim piatu dan miskin itu bisa bersekolah dengan sepeda yang kami antarkan kepada mereka. Alhamdulillah, 8 orang anak di desa itu mendapatkan bantuan sepeda, agar mudah berangkat ke sekolah untuk membangun masa depan yang lebih baik. Siapa tahu, diantara mereka kelak menjadi pejabat dan orang kaya yang peduli dan mau membantu orang miskin lain, pasti akan sangat membantu. Semoga mereka bisa bangkut menjadi generasi bangsa yang hebat dan cerdas. Amin.

photo-2018-09-12-13-38-33-5be3fbd26ddcae7ba07e9fd2.jpg
photo-2018-09-12-13-38-33-5be3fbd26ddcae7ba07e9fd2.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun