Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Generasi Lem Masuk Kampung

4 November 2018   06:56 Diperbarui: 4 November 2019   14:17 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, ketika sedang menanggapi postingan di facebookku, Tabrani Yunis Dua tentang anak-anak SD di Bima, Nusa Tenggara barat (NTB)  yang sedang menikmati sajian dari majalah Anak Cerdas dan majalah POTRET, dalam sebuah tanggapan teman, ia mengirimkan sebuah foto yang mendorongku untuk menulis lagi mala mini.  Padahal, sudah lumayan lama, aku tidak muncul, tidak menulis di Kompasiana, karena banyak alasan. 

Ternyata, postingan teman tersebut, mampu memantik minat menulis malam ini, walau waktu sudah menunjukan pukul 23.20 WIB. Untuk wilayah Banda Aceh, waktu seperti ini masih banyak orang yang duduk berbincang di warung kopi. Begitulah kehidupan kebanyakan orang Aceh saat ini, yang sebagian waktu mereka habis di warung kopi.

Kendatipun sudah larut malam dan masih banyak orang di warung kopi, tulisan ini ditulis bukan ingin bercerita soal orang-orang di warung kopi, tetapi ingin bercerita soal realitas social. Soal kehidupan anak-anak, pemilik generasi milenial, atau bahkan pemilik dan pelaku generasi Z. Mereka adalah anak-anak yang harus tumbuh menjadi generasi emas, yang akan menjadi pewaris negeri ini. Namun apa yang terjadi?

 Sebuah foto yang dikirimkan oleh teman, yang merupakan praktisi pendidikan yang bertugas di pedalaman Aceh. Sebuah kampung yang letaknya sekitar 30 kilometer dari kota Bireun, Aceh itu. 

Sang teman mengirimkan foto yang terlihat ada 11 murid SD yang sedang dilakukan pembinaan. Artinya mereka dipanggil ke ruang guru untuk dinasihati dan dibina, karena ternyata ke sebelas murid SD yang berada di tengah semak, di kaki gunung Goh itu,  yang bisa ditempuh dengan menggunakan kenderaan roda dua itu, selama ini sudah sangat sering melakukan kegiatan yang membahayakan. 

Anak-anak ini memiliki kebiasan buruk yang bisa membahayakan masa depan mereka. Mereka sudah sangat sering mengisap lem (ngelem) cap kambing, yang biasa digunakan untuk menempel ban sepeda. Mengisap lem agar mereka bisa fly,  terlena alias teler,tidak ubahnya seperti orang yang mabuk kepayang, merasa melayang-layang, hingga ketagihan.

 Nah, ketika menerima dan melihat kiriman foto tersebut, mengingatkan kembali penulis bahwa kala itu, saat dalam perjalanan mengantarkan bantuan sepeda  kepada sebanyak 10 penerima dari wilayah desa yang terletak di lereng gunung Goh itu. 

Sambil mengendari mobil, seperti biasa mengantarkan sendiri bantuan tersebut dengan teman di kantor majalah POTRET aku terus bertanya tentang keadaan lokasi tempat tinggal ke 10 anak yang menerima bantuan  sepeda dari sumbangan para donator lewat program 1000 sepeda dan kursi roda ini.  Ya, seperti apa kondisi kehidupan dan kebiasaan yang dilakukan oleh  anak-anak yatim, yatim piatu, anak miskin dan disabllitas sehari-hari  dan sebagainya.  

Sebagaimana diketahui bahwa ini adalah sebuah perjalanan yang memberikan pengalaman baru ke daerah yang belum pernah kami pergi dan ketahui. Maka, wajar saja bila dalam perjalanan menuju sekolah yang kami ketahui sebagai SD terpencil dan jauh di pedalaman tersebut,  berbagai pertanyaan keluar di pikiran.  Semua pertanyaan yang diajukan direspon oleh sang teman. 

Sehubungan dengan maraknya kasus narkoba di Aceh,  aku bertanya, bagaimana dengan kehidupan social masyarakat di daerah itu. Aku langsung bertanya, apakah kasus-kasus penyalahgunaan narkoba di daerah ini parah?  Beliau menjawab, tampaknya tidak.. Namun,  ada yang parah  dan menjadi keprihatian kami bahwa kami menemukan kasus  sejumlah anak yang suka ngelem. Apa itu ngelem? Ya ada kebiasaan sejumlah anak yang mengisap lem, biasanya lem cap kambing.

Dengan penuh penasaran, aku bertanya kepada sang teman tersebut perihal ada sejumlah anak yang ngelem. Ia pun menceritakan panjang lebar soal realitas itu. Namun, karena ia masih baru di daerah tersebut, ia tidak berani mengambil tindakan tegas. Ia cendrung sangat hati-hati, agar tidak merusak suasana di sekolah dan masyarakat sekitar. Lalu, sebagai seorang yang peduli dan terbiasa menulis, kasus ini tentau sangat penting untuk ditulis. Sehingga muncul keiningan menulisnya, namun karena berbagai alsan, tidak sempat diuraikan dalam sebuah catatan atau tulisan. Inilah, baru saat ini i aku memaksakan diri duduk di depan laptop untuk menulis, sembari mengibati rindu menulis di Kompasiana. Kantuk pun tiba, maka jawaban yang paling baik adalah tidur dulu.

Back to the topic. Cerita teman tentang anak-anak yang suka mengisap lem tersebut, terus terang sangat memprihatinkan dan menggugahku untuk menyuarakan persoalan ini kepada para pihak yang peduli akan nasib anak-anak penerus bangsa ini. Kebiasan buruk anak-anak ini tidak boleh dibiarkan. Ini akan menjadi kasus besar, apalagi perilaku buruk semacam ini adalah masalah generasi bangsa yang harus ada upaya untuk mengeluarkan kebiasaan buruk anak-anak yang sudah terpapar dengan aktivitas mengisap lem tersebut. 

Semakin memprihatinkan apabila kita melihat  usia mereka yang masih usia anak SD,  masih di bawah umur. Pasti akan sangat membahayakan masa depan mereka. Bisa-bisa mereka akan tumbuh menjadi remaja yang abnormal atawa gila. Akan kemanakah mereka? Akan menjadi generasi emaskah mereka? Tentu tidak.

Sebenarnya, kasus-kasus anak-anak yang terpapar dengan lem cap kambing tersebut sebenar bukanlah hal baru. Kasus-kasus seperti itu memang  sudah berlangsung lama, terutama di kalangan anak-anak gelandang, anak-anak para pengemis di kota, seperti halnya di kota Banda Aceh atau kota-kota lain di tanah air.  

Beberapa tahun lalu, bahkan pasca bencana  tsunami, banyak bermunculan anak-anak yang melakukan kebiasan ngelem tersebut. Mereka seperti disebutkan di atas adalah anak-anak gelandangan, yang orang tua mereka juga para pengemis. 

Mereka konsumsi dalam artian mengisap lem yang membahayakan diri mereka, keluarga, dan masyarakat dan bahkan Negara. Bukan hal yang aneh ketika kita melihat di tangan mereka ada plastik putih yang mereka bawa lalu menghirup bau lem berkali-kali hingga mereka puas dan bahkan bisa merasa fly atau melayang-layang pikiran mereka. Sangat berbahaya bukan?

Oleh sebab itu,  semua orang hendaknya peduli terhadap masalah seperti ini. semua orang harus membantu meluruskan kembali tujuan hidup anakanak seperti ini, sebelum mereka terperosok dan terapar lebih jauh dan lebih parah. 

Pihak sekolah, terutama harus bertindak dan bijak mengundang pihak keluarga anak untuk disampaikan dan membicarakan masalah ini, agar setiap pihak ikut mengontrol anak-anak yang kini tertapar kasus anak-anak yang ngelem tersebut. Ini perlu, karena di masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia saat ini terus diserang oleh penyalahgunaan narkoba. jangan sampai mereka yang masih sangat muda ini menjadi sasaran empuk penyalahgunaan narkoba kelak. Selayaknya kita saling peduli dan berikap lebih preventif dalam menyiapkan generasi bangsa yang dicita-citakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun