Membaca tulisannya Fitri Nurbaidah yang berjudul "Lanjut  Kuliah S2  atau kerja Dulu?" di Kompasiana, menarik untuk disimak dan sekaligus direspon. Paling tidak, ketika membaca judulnya saja, penulis menemukan dua hal.Â
Pertama adalah ide untuk menulis yang kemudian dituangkan dalam tulisan ini. Kedua mengingatkan penulis pada realitas para lulusan Perguruan Tinggi kita, yang setelah sarjana langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang S2.
Selain itu, yang menarik dari tulisan tersebut adalah ketika membaca  judulnya yang seakan menawarkan pilihan yang sangat tepat. Pilihan pertama adalah melanjutkan ke jenjang S2 dan tawaran atau pilihan kedua memilih bekerja.  Jadi, tidak ada tawaran atau pilihan ke tiga, yakni menganggur.Â
Dua pilihan itu seakan setiap sarjana baru, yang baru diwisuda oleh Universitas Negeri atau Swasta, sudah bisa langsung diterima di dunia kerja.
Padahal, secara faktual, saat ini banyak sekali sarjana yang menganggur karena tidak terserap oleh dunia kerja atau karena tidak diterima bekerja. Ini adalah akibat dari rendahnya kualitas sarjana yang disandang.
Jadi, masalahnya, bukan saja karena persoalan sempitnya lapangan kerja. Namun karena kualitas para sarjana yang ditolak oleh dunia kerja.Â
Akibatnya jumlah pengangguran, termasuk pengangguran intelektual terus meningkat setiap tahunnya. Sejalan dengan semakin banyaknya lulusan PT yang diwisuda sepanjang tahun di setiap tahunnya.
Berdasarkan laporan BEM KM FT UGM pada 17 Februari 2017, menyebutkan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 lalu, mencatat jumlah pengangguran di Republik Indonesia mencapai angka 7,02 Juta Jiwa (5,81 persen dari jumlah penduduk). Jumlah ini 6,22 % dari jumlah tersebut (sekitar 436 ribu jiwa) merupakan sarjana, atau minimal lulusan strata 1.Â
Idealnya, angka pengangguran sebuah negara berada di angka 3% untuk menemukan supply dan demand dari jumlah pencari kerja dan jumlah kebutuhan tenaga kerja. Namun faktanya tidak demikian, terbukti angka pengangguran kita jauh di atas angka 3 persen, yakni 6.22 persen.
Nah, tingginya jumlah pengangguran yang berpendidikan S1 di tanah air saat ini, walau sedang posisi diuntungkan oleh bonus demografi.
Ternyata bonus itu bukan menjadi bonus yang membawa untung besar, tetapi menjadi bonus yang rugi besar, karena sebagai bonus yang menguntungkan usia produktif seperti ini harus menjadi penganggur, karena banyak sarjana yang disebut sarjana kosong alias stupid.Â
Di satu sisi memiliki nilai IPK tinggi, tetapi rendah dalam kualitas banyak hal, termasuk kualitas kemampuan berkomunikasi dan pengembangan diri, karena selama kuliah hanya mengejar nilai atau angka-angka yang tidak bermakna itu.Â
Ditambah lagi, tidak memiliki kemampuan alternative seperti kemampuan entrepreneurship yang bisa memberikan mereka alternative agar tidak terpuruk sebagai penganggur.
Dalam kondisi seperti ini, maka saat ini, tidak heran kalau kita sering menjumpai para sarjana, lulusan Perguruan Tinggi yang karena tidak mendapat pekerjaan dan takut disebut penganggur, lalu kemudian melanjutkan ke jenjang S2.Â
Tentu tidak semua sarjana baru, bisa melanjutkan study ke jenjang S2. Sangat tergantung dengan kemampuan ekonomi orang tua atau keluarga.Â
Mereka berharap, setelah selesai S2 akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Sayangnya, dalam banyak kasus, setelah selesai S2 malah semakin sulit mendapatkan pekerjaan.Â
Sehingga, nasib mereka tidak ubahnya seperti sudah jatuh, tertimpa tangga. Banyak yang sudah dapat gelar S2, namun masih pada posisi job seekers, bukan sebagai job provider yang bisa menciptakan lapangan kerja.Â
Seharusnya, setelah mereka selesai S2, secara kualitas pasti lebih baik dan bahkan bukan lagi sebagai job seeker yang memerlukan bantuan, tetapi mampu paling kurang bisa mengatas persoalan sendiri, menciptakan lapangan kerja sendiri.Â
Ya, begitulah seharusnya, bisa menciptakan lapangan kerja sendiri dan lebih ideal, bisa memberi peluang kerja kepada orang lain. Namun, jangankan untuk membuka lapangan kerja bagi orang lain, untuk diri sendiri saja tidak ada.Â
Bahkan ada yang sudah kuliah dan mendapat beasiswa dari pemerintah daerah untuk belajar di luar negeri, sepulang dari negera barat, pulang-pulang meminta pekerjaan kepada pemerintah daerah.
Lalu, ketika mereka masih kalah bersaing merebut peluang kerja dengan yang sarjana S1 yang berkualitas, maka jalan keluar yang dicari adalah bekerja serabutan dan celakanya kalau bekerja di sektor yang tidak linier.Â
Masih lumayan bisa bekerja, apa jadinya kalau sehabis S2 kembali menganggur? Akankah melanjutkan lagi ke strata S3? Pasti semakin berat, bukan?Â
Bila memang begini yang terjadi, tidak salah apa kata orang. Bahwa banyak yang melanjutkan kuliah S2 karena untuk menunda masa pengangguran. Kalau sudah begini realitasnya, untuk apa kuliah hingga S2, kalau kemudian masih menganggur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H