Sejak menikah pada masa zaman PKI sudah mulai mengayam atap rumbia. Begitu ungkap Bu Basyariah, 70 tahun sambil tangannya terus menganyam atap rumbia di bawah kolong rumahnya yang terbuat dari papan itu. Bu Basyariah dengan suaminya Yahya yang lebih dikenal dengan sebutan Yah Tok, setiap hari mengayam atap rumbia untuk membiayai hidupnya sehari-hari.Â
Katanya, dalam sehari ia dan suaminya bisa membuat sekitar 20- 25 bingkai atap rumbia itu. Harga sebingkai atap dihargai hanya Rp 2.000,-. Ya, hanya dua ribu rupiah. Harga yang tidak sebanding dengan sulitnya mencari bahan dan lainnya.
Untunglah untuk mendapatkan daun rumbia, tidak jauh dari rumah kediaman mereka yang bisa mereka ambil secara gratis dari pohon rumbia yang dimiliki orang lain, karena pemilik lahan tidak menggunakan daun rumbia itu.
Nah, bisa dibayangkan, kalau dalam satu hari mereka bisa membuat sekitar 20 hingga 25 bingkai atap rumbia itu, berarti dalam sehari mereka hanya bisa menghasilkan rupiah sebanyak Rp 40.000 sampai dengan Rp 50.000,-. Itu belum termasuk biaya untuk membeli bambu dan tali rotan.
Jadi, berapa mereka bisa mendapatkan keuntungan, bila kita melihatnya dari kaca mata bisnis? Tentu saja tidak memiliki prospek yang cerah, bukan? Tentu saja tidak.
Bahkan lebih menyedihkan lagi, rupanya, walau dalam satu hari mereka bisa membuat 20-25 atap rumbia, Â bukan berarti mereka bisa mendapatkan langsung uang dalam hari itu.
Untuk menjual hasi kerjanya yang hanya 20-25 bingkai itu, ternyata tidak bisa menghasilkan uang langsung setelah mereka menyelesaikan semua itu.Â
Mereka harus keringkan dahulu sampai beberapa hari. Setelah kering, maka atap-atap rumbia itu diikat lagi dalam paket 100 buah. Setelah itu baru dijual. Biasanya pembeli yang datang ke tempat mereka untuk membeli atap dengan harga yang begitu murah. Ya, apa mau dikata, tidak ada pilihan lain.
Begitu sulit jalan yang dilalui. Ditambah lagi, untuk menjualnya, harus lewat agen yang mencari atap rumbia itu.Pembelinya yang lazim datang adalah para agen yang datang bila jumlah atap sudah ada beberapa paket. Berarti tidak bisa diperoleh uang setiap hari, tetapi tergantung kapan agen atap datang mengambil atau membelinya.
Sementara untuk kebutuhan dapur adalah setiap hari, tiga kali sehari. Lalu, bagaimana mereka bisa bertahan? Salah satu caranya adalah dengan meminjam dahulu uang pada agen. Bisa dibayangkan, bagaimana susahnya, bukan?
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya, hidup dengan membuat atap rumbia itu tidak bisa mencukupi biaya hidup sehari-hari. Namun mereka terpaksa atau harus membuat atau menjahit atap, karena hanya itu yang mereka bisa. Ya, begitulah ungkapan yang sering kita dengar dari orang-orang yang berjuang membangun kehidupan selama ini.Â
Apalagi seperti Bu Basyariah yang berlatar belakang pendidikan yang rendah, yang hanya belajar secara alami dari lingkungan sekitar. Apa yang bisa dilakukan oleh Bu Basyariah yang hanya bersekolah di kelas 2 Madarasah Ibtidaiyah Negeri ( MIN)?. Lebih perih lagi, ternayata sang suami malah tidak sekolah sama sekali.
Bila ditanya, mengapa tidak bersekolah? Maka, penyebabnya tidak lepas dari psoalan klasin, ya karena mereka dilahirkan dari keluarga miskin. Sudah menjadi pelajaran bagi kita selama ini bahwa kemiskinan ilmu dan harta juga akan mewariskan kemiskinan, apabila tidak dengan cerdas berusaha keluar dari belenggu kemiskinan.
Nah, untuk keluar dari belenggu kemiskinan tersebut kuncinya adalah memperbanyak atau memperkaya ilmu pengetahuan, ketrampilan dan membangun kesadaran baru.
Dengan latarbelakang pendidikan yang rendah memiliki 7 orang anak. Semua anak yang juga hanya bisa tamat SMA. Kendatipun mereka tergolong miskin, kata mereka, hingga saat ini belum pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah, misalnya rehab rumah atau mendapatkan bantuan modal usaha, kecuali raskin dan sarana kesehatan berupa pengobatan gratis saat ke rumah sakit.
Kini, di usia mereka yang semakin tua, Bu Basyariah pun sudah sering sakit-sakit. Ia sudah tidak sanggup berjalan, kecuali duduk di kolong rumah sambil menganyam atap. Itu pun ia lakukan bila tidak merasa sakit, bila sakit, maka ia akan tidur di dapurnya dan sang suami melakukan hal yang sama.
Idealnya, keluarga ini masuk dalam program pemberdayaan keluarga, baik oleh pemerintah, maupun oleh pihak-pihak lain agar mereka bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Namun apa daya, banyak keterbatasan yang membuat hidup mereka juga berjalan sesuai dengan kapasitas yang ada dan serba minim itu.
Tampaknya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat dihindari. Di saat kehidupan ekonomi yang semakin sulit dan berat, kebutuhan hidup harus dipenuhi. Menganyam atap rumbia pun tidak dapat ditinggalkan agar periuk tetap bisa menanak nasi.
Ya, untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mau tidak mau, harus mereka penuhi dengan menganyam atap rumbia.
Sama seperti kita, walau dalam jumlah yang relatif berbeda dengan kita, mereka juga setiap hari membutuhkan uang untuk membeli kebutuhan hidup, namun apa daya, dari pada tidak ada uang sama sekali, membuat atap rumbia dengan memanfaatkan potensi pohon rumbia di sekitar rumah adalah sebuah pilihan yang tidak bisa ditukar dengan yang lain.Â
Membuat atap itu keharusan, bila tidak, ya bisa lapar. Sementara orang-orang yang membutuhkan atap rumbia semakin jarang.
Lalu, apa yang mereka bisa buat? Ternyata, hidup memang sulit, namun semua harus dilalui. Yang penting jangan pernah menyerah pada kesulitan hidup. Semut yang di lubang batu saja bisa hidup.Â
Begitulah ketegaran mereka menganyam hidup dengan daun rumbia. Bagaimana pula kita bersikap? Masihkah kita peduli? Kita memang harus peduli dan mau melakukan sesuatu agar mereka bisa menikmati masa tua yang layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H