Apalagi seperti Bu Basyariah yang berlatar belakang pendidikan yang rendah, yang hanya belajar secara alami dari lingkungan sekitar. Apa yang bisa dilakukan oleh Bu Basyariah yang hanya bersekolah di kelas 2 Madarasah Ibtidaiyah Negeri ( MIN)?. Lebih perih lagi, ternayata sang suami malah tidak sekolah sama sekali.
Bila ditanya, mengapa tidak bersekolah? Maka, penyebabnya tidak lepas dari psoalan klasin, ya karena mereka dilahirkan dari keluarga miskin. Sudah menjadi pelajaran bagi kita selama ini bahwa kemiskinan ilmu dan harta juga akan mewariskan kemiskinan, apabila tidak dengan cerdas berusaha keluar dari belenggu kemiskinan.
Nah, untuk keluar dari belenggu kemiskinan tersebut kuncinya adalah memperbanyak atau memperkaya ilmu pengetahuan, ketrampilan dan membangun kesadaran baru.
Dengan latarbelakang pendidikan yang rendah memiliki 7 orang anak. Semua anak yang juga hanya bisa tamat SMA. Kendatipun mereka tergolong miskin, kata mereka, hingga saat ini belum pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah, misalnya rehab rumah atau mendapatkan bantuan modal usaha, kecuali raskin dan sarana kesehatan berupa pengobatan gratis saat ke rumah sakit.
Kini, di usia mereka yang semakin tua, Bu Basyariah pun sudah sering sakit-sakit. Ia sudah tidak sanggup berjalan, kecuali duduk di kolong rumah sambil menganyam atap. Itu pun ia lakukan bila tidak merasa sakit, bila sakit, maka ia akan tidur di dapurnya dan sang suami melakukan hal yang sama.
Idealnya, keluarga ini masuk dalam program pemberdayaan keluarga, baik oleh pemerintah, maupun oleh pihak-pihak lain agar mereka bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Namun apa daya, banyak keterbatasan yang membuat hidup mereka juga berjalan sesuai dengan kapasitas yang ada dan serba minim itu.
Tampaknya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat dihindari. Di saat kehidupan ekonomi yang semakin sulit dan berat, kebutuhan hidup harus dipenuhi. Menganyam atap rumbia pun tidak dapat ditinggalkan agar periuk tetap bisa menanak nasi.
Ya, untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mau tidak mau, harus mereka penuhi dengan menganyam atap rumbia.
Sama seperti kita, walau dalam jumlah yang relatif berbeda dengan kita, mereka juga setiap hari membutuhkan uang untuk membeli kebutuhan hidup, namun apa daya, dari pada tidak ada uang sama sekali, membuat atap rumbia dengan memanfaatkan potensi pohon rumbia di sekitar rumah adalah sebuah pilihan yang tidak bisa ditukar dengan yang lain.Â
Membuat atap itu keharusan, bila tidak, ya bisa lapar. Sementara orang-orang yang membutuhkan atap rumbia semakin jarang.
Lalu, apa yang mereka bisa buat? Ternyata, hidup memang sulit, namun semua harus dilalui. Yang penting jangan pernah menyerah pada kesulitan hidup. Semut yang di lubang batu saja bisa hidup.Â