Ketika berhari raya Idul Fitri ke rumah para saudara di Ule Gle, Pidie Jaya pada hari raya ke dua, di sebuah rumah, salah seorang anggota keluarga memeberikan kami beberapa amplop kosong. Bukan amplop dari tuan rumah, bukan pula sebagai ampow yang selama ini sering diberikan sebagai salam tempel saat berlebaran atau berhari raya. Ini adalah amplop khusus yang dititipkan pihak Dayah atau Pesantren kepada para santri ketika pulang ke rumah saat hari raya.Â
Para santri ini mendapat tugas melakukan kegiatan penggalangan dana lewat saudara-saudara dekat yang bersilaturahmi ke rumahnya. Bila saudara dekat datang, maka ia memberikan amplop -amplop kosong yang sudah dicetak dengan logo, nama dan alamat pesantren atau dayah mereka. Ya, amplop resmi dari dayah atau pesantren. Jadi, jangan terkejut kalau suatu saat dapat suguhan amplop kosong. Itu artinya anda diminta untuk beramal. Bagi anda yang ikhlas beramal, silakan memasukan rupiah ke dalam amplop berapa ikhlas.
Suguhan amplop kosong seperti ini sejauh penulis ingat bukan hanya pada waktu hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1439 Hijriyah ini, tahun lalu dan beberapa tahun yang lalu juga ada. Namun pertanyaan yang kami ajukan hanyalah pertanyaan sederhana yakni, untuk pembangunan dayah atau pesantren ya? Namun, kali ini kami memberikan pertanyaan yang agak investigatif.Â
Kami bertanya, ini diwajibkan kepada para santri? Jawabannya ya. Apakah ada target yang harus dipenuhi? Ia pun menjawab, ya. Karena jawabannya ya, maka pertanyaan lanjutannya adalah berapa target yang harus dipenuhi? Sehingga, terbuka jawaban, yakni Rp 500.000,-. Kalau tidak memenuhi target? Ia pun menjawab lagi, ya harus tambah dengan uang sendiri.
Wow, mendengar jawaban lugu dari santri tersebut, kami menggeleng-gelengkan kepala. Apalagi mengetahui bahwa pesantren yang mewajibkan santri mencari uang dengan target Rp 500.000,- itu adalah Pesantren yang sudah terkenal dan sangat mapan di Kabupeten tetangga. Namun, terasa aneh masih melibatkan santri menggalang dana untuk Pesantren atau Dayahnya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa harus menggelengkan kepala? Heran? Salahkah?
Sebenarnya tidak heran dan juga tidak bisa salah seratus persen. Namun, kita selayaknya bisa tahu untuk apa dana itu dikumpulkan dengan cara seperti itu. Juga mengapa melibatkan anak dan harus ada target yang begitu besar? Fenomena atau bahkan realitas ini, mengingatkan kami pada kebiasaan beberapa Dayah dan Pesantren yang menugaskan anak-anak santri mencari dana dengan membawa amplop kosong d warung-warung kopi atau ke toko-toko di Banda Aceh.Â
Anak-anak yang disebut santri itu bergerilya di belantara kota mencari dana. Mereka datang dari beberapa daerah hingga dari Aceh Timur. Penulis pun pernah mewawancara beberapa santri dari berbagai Dayah atau Pesantren. Berikut adalah salah satu hasil wawancara penulis dengan seorang santri laki-laki suatu saat di depan toko, saat waktu makan siang, di kawasan Pango Raya, Banda Aceh.
" Assalamualaikum". Ucap Seorang anak laki-laki yang masih usia sekitar 14 tahun yang membawa kotak kecil dengan gambar bangunan yang sedang dibangun.
Waalaikum salam, jawabku sambil mempersilakan ia duduk di dekatku. Anak itu pun duduk di sebelah kananku. Aku pun mulai melanjutkan percakapan dengan anak yang sebut saja namanya Buyunh, bukan nama sebenarnya. Ya, kalau disebutkan namanya, kasihan juga anak ini. Bisa-bisa setelah percakapan ini ia akan dimarahi, karena dianggap lancang bicara kepada orang lain, buka kartu.
Penulis : Dari mana Nak?
Buyung : Dari Aceh Timur pak.
Penulis. : Wah, jauh sekali kamu mencari bantuan untuk dayah, sampai ke Banda Aceh. Lalu, kamu tidur dimana?
Buyung : Di masjid
Penulis. : Lho tidur dengan siapa?
Buyung. : Ya, dengan kawan- kawan. Kami ada 8 orang datang dari Dayah.
Penulis : wah ramai ya? Kemari naik apa?
Buyung : Naik mobil.
Penulis. : Naik mobil L 300? ( angkutan umum sejenis van)
Buyung ; Bukan. Kami naik mobil Avanza.
Penulis : Wah, bawa mobil sendiri ya? Dengan siapa?
Buyung. : Ya, mobil Teungku ( guru) Dayah.
Penulis. : Teungkunya dimana?
Buyung : Menunggu di mobil, di bawah jembatan. ( sambil menunjuk dengan tangannya)
Penulis. : Kamu mencari uang dari pintu ke pintu, dari rumah makan dan lain-lain itu, apa ada diberikan uang?
Buyung : Ada
Penulis. : Berapa?
Buyung : satu hari bisa 350 ribu sehari
Penulis. : Wow, besar sekali. Itu bagaiamana bisa 350 ribu?
Buyung : itu kalau saya bisa dapat satu juta sehari
Penulis : Berarti 35 peraen ya?
Tiba-tiba ada yang lebih dewasa keluar dari rumah makan. Ia juga membawa kotak ama. Penulis : Nah, itu yang baru keluar dari warung itu kawan kamu?
Buyung : dia yang menjaga kami agar kami tidak hilang
Penulis ; Dia dapat uang juga?
Buyung : Ya dapatlah. Lebih besar lagi. Dia 1.200.000 sehari.
Penulis : Wah besar sekali. Kalau Teungku?
Buyung: Ya lebih besar lagi
Penulis : Wow. Enak sekali ya? Kami saja yang jualan begini, tidak bisa dapat gaji sebesar itu sehari. Lalu kamu dapat uang 350.000 sehari. Kamu bawa kemana?
Buyung: saya simpan
Penulis: simpan dimana?
Buyung: Pada Abon ( sebutan untuk pemimpin dayah)
Penulis: Ini dayahnya masih begini? Belum selesai?
Buyung: Sudah siap
Penulis: Lalu uang ini untuk apa? Beli bahan lagi dan untuk beli mobil.
Penulis: Hmmm. Kamu selama pergi lebih seminggu keliling sampai ke Meulaboh dan ke kota lain lagi. Kapan kamu belajar?
Buyung: belajar di mobil juga di surau
Itulah sebagian percakapan penulis dengan Buyung yang masih berusia 14 tahun, tetapi sudah disuruh oleh pemimpin dayah untuk menggalang dana dari masyarakat dengan cara membawa kotak amal, bukan hanya di wilayah kabupaten mereka berasal, tetapi lintas kabupaten dan berlangsung beberapa hari.
Wawancara di atas, sebenarnya bukan hanya dilakukan dengan Buyung, tetapi ada beberapa pencari sumbangan dana untuk daya atau pesantren yang bahkan bukan santri dari dayah tersebut dan tidak tinggal di dayah atau pesantren, tetapi menjalankan tugas sebagai penggalang dana, mereka mendapatkan fee dari kegiatan tersebut. Anehnya lagi ada pencari sumbangan yang tidak tahu dimana dayah atau pesantren yang ia galang. Ini artinya ada pihak yang mengorganisir.
Bukan hanya itu, di persimpangan lampu merah atau traffic lights, sering sekali kita melihat anak-anak berpakaian santri menggalang dana dengan membawa kotak amal. Mereka mendekati setiap kenderaan yang berhenti di traffic lights. Mereka mau berpanas-panas dan haus. Apalagi kalau cuaca sedang panas terik. Di satu sisi, kita kasihan, namun di sisi lain, ada perasaan yang kurang enak juga.
Melihat kegiatan mereka dan kegigihan mereka menggalang dana untuk Dayah atau pesantren tersebut, sebenarnya bisa dikatakan bagus, karena itu adalah sebuah bentuk kepedulian atau bahkan sepintas mereka mau membantu Dayah atau Pesantren dengan cara meninggalkan Dayah atau Pesantren mereka yang jauh tersebut. Di pihak lain, mereka ada yang tereksploitasi dan bahkan secara langsung mendidik anak atau santri menjadi pengemis dan terbiasa serta menjadi enak mencari rezeki dengan atas nama dayah atau pesantren, karena mereka mendapatkan fee dari aktivitas menggalang dana tersebut.Â
Ketika anak-anak sudah bisa menghasilkan uang ratusan ribu satu hari selain makan dan minum gratis, tentu pekerjaan ini sangat menggiurkan. Para santri bisa merasa enak dan terakhir memilih menjadi pencari dana saja. Oleh sebab itu, tindakan semacam ini, selayaknya tidak dilakukan lagi oleh pihak dayah atau pesantren tertentu yang selama ini mempraktikan penggalangan dana yang melibatkan santri serta membuat target yang memberatkan santri. Karena kegiatan seperti ini bisa merusak mental anak-anak yang seharusnya mendapatkan pembelajaran yang layak seperti anak-anak di sekolah umum. Oleh sebab itu, pemerintah harus melakukan investigasi terhadap dayah atau pesantren yang masih melakukan kegiatan ini.
Ada Dinas Pendidikan Dayah, Apa yang mereka lakukan?
Sebenarnya pula, di Aceh selama ini di Aceh sudah ada Dinas yang menangani dayah atau pesantren di Aceh. Seperti ditulis Abdul Hadi dalam dpd.acehgov.go.id menjelaskan bahwa Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh merupakan salah satu institusi dalam struktur organisasi Pemerintah Aceh yang bertugas untuk berusaha memajukan, menjawab & menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan dayah baik dayah salafiah maupun terpadu yang berada di Provinsi Aceh.
Lebih lanjut, Kepala Bidang Program BPPD Aceh Mustafa, S.Sos, M.Si menerangkan "sesuai dengan visi dan misi yang diemban BPPD Aceh yaitu : Terwujudnya Dayah Sebagai Lembaga Pendidikan & Pembinaan Yang Mampu Melahirkan Generasi Muda Berkualitas & Islami, Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Aceh (BPPD Aceh) tahun 2016 telah menetapkan 7 program prioritas.
Dengan demikian, seharusnya dayah dan atau pesantren tidak lagi melakukan penggalangan dana dengan cara-cara yang diptaktikan selama ini, karena akan merusak citra atau nama baik dayah atau pesantren tersebut. Tindakan penggalangan dana seperti selama ini bisa membuat harkat dan martabat Dayah dan pesantren menjadi kurang baik.
Kiranya, ada banyak cara yang bisa ditempuh oleh pihak penyelenggara dayah atau pesantren dalam penggalangan dana secara produktif dan appresiatif. Daya atai pesantren, mungkin lebih baik membuat kegiatan ekonomi kreatif untuk membantu kebutuhan finansial Dayah atau pesantren, tanpa melibatkan anak-anak yang bahkan masih berada pada usia di bawah umur.
 Pihak pemerintah lewat Dinas pendidikan dan pembinaan dayah tersebut, selayaknya melakukan kegiatan pemberdayaan dayah atau pesantren secara porposional dan professional. Ini diperlukan agar semua dayah atau pesantren bisa berdaya dan mandiri, sehingga bisa berkembang baik sebagaimana diharapkan oleh banyak masyarakat di Aceh. Semoga selalu ada jalan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H