Jam di ponselku sudah menunjukan pukul 22.00 WIB. Orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih sudah pulang dari masjid. Aku berencana ke warung kopi untuk memesan segelas avocado espresso. Ketika mau beranjak ke warung kopi, abang iparku datang ke Potret Gallery. Ia duduk sejenak di bangku panjang di depan POTRET gallery dan bertanya, " Sudah ngopi?"
Karena aku memang belum minum kopi sejak berbuka puasa tadi, langsung saja aku mengajak beliau ke warung kopi langgananku dan juga menjadi warung kopi favorite abang iparku. Ya, ia sangat suka dengan sajian sanger dingin di Gerobak Arabicca Coffee yang letaknya tidak jauh dari kantor majalah POTRET yang juga terletak di jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya, Banda Aceh itu.
Setiba di warung, kami melihat semua bangku dan meja sudah ditempati oleh para pengunjung. Untung ada satu meja yang ditempati saudara sepupu, Afifuddin, owner dan sekaligus pimpinan Danish autosport, perusahaan yang terkenal dengan usaha jok dan interior mobil itu. Ia bersama temannya mempersilakan kami ikut bergabung di mejanya.Â
Seperti biasa, aku memesan avocado espresso kesukaanku. Sementara abang iparku, memesan secangkir sanger dingin. Percakapan pun dimulai. Berbagai topik secara sambung menyambung mulai didiskusikan.Â
Semua meja yang ditempati oleh lebih kurang 3 atau 4 bahkan lebih itu riuh rendah dengan percakapan masing-masing orang. Pokoknya, setiap orang sibuk berbicara dan bercerita serta banyak pula yang saling tertawa. Yang jelas, suasananya memang tampak begitu akrab.
Begitu pula di meja kami yang kami tempati. Kami berenam duduk semeja. Sambil ngobrol, aku mengamati setiap orang di setiap meja. Aku mengenal banyak orang di warung tersebut dan mereka juga mengenal aku, karena aku memang setiap malam tidak pernah absen minum kopi di Gerobak.Â
Mengapa di Gerobak? Ya, karena aku sebenarnya tergolong konsumen atau pelanggan yang setia (loyal customer). Walaupun Gerobak diapit oleh dua warung kopi yang pengunjungnya begitu ramai, aku tetap setia duduk dan menikmati kopi di Gerobak Arabicca itu.
Ya, karena yang datang ke warung kopi sudah tidak seperti zaman dahulu, hanya laki-laki saja. Selama ini, para perempuan pun sudah ramai ke warung kopi. Mereka datang dengan sesama teman perempuan, bersama pacar, juga bersama keluarga, yakni suami istri dan anak-anak.Â
Kedua, para pengunjung warung kopi datang ke warung kopi untuk bisa saling berkomunikasi dan berbagi segala macam hal, baik pengetahuan, pengalaman, serta suka dan duka.Â
Pokoknya, inti dari tradisi minum kopi orang Aceh tersebut adalah untuk membangun silaturahmi, membangun dan mencari relasi bisnis, Â untuk interaksi social dan sebagainya. Namun, hal ketiga yang kini melanda mereka, sejalan dengan kehadiran alat-lat komunikasi yang canggih serta tersedianya layanan internet di warung kopi, membuat para pengunjung yang pada mulanya berniat untuk ngobrol, secara fakta terseret kepada kegiatan masing-masing. Banyak yang sibuk dengan gawai masing-masing.Â
Entah SMS-an, entah WhatsApp, atau asyik dengan medsos. Sehingga mereka lupa tujuan berkumpul di warung kopi tersebut. Itulah salah satu keanehan orang-orang di zaman now. Mereka sebenarnya ke warung kopi untuk membangun tali silaturahmi, saing ngobrol dan bercengkerama, namun terjebak dengan sikap individualistis.
Keempat, banyak pula meja yang bertukar penghuninya, karena ada yang datang hanya untuk menyeruput secangkir kopi, lalu pulang. Sementara yang datang dan berdiskusi, bahkan banyak pula yang terlibat diskusi yang sangat serius dan sangat bermanfaat. Tergantung siapa yang datang ke warung kopi. Kalau para akademisi, biasanya mereka sering berbicara atawa bercerita tentang dunia akademis. Misalnya tentang pengalaman kuliah S2 atau S3 di luar negeri, juga tentang persoalan perkuliahan atau soal riset dan sebagainya.
Pokoknya, warung kopi dalam masyarakat Aceh memang memiliki banyak fungsi. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada dasarnya, orang ke warung kopi adalah untuk menikmati sajian kopi. Namun, selain menikmati kopi, warung kopi menjadi media atau tempat membangun komunikasi antara satu atau dua orang.Â
Selama ini, warung kopi memang memainkan peran ganda bahkan multifungsi. Semua hal bisa dibicarakan di warung kopi, baik secara damai, maupun secara tidak damai. Karena bukan tidak mungkin di meja minuman kopi tersebut ada pertengkaran yang kadangkala juga berujung dengan aksi tindak kekerasan.
Kelima, selama puasa, warung kopi hanya buka malam hari, usai salat tarawih hingga menjelang waktu sahur. Sementara siang hari warung-warung kopi tersebut tutup, tidak boleh beroperasi selama siang hari di bulan puasa.
Barangsiapa yang membuka dan melayani orang yang tidak berpuasa di siang hari, maka pasti warung tersebut akan ditindak dan bahkan digerebek. Nah, bila anda ke Banda Aceh, maka anda akan temukan banyak fakta dan cerita di warung kopi.
Pemandangan keramaian warung kopi di malam hari di bulan suci Ramadan, bukan saja bisa diamati dan dirasakan di wilayah Pango, Ilie, Lamteh, Lampineung dan Ule Kareng saja, hampir setiap sudut kota Banda Aceh memperlihatkan bagimana kentalnya tradisi minum kopi orang Aceh.Â
Ya, tradisi minum kopi orang Aceh memang sangat kental. Oleh sebab itu, jangan heran kalau yang namanya warung kopi, banyak menjadi jalan dan sumber rezeki bagi orang-orang yang hoki-nya di kopi.Â
Karena selama ini, bisnis warung kopi merupakan bisnis yang menguntungkan, terutama warung-warung kopi yang bisa memberikan layanan terbaik kepada konsumen. Yang jelas selama bulan Ramadan, warung kopi banyak yang pengunjung melimpah ruah. Bukan berlebihan kalau dikatakan, warung kopi di Aceh, tidak pernah sepi, walau di bulan suci Ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H