Oleh Tabrani Yunis
Hari ini, tanggal 19 Mai 2018 adalah hari ke tiga puasa Ramadan, belum ada tulisan yang dapat aku sajikan kepada para pembaca, kecuali sebuah tulisan menjelang puasa, kala tradisi meugang di Aceh berlangsung. Hasrat hati ingin ikut menulis, ikut kegiatan Tebar Hikmah Ramadhan (THR) yang menjadi tempat berbagi di Kompasiana tahun ini.
Namun, sayang pada hari puasa pertama dan ke dua, tidak ada satu tulisan pun yang bisa ditulis, walau banyak ide berseliweran di kepala. Masalahnya bukan karena malas menulis, tetapi karena terhambat oleh manajemen waktu yang tidak pas. Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan, apalagi kala ide untuk menulis sudah ada.
Ya dikatakan ada karena sebenarnya, pada puasa pertama tersebut banyak hal yang bisa ditulis. Misalnya, suasana salat tarawih di malam pertama di mana semua masjid melimpah ruah, dipenuhi jamaah salat Isya dan tarawih.
Lalu, siangnya, kondisi kota yang kelihatan sepi dan suasana di jalan raya yang terasa lengang, serta kegiatan masyarakat yang berburu rupiah dengan berjiualan berbagai penganan yang menjadi bukti denyut ekonomi masyarakat menggeliat di bulan Ramadhan. Sepanjang jalan, banyak orang yang berjualan makanan dan minuman serta segala kebutuhan buka puasa.Â
Tentu bukan hanya itu, cerita di dapur keluarga yang sejak habis waktu ashar sudah mulai terdengar suara-suara riuh dengan kegiatan penyiapan buka puasa. Ada suara air dengan iringan dentingan periuk dan gelas yang saling beradu, ada suara sendok yang jatuh dan segalannya, bahkan juga aroma masakan yang sedang mendidih dan juga bau sama lado ( cabe merah) yang dimasak dengan minyak, membuat hidung bersin dan sebagainya.Â
Pokoknya, banyak sekali cerita yang bisa ditulis untuk dibagikan kepada para Kompasianers dan pembaca Kompasiana umumnya yang berada di belahan bumi ini.
Barulah, sore ini, kala menjelang waktu berbuka puasa, sekitar lebih kurang 10 menit ke waktu berbuka di kota Banda Aceh, yakni pukul 18.49 aku mengambil laptop untuk memulai kembali menulis. Bisa jadi aku memaksa diri untuk meramu kata-kata yang diharapkankan bisa bermakna. Apa yang aku tulis menjelang waktu berbuka tersebut tidaklah sebuah tulisan berat, tetapi sebuah tulisan ringan yang bercerita tentang sikapku yang memaksa diri untuk menulis.
Ya, benar. Aku memaksa diri dan pikiranku bekerja menyusun kata, mengukir makna. Siapa tahu bisa menjadi pompa yang  menyemangiku menulis seperti biasa. Karena belakangan ini, karena kesibukan dengan usaha yang mulai aku rintis pada tahun 2014 lalu, hingga kini aku harus memusatkan perhatian penuh agar tidak gagal dalam berbisnis.
Ya, aku memilih usaha yang aku beri nama POTRET Gallery, dengan mengambil nama majalah POTRET, majalah Perempuan Kritis dan Cerdas itu, kini dalam keadaan denyut nadi ekonomi yang semakin lemah itu, aku memang harus fokus. Sehingga, membuat aktivitas menulis selama ini menjadi berkurang. Padahal, menulis bagiku adalah kebutuhan hidup.
Nah, yang menjadi pertanyaan ketika aku harus menulis menjelang buka puasa hari ini adalah " mengapa aku harus memaksa diri untuk menulis?" Ya, mengapa harus dipaksa? Bukankah kegiatan menulis tersebut sebaiknya dilakukan bukan dengan terpaksa? Idealnya, memang tidak ada yang memaksa dan dipaksa.