Oleh Tabrani Yunis
Pernahkah anda mendengar istilah "uang meugang"? Maaf, bukan uang megang ya, tetapi uang meugang. Uang meugang itu ada, tetapi tidak ada di Indonesia, kecuali Aceh. Mengapa tidak ada di Indonesia? Â Ya, karena meugang adalah tradisi orang Aceh yang sudah dilakukan secara turun temurun dan menjadi warisan budaya nenek moyang orang Aceh. Lho, Aceh itu di wilayah Indonesia bukan? Â Ya, tentu saja, bahkan disebutkan menjadi bagian dari NKRI, walau kita kenal Aceh pernah ingin berpisah dari Indonesia yang ditempuh dengan perjuangan selama lebih kurang selama 30 tahun itu.Â
Eh, maaf, mengapa sampai melantur ke soal Aceh yang ingin merdeka ya? Padahal tulisan ini sebenarnya ingin bercerita tentang tradisi meugang di Aceh. Bukan kembali mengenang masa konflik bersenjata di Aceh yang berkepanjangan selama lebih kurang 30 tahun yang banyak menelan korban tersebut.  Sebaiknya kita kembali saja pada soal tradisi meugang.  apalagi  meugang itu bukan warisan konflik Aceh, tetapi warisan budaya atau tradisi leluhur orang Aceh saat menyambut datangnya bulan Ramadan atau satu atau dua hari menjelang hari raya Idul Fitri dan hari raya idul adha, atawa hari raya haji.
Sebagai sebuah tradisi yang turun temurun di Aceh, masyarakat Aceh sejak dahulu melakukan tradisi meugang lebih kurang sebanyak 3 kali dalam serahun. Tradisi meugang yang pertama adalah tradisi meugang menyambut datangnya bulan Ramadan. Â Meugang kedua dilakukan saat mendekati hari H pelaksanaan hari Raya Idul Fitri dan meugang yang ketiga pada sehari sebelum hari raya Idul Adha. Â
Hampir di seluruh Aceh hari meugang itu berlangsung selama dua hari menjelang Ramadan atau dua hari sebelum hari Raya Idul Fitri, maupun hari raya Idul Adha. Lalu apa itu hari meugang? Nah, secara sederhana,  hari meugang itu  adalah hari dimana masyarakat Aceh menyembelih atau membeli daging hewan ternak berupa sapi atau kerbau untuk dikonsumsi bersama keluarga, kerabat dan sahabat menjelang masuk pada hari pertama berpuasa. Setiap keluarga, baik kaya maupun miskin berusaha membeli daging meugang.Â
Bagi keluarga yang miskin, walau tidak mampu membeli daging, akan berusaha mendapatkannya, walau dengan berhutang. Â Orang-orang akan merasa hidup tidak sempurna bila tidak bisa menikmati hari meugang tersebut. Bahkan di beberapa daerah seperti di wilayah pantai barat Aceh, pada hari meugang tersebut bukan hanya memasak daging, tetapi juga ada yang memasak leumang untuk dimakan di hari meugang dan di hari raya.
Dahulu, kegiatan meugang itu berlangsung hanya satu hari sebelum hari pelaksanaan puasa Ramadan atau sebelum hari raya. Namun, kini sejalan dengan pertumbuhan dan penambahan jumlah penduduk, serta banyaknya orang yang bekerja di kantor-kantor pemerintah dan swasta, kegiatan meugang tersebut berlangsung selama dua hari denga sebutan meugang hari pertama meugang dan meugang kedua. pada saat meugang tersebut masyarakat beramai-ramai pergi ke pasar untuk membeli daging sekilo atau dua kilo, tergantung kekuatan kocek masing-masing. Kondisi pasar pun sangat sibuk di hari meugang tersebut.Â
 Pada hari meugang tersebut, kebutuhan akan daging sangat tinggi. Oleh sebab itu banyak pihak yang memanfaatkan momentum meugang tersebut. Para pedagang daging sapi menjadikan hari meugang tersebut sebagai hari mengejar keuntungan atau profit. Bukan hal mustahil, setiap kali hari meugang datang, harga daging di Aceh selalu melambung. bayangkan saja, harga per kilo daging bisa mencapai angkat Rp 170.000,- . Sangat mahal bukan? ya, tentu saja mahal yang bukan hanya dirasakan oleh orang-orang miskin, tetapi juga oleh keluarga menengah ke atas. Â
Sayangnya, setiap kali hari meugang tiba, harga daging melonjak naik hingga pada titik tertinggi. Namun, sebagai tradisi leluhur, tradisi meugang, walau harga daging mahal, tidak membuat masyarakat Aceh menyerah, tetapi bahkan lebih gigih lagi masyarakatnya, yang namanya daging memang harus ada. Ya harus dipenuhi kebutuhan tersebut.
Bagi masyarakat miskin, mahalnya harga daging di saat hari meugang tersebut tentu saja sangat menyakitkan. Jangankan untuk kalangan orang miskin, para pegawai saja banyak yang kelimpungan. Untungnya,  di kalangan para pekerja, baik di swasta, maupun sebagai pegawai negeri sipil di Aceh,  para pegawai negeri sipil dan swasta tersebut ini selama ini mendapatkan tunjangan dari pemerintah bagi PNS dan  kantor atau perusahaan swasta, bagi kaum pekerja kantor swasta,  mereka dengan jumlah  tunjangan meugang sesuai dengan kemampuan kantor mereka.