Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembalilah Membangun Akhlak Anak-anak

15 April 2018   01:18 Diperbarui: 15 April 2018   01:26 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Tabrani Yunis

Belakangan ini, semakin sering kita temukan kasus-kasus yang secara nalar, tidak mampu kita cerna. Ya, karena kasus-kasus tersebut kadang masuk dan  berada di bawah ambang sadar kita.

Banyak kasus yang seharusnya tidak terjadi, namun belakangnan semakin sering terjadi.  Sehingga, ketika kita mendengar dan membaca berita-berita mengenai kasus-kasus tertentu itu, kita sering menggeleng-gelengkan kepala, atau sambil istigfar.  Kita juga bahkan sambil berkata, ah itu tidak mungkin atau sembari bertanya bagaimana mungkin itu terjadi?

Sebagai salah satu contoh adalah kasus pembunuhan. Bisa jadi kasus-kasus pembunuhan terhadap seseorang yang terjadi di tengah masyarakat kita, kita anggap hal biasa dan sudah biasa. Namun, bagaimana terhadap kasus seorang ibu yang dibunuh dengan sadis  oleh anak kandungnya sendiri. 

Dalam kasus ini, pasti kita akan bertanya, "bagaimana mungkin seorang anak membunuh ibu kandungnya yang sudah dengan perjuangan hidup dan mati melahirkan dan membesarkannya?" Ini jelas tidak masuk dalam pikiran kita.

Memang tidak sanggup kita cerna rasanya. Namun sekali lagi, kini, banyak fakta memperlihatkan kita kasus pembunuhan terhadap ibu kandung itu terjadi di tengah masyarakat kita. Beberapa waktu lalu, di Aceh kita dikejutkan dengan berita tentang anak yang membunuh ibu kandungnya.

Banyak media memberitakan tentang kasus tersebut, terutama media local., KOMPAS.com 06 Maret 2018 memberitakan bahwa -- Nurdin Abdullah (45), tega membunuh ibu kandungnya, Ramani (73) di Desa Baroh Bugeng, Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, Selasa (6/3/2018). Kini, pelaku  telah ditahan di Mapolsek Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur.

Bukan hanya kejadian itu yang sudah terjadi, masih ada kasus-kasus serupa yang tidak kita sebutkan satu per satu. Yang jelas, kasus serupa semakin sering terjadi di dalam masyarakat kita. Walau kita sering berkata, ah tidak mungkin, atau ikut mengecam tindakan keji itu. Sangat wajar bila kita semua ikut mengecamnya, karena hal itu tidak selayknya terjadi, apalagi terhadap ibu kandung yang melahirkan dan membesarkannya.

Selain itu, barangkali, kita masih ingat dengan kasus yang tergolong memilukan. Ya, tentang kematian guru honorer, Ahmad Budi Cahyono (27 tahun) di Sampang, Madura karena dianiaya oleh siswanya yang masih berusia 17 tahun pada tanggal 3 Februari 2018,. Kasus ini tekah telah mengusik sanubari kita.

Kasus penganiayaan guru yang mengguncang nurani lebih dari 4 juta guru di tanah air. Kasus yang kemudian membangkitkan solidaritas guru yang membuat jutaan guru ikut berkabung, belasungkawa atau berduka. Banyak guru yang karena merasa emosi dan sedih terhadap tindakan siswa yang dikatakan begitu bejat terhadap guru atau yang mendidiknya.

Sungguh sangat tidak masuk akal. Namun, itulah yang terjadi akhir-akhir ini.
Semua kita merasa terusik. Semua orang bahkan menghujat tindakan seorang siswa terhadap guru, dalam hal ini dialami oleh almarhum Ahmad Budi Cahyono. Sungguh tidak sanggup  diterima oleh akal sehat kita.

Namun, semua bisa terjadi. Kita hanya bisa berdecak heran dan kabar itu segera hilang dari ingatan kita dan kasus-kasus serupa juga bisa jadi terulang. Ironis sekali. Tentu saja sangat ironis.

Tentu saja bukan hanya kasus --kasus pembunuhan yang memilukan kita, banyak kasus lain yang sangat mengusik nurani kita. Bagaimana tidak, di zaman yang katanya edan ini, banyak hal yang aneh-aneh terjadi. Bukankah kita sering dikejutkan dengan berita kejahatan seksual terhadap anak? Ya, mungkin yang paling sering terjadi itu adalah pemerkosaan terhadap anak tiri yang dilakukan oleh ayah tiri.

Bisa jadi, itu pun sudah kita anggap sebagai hal yang lazim. Nah, betapa kita terkejut bila sang anak yang seharusnya dilindungi oleh ayah kandungnya, lalu kemudian anak kandung tersebut malah diperkosa dan dihamili oleh ayah kandung sendiri?

Ini buktinya. Warga Aceh Besar, Aceh, MJ (43), benar-benar bejat. Ia tega memperkosa anak kandung sendiri setelah istrinya mendekam di penjara karena tersandung kasus narkoba. Kapolsek Krueng Raya Polresta Banda Aceh AKP Agus Salim mengatakan pelaku sudah memperkosa anak kandungnya yang berusia 15 tahun sejak pertengahan 2017.

Dalam seminggu, pelaku kadang berhubungan badan dengan anaknya sebanyak tiga kali.
"Kasus ini terungkap setelah anaknya curhat ke kepala lorong. Setelah itu, baru dibuat laporan ke kita," kata Agus dalam konferensi pers di Mapolresta Banda Aceh, Kamis (8/3/2018).

Nah, bejat sekali bukan? Tentu saja sangat bejat dan kita juga hanya bisa berdecak-decak heran, ketika mendengar atau membaca berita tentang kasus seorang ayah yang dengan sengaja memperkosa anak yang merupakan darah dagingnya sendiri ini. Namun sekali lagi, kasus incest se[erti ini sudah semakin sering terjadi. Oleh sebab itu, selayaknya kita bertanya dan mencari tahu apa yang menyebabkan kasus-kasus seperti ini kini terus terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan  tersebut, tentu tidak bisa kita jawab secara gamblang saja. Misalnya dengan menyalahkan satu pihak saja. Karena sesuatu itu terjadi, sesungguhnya ada sebab musababnya. Begitu juga dengan kasus-kasus seperti kita ceritakan di atas. Artinya, bila kita gali apa saja factor penyebabnya, akan banyak factor yang mempengaruhinya, baik internal, maupun eksternal.

Kita akan sangat mudah berkata bahwa penyebabnya karena anak sudah terlibat dalam penggunaan zat-zat yang merusak moral, misalnya karena factor terpapar dengan narkoba, atau terpapar dengan pornografi dan sebagainya. Itu semua merupakan factor eksternal. Namun, dari ekternal dan sekian banyak factor internal, sesungguhnya, factor utama yang menyebabkan kasus-kasus itu terjadi adalah factor kerusakan moral.

Ya, kerusakan akhlak. Akhlaqul qarimah sudah pupus. Akar masalah bangsa kita adalah pada kehancuran moral. Kehancuran akhlak. Kehancuran ini sudah kita akui selama ini. Sayangnya, kita semakin tidak mampu memperbaiki kehancuran moral atau kerusakan akhlak yang sedang melanda bangsa ini. Walau kini sisten pendidikan kita yang sedang berjalan, mengajarkan character building.

Rusaknya moral dan hancurnya akhlak tersebut, justru sering kita serahkan pada kesalahan system pendidikan formal. Kita menganggap bahwa pembentukan akhlak itu tugas guru di sekolah. Padahal, tugas utama dari pembentukan akhlak itu adalah di keluarga, sebagaimana kita ketahui bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama bagi tumbuh kembangnya moralitas atau akhlak anak.

Semua itu berawal dari rumah, karena anak sejak lahir dan pertama sekali menerima sentuhan pendidikan tersebut adalah dari orang tua. Ya, dari ibu yang melahirkan dan membesarkan, bersama ayah dan anggota keluarga. Bila ayah dan ibu menjadi guru moral, guru akhlak yang baik, maka kelak anak akan tumbuh berakhlak mulia. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan keluarga dalam membangun moral atau akhlak tersebut.

Idealnya, orang tua benar-benar harus menjadi model yang baik bagi anak-anaknya. Oleh sebab itu, orang tua harus menjadi orang yang konsisten dalam mendidik anak. Artinya, orang tua juga harus sesuai kata dan perbuatan dalam mendidik dan membangun akhlak anak.

Jangan sampai, karena ingin anak berakhlak, orang tua mengantarkan anak ke pesantren dan anak belajar akhlak dari guru atau ustad, namun ketika anak pulang ke rumah, anak tidak melihat akhlak orang tua yang sesuai dengan apa yang dipelajari anak di bangku pesantren dan sebagainya.

Agar bisa bersinergi, maka hubungan trilogy pendidikan yang selama ini juga sudah mulai hilang, seharusnya dibangun kembali. Percaya atau tidak, sinerji antara lembaga-lembaga pendidikan, keluarga, masyarakat dan pemerintah (sekolah), selama ini sudah putus. Terputusnya sinergi dari 3 lembaga pendidikan tersebut, membuat pendidikan akhlak yang diterima anak di dalam keluarga menjadi tidak aplikatif.

Hal ini akan terus menyebabkan hilangnya kecerdasan moral pada anak. Oleh sebab itu, bangunlah kembali sinergi antara ketiga institusi pendidikan tersbut. Insya Allah, niat untuk membangun akhlak itu akan bisa terwujud. Namun, demikian, agar tidak saling menunggu, maka tetaplah agar semua orang tua sadar dan mau untuk kembalilah membangun akhlak anak, sejak di rumah. Jangan hanya menyerahkan tugas itu kepada sekolah atau masyarakat. Kalau mau, pasti bisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun