Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karya SMA Semi SMK di Daerah Kaya Ganja

2 Desember 2017   08:25 Diperbarui: 2 Desember 2017   21:28 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah cukup lama, kepala SMA Negeri 2 Seulimum yang berlokasi di Lamteuba, Aceh Besar itu mengajak penulis untuk datang ke sekolahnya. Sudah lebih  dari dua tahun. Ia bahkan mengajak penulis berkali- kali. Ia inginkan agar penulis bisa membantu membimbing para siswa sekolah itu menulis. Namun, karena kesibukan dan faktor jarak sekolah itu dengan kota Banda Aceh lumayan jauh.  Perjalanan dari Banda Aceh ke Lamteuba, lewat Krueng Raya menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Padahal jaraknya tidak sampai 100 kilo meter. Untuk bisa sampai ke Lamteuba,  dan harus melewati daerah berbukit-bukit dan tergolong sepi. Sehingga tidak punya nyali untuk datang sendiri.

Namun, pada hari Jumat, 24 November 2017 lalu, seorang teman yang sedang punya program di daerah itu menelpon penulis. Ia meminta kesedian untuk menjadi juri. Kebetulan lembaganya AGF mengadakan lomba menulis untuk anak-anak SMA di wilayah Aceh Besar. Ajakan bung Fahmi, Direktur AGF itu mengingatkan penulis pada ajakan kepala SMA Negeri Lamteuba sekitar setahun yang lalu itu. Penulis merasa berhutang karena belum mampu memenuhi undangan Pak Hamdani, yang kepsek itu.

Maka, sebelum mengatakan ya, penulis melihat jadwal apakah pada hari Sabtu itu ada kegiatan mengisi kegiatan akhir lomba menulis yakni menjadi juri yang tugasnya menilai tulisan peserta lomba menulis, sekali gus memilih siapa pemenangnya. Sangat menarik temanya yang diangkat, yakni Energi terbarukan untuk masa depan yang lebih baik. Dikatakan menarik, karena sekolah ini berada di daerah pertanian, pegunungan yang sangat subur dan juga masuk ke dalam wilayah yang memiliki sumber panas yang disebut dengan geothermal dari gunung Seulawah, tempat sekolah ini berada.

Jadi lomba menulis ini memang sangat menarik. Namun, ketika berkesempatan datang langsung ke sekolah ini, ketika berada di depan pintu gerbang, langsung melihat ada hal-hal yang berbeda dengan sekolah lain di Aceh atau juga di Indonesia. Dikatakan lain dan agak aneh adalah karena sekolah  menengah atas ( SMA) ini memperlihatkan beberapa hal.

Pertama, kala masuk ke pagar, kita bisa melihat demplot tanaman padi. Selain terasa aneh karena di pekarangan sekolah ada sawah, hal yang juga mengejutkan, ternyata pihak sekolah tanaman padi yang ditanam di halaman sekolah tersebut adalah padi jenis masa tanam dan panen yang lama, yakni enam bulan sekali panen. Mereka menyebutnya dengan breuh sigupai ( beras segumpal atau segenggam). Jenis beras local yang rasanya sangat enak dimakan. Sawah yang mereka garap untuk tanaman padi itu adalah sawah yang tidak menggunakan pupuk kimia.

Setelah melintasi sawah, maka di pekarangan sekolah tersebut terdapat dua kolam ikan. Ya kolam ikan untuk memelihara ikan-ikan air tawar seperti mujair, lele dan ikan air tawar lainnya. Lalu, di sekeliling kolam, ditanami pula dengan pohon sirsak. Nah, ketika melewati kolam ikan tersebut, terlihat banyak buah sirsak yang siap dipanen bergantungan di pohon. Buah sirsak itu menimbulkan selera kita untuk memetik dan membuat jus sirsak yang katanya memiliki khasiat untuk mengibati asam urat.

Selain jenis tanaman dan kolam ikan itu, ada pula demplot atau kebun kacang hijau yang kelihatan sedang mulai berbuah. Tanaman ini juga tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang mematikan. Oleh sebab itu, kesan pertama masuk ke sekolah itu sangat mengesankan. Ya, sekolah ini berbeda dengan SMA-SMA lainnya di Aceh. Dikatakan berbeda, karena tidak kita dapatkan di sekolah-sekolah lain di banyak daerah. Kesan pertama ini adalah sekolah alam.

Tanaman kacang hijau di halaman sekolah
Tanaman kacang hijau di halaman sekolah
Tertarik dengan suasana dan kondisi  yang demikian, membuat penulis mencari tahu, konsep sekolah ini yang dibuat atau diterapkan oleh kepala sekolah SMA ini, Drs. Hamdani yang lulusan FKIP Bahasa Inggris, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Dalam tuturannya saat penulis tanyakan, ia menjelaskan bahwa pada dasarnya sekolah ini mengikuti kurikulum yang sama dengan SMA di sekolah-sekilah lain. Tidak ada bedanya. Apa yang membedakan adalah sekolah ini memanfaatkan potensi alam yang ada di wilayah sekolah.

Lamteuba adalah wilayah perbukitan di kaki atau di lembah gunung Seulawah yang memiliki potensi geothermal itu. Wilayah yang dikenal alamnya subur. Bukan saja subur dengan tanaman-tanaman serai, kunyit, padi, jabon, jati dan sayuran lainnya, daerah ini pun sering masuk dan menjadi sasaran berita media karena subur dengan tumbuhan ganja.  

Ya bila kita menyisir catatan google tentang ganja, maka akan banyak berita tentang ganja di wilayah ini. Buktinya, BNN dan pihak yang berwajib sering mendapatkan ladang ganja. Konon, tanpa ditanam pun, tanaman ini tetap tumbuh subur. Kemudian pihak BNN pun berusaha membantu masyarakat Lamteuba untuk membuat program pengalihan lahan ganja ke tanaman lain.

Begitulah kondisi alam, pada potensi alam yang terdapat di Lamteuba. Lamteuba yang merupakan daerah atau kawasan pegunungan yang luas dan subur. Oleh sebab itu, Pak Drs. Hamdani, sang Kepala Sekolah yang sudah sekian lama menjadi kepala sekolah memanfaatka potensi alam yang subur tersebut sebagai kelebihan sekolahnya. Kelebihan itu dijadikan sebagai peluang untuk menyiapkan para siswa yang juga memiliki kemampuan wirausaha atau entrepreneurship.

Konsepnya, di sekolah yang saat ini yang memiliki siswa sebanyak 227 siswa, tergabung dalam Sembilan rombongan belajar atau kelas itu diberikan pengetahuan dan ketrampilan serta praktik wirausaha. Praktik itu diberikan kepada siswa kelas I dan II. Masing-masing siswa di kedua tingkat atau kelas ini diberi pilihan seperti yang tertarik dengan palawija, produksi bubuk kunyit atau ikut membuat VCO. Bisa saja pilihan lain, yang penting para siswa memiliki wawasan pengetahuan dan ketrampilan wirausaha.

Dengan demikian, kelak lulusan SMA ini memiliki ketrampilan di bidangnya, sehingga menjadi tamatan yang mandiri. Oleh sebab itu, sejak anak berada di kelas satu, mereka sudah dibangun rasa percaya diri ( self confidence) dengan membuat suasana sekolah yang menyenangkan (enjoyable). Sekolah yang menyenangkan itu juga sekolah yang dibangun dengan memupuk kesadaran semua pihak di sekolah dengan budaya bersih, termasuk dalam tatacara mengelola sampah yang selama ini menjadi masalah global tersebut.

Membangun kesadaran anak untuk tidak membuang sampah, menjadikan bersih sebagai ruh manusia, dalam suasana bersih, kita akan bisa menikmati suasana itu dengan baik. Kebersihan itu sebgaian dari iman.  Kebersihan itu adalah kebutuhan. Bagaimana kita bisa membuat anak desa bisa sadar dengan hal sampah. Tentu saja, dilakukan dengan strategi yang melibatkan semua anak, guru dan sekalian melibatkan orang tua. Hal ini bisa dilakukan, karena ketika  kita ke luar negeri, kita bisa patuh  mengikuti aturan di luar negeri. Mengapa tidak di tempat sendiri?

Nah, kembali pada konsep yang dijalankan oleh para praktisi pendidikan di sekolah ini, Pak Hamdani juga terinspirasi dengan wacana Pemerintah pernah mewacanakan SMA yang setengah SMK. Maka, sebenarnya kelebihan sekolah ini adalah SMA Lamteuba yang berwajah setengah SMK atau SMA yang semi SMK. Para siswa yang telah memilih jenis wirausaha yang ditawarkan, kemudian diberikan tugas kelompok untuk melakukan kegiatan wirausaha di luar jam sekolah. 

Lalu, usaha tersebut dikerjakan secara bergiliran pada sore hari, sepulang sekolah dengan di bawah koordinasi guru sekolah. Hasil dari usaha tersebut, setelah diperhitungkan hasil panen, maka pembangoannya  adalah 60 -- 70 persen untuk anak yang mengelola usaha dan 30-40 persen ke pihak pemodal, yakni koperasi sekolah. Jadi, sambil sekolah bisa dapat untung, bukan?

Bersama Pak Hamdani, Kepala SMA Negeri 2 Seulimum, Lamteuba
Bersama Pak Hamdani, Kepala SMA Negeri 2 Seulimum, Lamteuba
Tentu saja dapat untung. Bukan hanya untung bagi siswa, tetapi guru pembimbing dan sekolah juga akan mendapatkan untung dari bagian laba 30-40 persen yang diserahkan kepada koperasi sekolah tersebut. Oleh sebab itu, Kepala sekolah menawarkan guru untuk menjadi pembimbing dari kegiatan kewirausahaan yang dilakukan oleh anak.

Guru bisa mendapat hasil tambahan dari bagi hasil yang diperoleh koperasi sekolah. Kegiatan ini bisa menghidupkan koperasi, guru terikat jiwa dengan anak dan sekolah dan guru juga bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari usaha tersebut. Selain itu, Kepala sekolah selalu  membangun hubungan dengan orang tua dan masyarakat, agar terjadi hubungan kerja sama yang erat dalam membangun generasi.

Lahirnya konsep ini adalah atas keprihatinan terhadap banyaknya jumlah pengangguran secara unum dan di Lamteuba secara khusus. Dengan cara ini, akan lahir lulusan atau tamatan SMA yang lebih terhormat. Ini perlu, karena Sekolah pada dasarnya menjalan fungsi sebagai agent of change. Ya, agen perubahan. Maka, kedekatan kepala sekolah dan guru dengan masyarakat, membuat masyarakat melalukan perubahan-perubahan di dalam masyarakat sekolah dan masyarakat umum di daerah tersebut.

Dengan cara-cara demikian, para siswa dan bahkan orang tua sekalian mendapat edukasi untuk memanfaatkan potensi alam yang ada dan dengan cara ini tamatan SMA dan bahkan akan bisa mengurangi  daya tarik menanam atau  menarik keuntungan dari mudahnya memperoleh hasil dari ganja yang tumbuh subur, tanpa harus disemai sendiri itu. 

Apalagi, kepala SMA Negeri 2 Seulimum di Lamteuba ini untuk tahun 2018 ini berencana akan menyediakan 8 (delapan) kegiatan vokasional bagi siswanya. Jadi hebat bukan? Semoga sekolah-sekolah lain yang memiliki potensi alam yang cukup dan bagus, bisa berkarya seperti sekolah yang berada di wilayah banyak ganja, tetapi meninggalkan daya tarik ganja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun