Oleh Tabrani Yunis
Berbagi itu indah. Begitu kata banyak orang. Ungkapan itu sering kita dengar di dalam masyarakat kita. Semua orang bisa berbagi. Artinya, siapa pun bisa dan boleh berbagi. Berbagi bukan hanya milik orang kaya, tetapi juga bisa dilakukan orang miskin, dengan cara masing-masing. Semua bisa dibagi. Ya apa pun yang baik-baik itu bisa dibagi, asal mau. Salah satunya berbagi senyum yang ikhlas. Bila dilakukan dengan ikhlas, maka di situlah nilai keindahan yang akan dipetik.
Berbagi dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan membagi  sesuatu bersama. Ya berbagi secara fungsional merupakan  kegiatan yang mengandung nilai social, yakni menolong orang lain dengan apa yang kita punya dengan berbagi.  Sehingga bisa meringankan beban orang lain.Â
Membuat orang lain merasa senang dan tertolong. Jadi berbagi itu sebuah konsep menolong orang lain dengan apa yang kita miliki dengan cara membagi sedikit, sebagian harta yang kita miliki dan lain-lain. Â Misalnya, orang-orang kaya dalam arti kaya materi, ia bisa berbagi rezeki atau materi yang ia miliki dalam bentuk uang atau barang dalam berbagai bentuk pemberian. Orang miskin pun bisa berbagi, ya berbagi tenaga dan lain-lain.
Berbagi Apa?
Nah, berbicara soal berbagi, penulis dalam tulisan ini juga ingin berbagi. Ya tentu saja lewat tulisan ini, penulis ingin berbagi tentang pengetahuan dan pengalaman berbagi tersebut. Tentu bukan dengan niat dan maksud riya, atau ingin bermegah-megah dengan sedekah atau ingin memperlihatkan amal kepada orang lain, sama sekali tidak. Ya, bukan pula ingin pamer, seperti pamer kekayaan dan menghabiskan uang minimal 2 -5 milyar sekali berjalan ke luar neger. Sama sekali bukan. Namun, semua ini, semata-mata ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman. Siapa tahu dan pengalaman pribadi ini ada yang bisa dipetik dan dimanfaatkan serta dijadikan pelajaran. Oleh sebab itu, kepada Allah kita mohon ampun dan petunjuk.
Sejak penulis terjun ke dunia LSM pada tahun 1990, ya kala itu masuk ke dunia LSM dengan maksud untuk belajar bagaimana cara kawan-kawan di LSM saat itu membantu kaum miskin, marginal dan tak berdaya secara ekonomi dan pendidikan itu. Selain itu, apa yang ingin didapatkan saat itu juga agar bisa mengasah kepedulian, kepekaan terhadap persoalan-persoalan orang miskin dan marginal yang hidup dan tinggal di pelosok-pelosok desa di Aceh saat itu.Â
Dengan cara ini, juga sekaligus mendapatkan pengalaman-pengalaman pengorganisasian masyarakat di desa dan di kota. Â Ya, tentu saja, karena ketika itu sudah bersikap kritis, maka dengan ber-LSM, sikap kritis tersebut bisa terus dipupuk. Juga ketika ingin mengembangkan sikap kritis, kreativitas dan menghasilkan sesuatu, pilihannya yang terbaik ya di LSM tersebut.Â
Apalagi di LSM penulis bertemu dengan orang-orang yang berfikiran terbuka dan kritis. Bukan hanya itu, setelah 3 tahun belajar dan mengembangkan potensi diri di dunia LSM yang diberi nama Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LP2SM).  penulis mendirikan lagi sebuah LSM yang dikenal dengan CCDE Aceh, yang merupakan singkatan dari Center for Community Development and Education. Lembaga ini memfokuskan perhatian dan kepeduliannya pada nasib  perempuan dan anak di Aceh.
Maka, berbekal dengan semua itu, pekerjaan-pekerjaan community Development dan kegiatan voluntary bisa dilakukan di masyarakat. Apalagi dorongan dari internalisasi credo dalam melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan masayarakat, menjadi motivasi untuk terus datang ke masyarakat, tinggal bersama mereka, dengar apa masalah mereka, bicarakan dengan mereka dan bantu mereka mencari solusi bersama untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang ada di tengah masyarakat itu.