Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kado yang Memerdekakan Guru

25 November 2017   19:36 Diperbarui: 26 November 2017   09:02 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendeknya, lebih baik memilih sikap apatis saja. Bagi yang apatis melihat bahwa ada atau tidak adanya PGRI tidak terlalu membawa pengaruh bagi mereka dari pada dicap dengan label tukang kritik atau tukang fitnah dan sebagainya. Oleh sebab itu, percaya atau tidak. Setuju atau tidak, banyak guru, anggota PGRI menilai kinerja dan perjuangan organisasi ini tidak membuat para anggota PGRI menjadi sedikit puas. Inilah yang disebut dengan matinya kemerdekaan guru dalam berserikat di ranah organisasi guru.

Selain itu, selama ini banyak guru yang merasa terbelenggu dengan kurikulum yang terus berubah dan gonta-ganti, namun harus mengejar target kurikulum dalam kondisi apapun.  Celakanya, belum lagi satu kurikulum dikuasai dengan baik, lalu berubah lagi dan belajar lagi kurikulum baru. Sehingga kurikulum yang lama belum sempruna difahami, kurikulum baru harus dipelajari dan dijalankan. 

Ya, dalam mengajar dan mendidik mereka dipaksa mengejar target capaian kurikulum,  yang bahkan sering  mengabaikan proses. Padahal, pendekatan proses akan lebih mencerdaskan dibandingkan mengerjar target penyelesaian atau penuntasan materi pelajaran. Akibatnya, pemahaman guru menjadi buruk, hasil belajar anak juga alang kepalang. 

Kondisi seperti ini semakin menjadi beban ketika guru yang saat ini mendapat tunjangan sertifikasi, banyak yang terjebak dalam keharusan membuat berbagai sayarat administrasi yang membuat guru terpaksa melakukannya. Keterpaksaan itu malah mendorong banyak guru melakukan manipulasi, seperti halnya ketika mereka diharuskan membuat penelitian tindakan kelas ( PTK) dan yang lainnya.

Jadi, bila pemerintah benar-benar menghargai  guru, kado kemerdekaan  yang harus diberikan kepada guru adalah berupa kebebasan dalam menggunakan kurikulum yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas pendidikan di sekolah, termasuk keajiban mengajar yang selama ini diawajibkan 24 jam itu. Ada baiknya  jumlah jam mengajar guru dikurangi, namun diberikan waktu bagi guru untuk melakukan upaya pengembangan diri seperti kewajiban membaca dan menulis, atau lainnya yang membuat guru bisa mengembangkan potensi diri masing-masing.

Dengan memberikan peluang yang besar kepada guru untuk mengembangkan potensi dalam waktu yang cukup, pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan bisa memberikan bimbingan kepada guru seperti on and in training secara berkala dan berkelanjutan, sehingga kualitas guru akan meningkat dan sekali gus membawa dampak positif dalam peningkatan kualitas peserta didik di sekolah. Akhirnya, belum terlambat untuk kita ucapkan lagi, Selamat Hari Guru. Jadilah teladan dalam pengembangan pendidikan karakter bagi anak didik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun