Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penataran Guru itu Untuk Apa?

16 November 2017   00:38 Diperbarui: 16 November 2017   00:41 2799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Tulisan ini  ditulis terinspirasi dari sebuah status seorang pegiat dan pejuang literasi di tanah air, Satria Dharma, Pembina Ikatan Guru Indonesia Pusat. Beliau yang selama ini dikenal  sangat giat  bergelut membangun gerakan literasi di tanah air ini sering membuat status di facebooknya dengan uangkapan-ungkapan yang menggelitik. Nah, dalam sebuah satusnya baru-baru ini, ia bertanya, Mengapa pelatihan guru yang diadakan pemerintah selama ini hampir selalu gagal? 

Pertanyaan Pak Satria Dharma itu banyak mendapat tanggapan yang beragam dengan berbagai macam komentar, termasuk penulis sendiri. Namun, mengingat itu adalah status  facebook, agar sulit kita mengambil kesimpulan dari tanggapan itu, sebab ada yang menjawab dengan cara-cara bergurau, ada yang serius  menanggapinya.

Sehingga kita pun sulit menyimpulkan alasan mengapa pelatihan guru yang diselenggarakan oleh pemerintah selama ini gagal. Apalagi,  sangat banyak orang yang memberikan tanggapan terhadap pertanyaan beliau itu. Oleh sebab itu, ada baiknya hal itu ditulis dalam bentuk artikel semacam ini, yang mungkin bisa memberikan manfaat.

Sekali lagi, terinspirasi dari status di facebook itu, penulis terdorong untuk mencoba menuangkan dalam tulisan ini. Tentu saja, ketika membaca status tersebut, tidak dengan serta merta harus harus dibenarkan. Kita harus kembali bertanya, apakah benar pelatihan guru itu dikatakan gagal? Apakah kegagalan itu mereupakan kegagalan pemerintah? Kalau memang gagal, mengapa bisa gagal? Itulah sejumlah pertanyaan yang bisa kita pertanyakan untuk merespon apa yang dipertanyakan oleh Pak Satria Dharma tersebut.

Oleh sebab itu, sebelum menjawab mengapa pelatihan itu hampir selalu gagal, kita harus pastikan dahulu apakah memang gagal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan survey atau sebut saja melakukan penelitian agar kita bisa membuktikan benar atau tidaknya. Barangkali, Pak Satria Dharma sendiri sudah melakukan survey atau riset mengenai hal tersebut.

Tanpa melakukan survey pun, bila kita amati dengan cermat tentang pelatihan atau penataran guru selama ini, yang banyak dilakukan oleh pemernitah, melalui Dinas Pendidikan di daerah, seperti yang juga dilakukan oleh Dinas Pendidikan Aceh, hal itu terbukti benar. Apakah indicator yang bisa kita gunakan untuk mengukur kebenaran itu? Bisa jadi banyak indicator yang bisa kita gunakan. Misalnya, hampir semua pelatihan itu tidak diikuti oleh sebuah kegiatan  tindak lanjut (follow up) untuk melihat apa yang akan direplikasi oleh guru setelah kegiatan pelatihan berlangung. Ya  secara otomatis pula, tidak ada penilaian terhadap hasil pelatihan tersebut. Setelah pelatrihan selesai, ya selesailah sudah. Guru kembali ke sekolah, lalu melakukan rutinitas mengajar, tanpa membawa perubahan.

Bahkan bil kita mengacu pada hasil ujian kompetensi guru (UKG) secara nasional tahun 2015 masih rendah. Bayangkan saja, di tahun 2015 tersebut hampir 3 juta guru sudah menjalankan UKG. Hasil rata-rata UKG nasional  adalah 53,02, sedangkan pemerintah menargetkan rata-rata nilai di angka 55. Bukan hanya itu, selain itu, rerata nilai profesional 54,77, sedangkan nilai rata-rata kompetensi pendagogik 48,94," ujarnya di Kemdikbud, sebagaimana dilansir oleh OKEZONE.com Rabu (30/12/2015).

Kala itu, Anies Baswedan saat masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan menuturkan, bahwa dari 2,9 juta peserta UKG, terdapat 3.805 orang yang mendapat nilai di atas 91. Dia berjanji akan menyampaikan hasil UKG secara lebih lengkap pada pertengahan Januari 2016. Kondisi buruk ini juga masih akan meburuk pada tahun-tahun berikutnya. Ini adalah sebagai pertanda atau alat ukur bahwa benar selama ini penataran guru yang dilaksanakan oelh pemerintah gagal, atau dalam kata lain  tidak mampu meningkatkan kualitas guru secara signifikan.

Nah, dengan mencermati hasil UKG secara nasional yang masih belum membuat hati kita lega tersebut, ada baiknya kita juga bertanya mengapa hasil UKG guru masih belum mencapai angka ideal, masih sangat rendah? Apakah ada kaitannya dengan kegagalan pemerintah melatih para guru lewt berbaga penataran tersebut? Sebelum kita menjawab lebih jauh, maka selayaknya pula kita bertanya, kegagalan tersebut apakah kegagalan pada tataran pihak penyelenggara, atau di pihak guru yang mengikuti pelatihan guru. Sebab  kegagalan tersebut, bisa jadi pada pola pelatihan yang disediakan dan juga kemungkinan pada guru sebagai peserta pelatihan yang gagal mengerti tentang apa yang mereka pelajari dari pelatihan guru tersebut.

Bila kita cermati dengan cermat dan teliti, kegagalan penataran tersebut memang ada pada kedua pihak, yakni pihak pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan, dan pihak guru sendiri. Di pihak pemerintah ( Departemen Pendidikan), selama ini banyak sekali salah dalam melakukan kegiatan penataran guru di tanah air, termasuk di Aceh. Berdasarkan hasil amatan selama ini, ada banyak kesalahan yang dilakukan itu di antaranya adalah sebagai berikut.

Penataran guru tidak diorganisir dengan benar dan sungguh-sungguh. Ketika pelatihan berlansung, seringkali peserta pelatihan tidak mendapatkan Term of reference (TOR), atau kerangka acuan tentang penataran tersebut. Peserta penataran yang ikut penataran hanya datang ke tempat penataran tanpa ada acuan yang dapat mengarahkan mereka mengikuti penataran tersebut. Kedua, panitia yang ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan penataran,  tidak dibekali dengan sense of crisis, mengapa ia ditugaskan sebagai pantian dan apa yang ingin dicapai dari penataran tersebut, banyak tidak diketahui.

Maka, jangan heran, kalau pantia hanya melepaskan segala urusan kepada pihak hotel yang menjadi tempat penyelenggaraan penataran ntersebut. Ketiga, dalam hal jadwal pelaksanaan, seringkali terjadi penyingkatan waktu penataran. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Misalnya kalau penatarannya seminggu, maka bisa disingkat hanya 4 hari saja. Celakanya, para guru pun banyak yang senang bila diperpendek saja, asalah uangnya tidak pendek. Ke empat, penataran guru selama ini tidak atau jarang melakukan evaluasi serta tidak membuat rencana tindak lanjut, sehingga setelah penataran selesai, ya sudah, selesailah sudah. Tidak ada uoaya untuk melakukan follow up penataran tersebut di sekolah masing-masing. Jadi, penataran guru kita masih sarat dengan masalah.

Selain masalah yang bersumber pada kesalahan Dinas pendidikan dalam melaksanakan penataran guru, guru dan kepala sekolah yang menjadi peserta penataran juga tidak kurang kesalahannya.  Kita bisa melihat pada motivasi para guru untuk mengikuti penataran tersebut. Idealnya, penataran guru adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas profesionalitas guru. Ya, meningkatkan kemampuan guru secara pengetahuan ( kognitif), ketrampilan ( psycho motoric ) dan sikap ( affective) dalam bidangnya, sehingga guru meninngkatkan kualitas mengajar dan sekaligus akan meningkatkan kualitas peserta didik.

Sayangnya banyak guru yang mengalami disorientasi dalam mengikuti penataran guru. Ketika mengikuti penataran, ada banyak guru yang ikut penataran karena ada uang saku dan kesempatan untuk jalan-jalan. Juga rendahnya kemauan dan kesadaran guru untuk meningkatkan kemampuan atau kapasitas diri. Ada banyak guru yang sangat rendah kemauan untuk pengembangan diri atau self Development.  Di samping itu, guru pun memiliki budaya belajar yang relative rendah. Tentu, kalau kita identifikasi lebih dalam, ada banyak pula kesalahan guru dalam memanfaatkan penataran guru selama ini.

Bila begitu model penaratan dan model guru yang ikut penataran guru selama ini, wajar saja kalau kualitas guru tidak bergerak menjadi lebih baik, malah sebaliknya menjadi lebih buruk dan kehilangan roh. Oleh sebab itu, wajar kalau Pak Satria bertanya mengapa penataran guru itu banyak yang gagal? Pertanyaan lanjutannya adalah sebenarnya penataran guru itu untuk apa?

Kiranya, pihak pemerintah harus membenahi kembali penataran guru yang masih akan dibuat. Selayaknya sebelum penataran dilakukan, para peserta yang akan ikut penataran perlu ditanya apa kebutuhan mereka mengikuti penataran tersebut. Dengan demikian, para peserta penataran akan mengungkapkan  apa kebutuhan mereka, strategi pelatihan dan lain-lain, sebagai acuan dari apa yang ditargetkan dari penataran tersebut. Ajaklah semua peserta ( guru) melakukan penilaian atau evaluasi serta membuat rencana tidk lanjut. Dengan demikian, kualitas pendidikan kita bisa semakin bagus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun