Â
Seperti biasa, malam hari selepas pukul 21.00 WIB, aku menuju ke warung kopi langgananku, Gerobak Arabica coffee yang letaknya tidak jauh dari tempat usahaku, POTRET Gallery. Ya, biasalah, aku bisa jadi tergolong sebagai seorang pelanggan yang loyal, bila tidak bisa dikatakan fanatic terhadap tempat minum kopi. Ya, lebih baik tidak menyebutkan fanatic, karena fanatic sering berkonotasi negatif. Bisa jadi pula aku digolongkan sebagai sosok yang membabi buta atau babibu.Â
Begitulah aku dalam bersikap sebagai pelanggan. Jangankan untuk urusan minum kopi atau makan di warung, untuk urusan bengkel mobil, urusan belanja barang kebutuhan sebulan dan bahkan membeli pakaian, aku memang tidak suka di banyak tempat, aku lebih cendrung di tempat yang sudah biasa dan kemudian menjadi pelanggan yang setia. Apakah karena aku sebagai sosok seorang yang setia? Tergantung siapa yang menilainya. Kalau penilaianku sendiri yang subjektif, ya aku boleh katakan aku setia.Â
Namanya saja pandangan pribadi. Ya, sudahlah. Apa yang ingin aku sampaikan mala mini, bukan soal minum kopi atau soal berbelanja dan juga kebiasaan memilih bengkel kalau sedang mengalami kerusakan mobil. Yang akan aku bicarakan adalah soal perbicanganku dengan seorang teman ketika tiba di Gerobak Arabica coffee malam Minggu ini.
Sambil menutup payung yang aku gunakan saat menuju warkop (warung kopi), karena hujan, aku lewati beberapa meja yang dipenuhi para pelanggan atau penikmat kopi. Aku mencoba mencari tempat duduk dan tiba-tiba aku melihat Pak Budi, ya nama lengkapnya Budi Azhari. Sosok yang aku kenal sebagai seorang dosen Matematika di Universitas Islam Negeri (UIN) Darussalam, Banda Aceh. Kami sudah lama saling kenal.Â
Pak Budi duduk sendiri, sementara di tempat masih bisa diisi oleh tiga orang lagi. Aku pun menyapanya dan bertanya, sendiri ya Pak Budi? Ya, Pak Tabrani, jawabnya. Silakan duduk Pak, ia mempersilakan aku duduk. Namun, matanya belum tertuju kepadaku, karena ia sedang asyik dengan HP-nya. Hmm, sebentar ya Pak, lanjutnya lagi. "Aku selesaikan sedikit lagi, karena sedang ada ide" ungkapnya. Ternyata ia sedang menulis sebuah tulisan sambil menyeruput segelas kecil kopi 'sanger".
Aku menunggu ia menyelesaikan tulisannya. Namun, aku tidak tahu ia sedang menulis apa dan tentang apa. Ya, aku pun membuka HP yang ada di tanganku, membuka dan ingin melihat jumlah pembaca tulisanku yang aku posting sore tadi. Ya sore tadi aku posting sebuah tulisan yang berjudul, Pioner Literasi di Sekolah itu Juga Pahlawan". Aku melihat jumlah pengunjungnya sudah lebih dari 100, ya Alhamdulillah, tulisanku dibaca banyak orang.Â
Ya bagiku sangat senang kalau tulisanku banyak yang membaca. Apalagi kalau ada yang memberikan tanggapan, aku merasa sangat terhormat. Tidak peduli apakah itu pujian atau kritik, yang penting itu adalah sebuah bentuk apresiasi yang juga wajib aku berikan apresiasi kepada mereka yang memberikan tanggapan.
Pak Budi pun sudah meletakan HP di atas meja, pertanda ia sudah menyelesaikan tulisannya. Kami pun mulai terlibat pembicaraan. Â Ia meneguk sanger yang tampaknya sudah dingin. Aku bertanya, " Â sedang sibuk dengan banyak kegiatan Pak Budi ya? Ya, lumayanlah Pak Tabrani, balasnya. Sekarang sedang membantu memfasiltasi training menulis PTK untuk para guru matematika. Oo, barusan Bapak menulis soal itu? Tidak, katanya. Ini mengenai hal lain. "Aku kalau sedang ada ide, ya aku harus tulis terus. Karena kalau ide sedang ada, biasanya libido menulis itu tinggi dan ide yang ditulis bisa mengalir dengan mudah".Â
Memang benar pak Budi, selaku lagi. Aku juga demikian, jawabku. Makanya, kalau sedang ada ide itu, jangan ditunda-tunda, kalau ditunda, ide itu akan hilang dan belum tentu bisa kita ambil lagi. Kalau pun ide itu kembali lagi, konteks ide pasti akan berbeda. Maka, sekali lagi janganlah ditunda-tunda. Tulis saja dulu, walau hanya sekedar judul tulisan, atau sebagai bentuk rumusan masalah saja.
" Aku, kalau menulis suka menggunakan imajinasi, ya suka berimajinasi, sehingga tidak bisa focus" tutur Pak Budi lagi. Makanya, setelah aku menulis, aku sering minta isteriku membaca tulisanku dulu, baru kemudian aku posting di facebook.. Biasanya isteriku suka kritik tulisanku dan mengatakan agar aku mengubah sedikit agar tidak ada yang tersinggung dengan tulisanku, lanjut Pak Budi. O, begitu Pak Budi ya? Tanyaku lagi. Kalau aku bersikap dan berfikir bebas saja, bagiku menulis itu adalah sebuah ekspresi atau ungkapan dari pikiranku yang ingin kutulis secara bebas dan independen