Namun, setelah ia diantar oleh pengawas dan beberapa rekan Kepala Sekolah yang ikut mendampingi penulis ke SDN Sarah Gala tersebut, di situlah hatinya terasa sedih dan  tergugah. Apalagi kala menatap wajah -- wajah  anak-anak Aceh Timur yang  di pedalaman ini masih sangat polos dan bershaja,  rasa prihatin semakin menjadi pendorong untuk bisa berbuat sesuatu, untuk melakukan perubahan. Pak Anwar semakin sadar bahwa ini adalah kewajiban besar yang harus diemban agar bisa memberikankan mereka hak atas pendidikan dengan baik. Â
Nah, dengan bermodalkan pengalaman mengajar di sekolah inti atau unggul, Pak Anwar mulai melakukan aksi pembenahan untuk membuat sekolah lebih ramah terhadap anak. Melihat kondisi ini, Pak Anwar mulai mengatur langkah baru. Langkah awal yang harus ia lakukan adalah  menata tampilan fisik sekolah, agar anak-anak  betah  berada di sekolah. Ya, dengan kata lain, kasmaran terhadap sekolah. Agar anak kasmaran dan betah belajar di sekolah, maka Pak Anwar membuat alat -- alat peraga di dinding sekolah. Ia juga mengajak guru kelas untuk menghiasi kelas dengan pernak pernik dan hiasan dinding dari hasil karya anak-anak.
Karena  pagar teras tidak ada, amak Pak Anwar membuatnya, sehingga di depan kelas bisa ditanami bunga-bunga, aman dari  hewan ternak masyarakat sekitar yang di halaman sekolah. Selanjutnya ia memberikan tugas kepada guru kelas untuk menyaring murid yang masih belum bisa membaca di kelasnya masing masing, diberikan kelas khusus.Â
Kelas ini disebutnya sebagai bengkel belajar. Bengkel yang membatu anak-anak yang belum bisa membaca untuk belajar membaca. Ia sangat yakin dan sadar bahwa membaca adalah kunci segalanya, kalau tidak bisa membaca, maka semua materi yang diajarkan guru tidak akan tercapai atau dengan kata lain, nol hasilnya. Untuk mengoperasikan kelas bengkel ini, penulis menugaskan guru honor, khusus untuk menangani membaca dengan target 2 sampai 3 bulan murid mampu membaca cepat. Tujuan utamanya supaya melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah berhasil.
Para murid di kelas bengkel ini berasal dari semua kelas.  Mereka hanya belajar membaca dengan  bahan yang  dicopy dari buku bacaan cepat anak sekolah TK. Buku baca cepat ini digunakan agar para murid tidak lagi  mengeja, tetapi langsung membaca kata.  Ya, seperti belajar membaca iqra'. Kegiatan ini terus diupayakan dengan berbagai teknik.Â
Apalagi para guru terus meberikan dukungan untuk menuntaskan masalah ini supaya semua murid bisa membaca. Agar, kebiasaan membaca tidak hanya tumbuh di bengkel membaca, kewajiban yang sama juga untuk kelas lain. Â Setiap hari wajib membaca 15 menit sebelum proses PBM berjalan. Â Itu wajib dilakukan. Selain sebagai amanat dalam peraturan menteri pendidikan, membaca 15 menit ini juga bertujuan menguatkan dan meningkatkan minat para murid untuk membaca dan menulis.
Kegiatan ini dilakukan dengan sadar, karena membuat anak mampu membaca dan menulis adalah membangun jembatan bagi masa depan anak yang lebih baik. Tentu saja sekalian menyukseskan program Kemendikbud dalam melakukan Gerakan Literasi Sekolah. Paling tidak, dengan cara ini murid-murid SD Negeri Sarah Gala,  bisa menjadi anak-anak  yang cerdas seperti anak - anak yang lain seusia mereka. Untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang inovatif itu, memang mudah, tetapi tidaklah semudah membalik telapak tangan. Â
Membalik telapak tangan saja perlu energy, apalagi membangun literasi. Artinya selalu ada kendala yang menghadang. Â Sebenarnya, untuk sekolah yang jumlah muridnya saat ini mencapai 110 orang, seharusnya sudah memiliki perpustakaan dengan perlengkapan pustaka yang memadai. Faktanya, itu tidak. Padahal, kalau perpustakaan dan sarananya lengkap, itu sangat membantu guru dan mendukung kelancaran para murid dalam belajar.
Untunglah tidak cepat patah semangat, sehingga sebagian ruang guru  dijadikan pustaka mini. Sesuai dengan namnya mini, Pak Anwar dan para guru memanfaatkan rak buku yang ada, memajang buku buku pelajaran sebagai bahan untuk menumbuhkan minat murid untuk membaca. Sekolah ini ketika pada masa awal ia menjadi kepala sekolah, memang memiliki buku yang sangat minim. Jangankan buku bacaan,  buku pelajaran dan buku bacaan yang  sangat minim.Â
Bayangkan saja, dalam proses PBM satu buku itu bisa berbanding 4 murid. Jika para murid ingin membaca, mereka hanya bisa membaca buku teks pelajaran, karena buku cerita di sekolah tidak rersedia, sehingga minat para murid untuk membacanya jadi rendah. Alhamduliah sekarang untuk kebutuhan buku pelajaran sudah tersedia dengan rasio 1 banding 1, namun untuk gedung perpustakaan masih belum ada.
Agar kondisi minimnya bacaan bagi anak-anak di SD Negeri  Sarah Gala ini membuat Pak Anwar terus berupaya mencari jalan agar walau sedikit akan selalu ada buku baru. Maka, ketika mengikuti acara lomba budaya mutu SD wilayah 3T tingkat Provinsi Aceh tahun 2017 ini yang mengantarkan dirinya sebagai juara harapan I, ia berusaha mencari sejumlah bacaan yang menarik, untuk dibawa ke sekolahnya.Â