Pagi ini, Minggu 5 Oktober 2017 seperti biasa selepas bangun tidur dan salat subuh, aku melakukan olah raga lari pagi mengitari bundaran di bawah jembatan Pango Raya, Banda Aceh. Bedanya, pagi ini aku tidak sendiri, tetapi ditemani anakku Ananda Nayla. Ia bisa belajar akan makna olah raga pagi, karena kalau hari-hari lain, ia tidak bisa ikut olah raga, karena pagi-pagi harus sudah berangkat ke sekolah. Ia sangat gembira dan senang.Â
Sayangnya aku dan Nayla tidak bisa berlama- lama berolah raga, karena aku harus memenuhi udangan seminar yang  sehari sebelumnya aku terima serta sekali gus mendaftar ikut seminar di pagi Minggu ini.. Jadi, kami bergegas pulang ke rumah dan menyiapkan diri untuk mengikuti seminar yang dalam pikiranku sangat menarik itu. Ya, aku sangat berminat untuk bisa ikut.  Apa yang menarik minatku, ya karena sesuai dengan minat atau concern di bidang literasi. Apalagi, seminar itu bertajuk " Membangun Semangat Literasi Menuju Aceh Carong "
Aceh Carong itu, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah  Aceh pintar dan cerdas. Ya, Aceh yang peradaban tinggi. Aceh Carong itu menjadi salah satu program andalannya Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang dilantik  pada tanggal 5  Juli 2017 lalu. Bisa jadi, kegiatan seminar literasi ini menjadi bagian dari upaya untuk mewujudkan Aceh Carong tersebut. Bisa jadi, apalagi kegiatan seminar literasi hari ini dilaksanakan di gedung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh.Â
Maka, pagi ini, ketika memasuki ruangan seminar,  pada backdrop yang sudah dipasang di depan ada tulisan di backdrop, yang menjelaskan tentang acara tersebut. Ternyata, kegiatan seminar itu menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Pembukaan Training  Terpadu Nasional Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh. Artinya, ini adalah seminar hasil kerja sama pihak Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh.
Jadi, kegiatan ini menjadi  sangat menarik untuk diikuti. Apalagi aku sendiri memang sangat tertarik untuk belajar tentang gerakan literasi dari banyak sumber. Bagiku, selain tema literasi itu sebagai concern, sebagai titik perhatianku, motivasiku untuk ikut semiar tersebut juga untuk menapatkan pelajaran-pelajaran penting dari orang-orang hebat,  belajar langsung dari para ahli yang sudah sekian lama berkecimpung di dunia literasi. Â
Selain itu, aku sebagai salah seorang yang bisa dikatakan pegiat literasi yang sedang menjalankan kegiatan literasi untuk perempuan dan anak, merasa ini adalah sebuah kesempatan emas untuk bisa berbagi dan sekaligus untuk melihat peluang untuk bersinergi. Kesempatan untuk membangun aliansi strategis untuk membangun gerakan literasi di Aceh sebagai bagian dari upaya mencerdaskan generasi.Â
Aku merasa ada potensi yang bisa kutawarkan. Ya, karena aku memiliki dua majalah yang memang dimaksudkan untuk membangun budaya literasi yang secara khusus  untuk kalangan perempuan dan anak dan secara umum, untuk semua kalangan masyarakat di Aceh.
Pagi ini, aku benar-benar belajar dari orang-orang yang hebat, orang-orang yang memiliki kekayaan intelektual dan emperis. Bayangkan saja, ada tiga pembicara utama yang menurutku adalah para ahli di bidang literasi. Pembicara pertama yang memberikan materi adalah Prof. Dr. Fariz Wajdi Ibrahim, MA, Rektor UIN Ar-Raniry, Banda Aceh yang dikenal sangat kritis dan berani berbicara lantang. Dalam waktu yang sangat singkat itu Prof.Dr. Fariz Wajdi Ibrahim, MA tampil sangat inspiratif dan  membuat para peserta seminar menyimak setiap kata yang ia sampaikan.Â
Apalagi kemampuan orasinya yang sangat berisi dan segar itu,  karena kekayaan pengetahuan dan pengalamannya menambah bobot seminar menjadi sangat bernas. Nah, ketika pada pembukaan acara, Drs. Munir Aziz, M.Pd menyinggung soal pernyataan Prof. Dr. Fariz Wajdi Ibrahim, MA beberapa waktu lalu, mengenai  fenomena banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu di warung kopi dan kafe-kafe.Â
Pernyataan beliau yang dikutip dan dipublikasikan banyak media kala itu mengatakan bahwa " sejumlah mahasiswa 30 persen sering di kampus dan 70 persen di kafe-kafe. Hal ini mengherankan dan mencemaskan beliau karena akan sangat berpengaruh pada kualitas mahasiswa itu sendiri.
Terkait dengan persoalan literasi, beliau mengingatkan kita, mengingatkan masyarakat Aceh dan juga masyarakat Islam, bahwa saat ini umat Islam tertinggal 1000 tahun dibandingkan dari masa kejayaan para penulis Islam masa lalu. Begitu pula bila dibandingkan dengan masyarakat di Negara-negara atau masyarakat Eropah yang jaraknya sekitar 350 tahun.Â