Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Segeralah Berwirausaha

2 November 2017   00:50 Diperbarui: 2 November 2017   22:05 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Tadi pagi, kala mengajar mata kuliah kewirausahaan untuk mahasiswa program study Perbankan Syariah, fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry, aku bertanya pada beberapa mahasiswa. Aku bertanya, kalau kalian nanti selesai kuliah, setelah menjadi sarjana, mau ke mana dan apa yang akan kalian lakukan?  Mau bekerja pak. Bekerja? Bekerja di mana?

Bekerja di bank Pak. Saya ingin bekerja di bank Syariah, jawab seorang mahasiswa. Ternyata memang rata-rata mereka menjawab ingin mencari kerja di bank setelah mereka tamat.  Tentu tidak salah. Ya, there is nothing wrong with their answers, karena mereka sedang digembleng di jurusan perbankan syariah. 

Jadi, secara otomatis mereka memang dipersiapkan atau dididik untuk mampu dan bisa dipekerjakan di bank, atau di lembaga-lembaga keuangan lain. Tidak tertutup pula kemungkinan untuk   menjadi PNS di kantor-kantor pemerintah. Apalagi selama ini mindset masyarakat kita, para orang tua dan pencari kerja (job seekers) berpikiran bahwa yang namanya bekerja itu, ya jadi PNS. Kalau bukan PNS, bukan kerja namanya. Ya, begitulah pola fikir masyarakat kita selama ini terkait dengan dunia kerja.

Nah, mendengar jawaban mereka yang rata-rata mau bekerja di bank dan mau menjadi PNS, aku pun kembali mengajukan pertanyaan. Kalau nanti tidak mendapat pekerjaan di bank dan juga di kantor pemerintah sebagai PNS, mau kemana lagi? Sebagian menjawab, kita lihat nanti pak, juga sebagian lain, sementara belum ada lowongan kerja, kita cari lowongan untuk bisa menjadi tenaga honorer. Bahkan ada pula yang setekah selesai, akan melanjutkan ke jenjang S2. Kata mereka, kalau sudah S2, akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Hmmm, gumamku. Kalau setelah lulus S2, tidak juga mendapat pekerjaan, bagaimana? Akankah terus menunggu atau mencari peluang honor di kantor-kantor seperti yang terjadi selama ini?

Sebelum mereka menjawab, aku pun kembali bertanya, apakah mereka ada membaca berita di surat kabar tentang sejumlah sarjana yang gagal melanjutkan tes di Kemenkumham.  Sebagian mereka tampaknya tidak membaca. Aku mencoba menceritakan kepada mereka tentang berita di Harian Serambi Indonesia terbitan edisi Minggu, 17 September 2017. 

Kebetulan aku membawa laptop ke ruang kuliah, lalu aku mencari berita itu dan aku membacanya." Sebanyak 5.878 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Aceh jalur S1 Kanwil Kemenkumham Aceh, dipastikan tidak bisa melanjutkan ke tes tahap selanjutnya setelah dinyatakan tidak memenuhi passing grade (nilai) dalam ujian berbasis komputerisasi selama enam hari terakhir. Dari total 6.386 orang yang ikut, hanya 326 orang yang lulus, selebihnya terjegal ujian dengan sistem Computer Assisted Test (CAT) tersebut."

Setelah membaca berita itu, aku mengajak mereka berfikir sejenak, lalu mengajukan lagi beberapa pertanyaan dan mengajak mereka membayangkan mimpi buruk sebanyak 5.878 orang calon PNS tersebut. Belum lagi mereka sempat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aku lemparkan kepada mereka fakta lain, aku kemudian membacakan lagi tentang nasib buruk para guru non PNS yang selama ini bekerja sebagai guru honor di berbagai jenjang pendidikan di Aceh.

Mereka sepertinya agak sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilempar bertubi-tubi kepada mereka. Ya, ceritanya begini, nasib 8500 guru non PNS atau guru kontrak pada Sekolah Luar Biasa (SLB), SMA), dan SMK di Aceh yang dilimpahkan pada Oktober 2016 oleh pemerintah kabupaten/kota se-Aceh kepada Pemerintah Aceh, sebagai konsekuensi dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, semua guru kontrak itu akan diseleksi ulang secara online tahun depan. 

Berita ini, kataku kepada para mahasiswa itu, adalah mimpi buruk para guru honor, guru kontrak, guru bakti yang selama ini mengajar, mengabdi sebagai guru non PNS di Aceh. Mengapa dikatakan mimpi buruk? Ya, karena ketika mereka nanti dites ulang, maka konsekwensinya adalah akan banyak di antara mereka yang gagal atau tidak lulus, karena kebijakan yang biasanya diambil untuk mengurangi guru non PNS adalah dengan cara tes ulang. Artinya, yang mereka harapkan bukanlah test ulang, tetapi pengangkatan mereka dari non PNS menjadi PNS, atau paling kurang, menjadi tenaga pengajar non PNS, tetapi gajinya dibayar lewat APBN atau APBD. Bila tidak demikian, dapat dibayangkan bagaimana hancurnya hati sejumlah guru non PNS yang sudah mengajar, mengabdi sebagai guru di sekolah-sekolah dengan bayaran yang angat rendah dan tidak layak selama bertahun-tahu, hingga 20 tahun? Hancur bukan? Ya pasti.

Ya, sayang sekali nasib mereka yang nanti tidak lulus seleksi, apalagi mereka sudah bertahun-tahun mengajar dengan bayaran honor yang jauh dari layak itu. Mereka pasti akan sangat kecewa. Tetapi mau bilang apa lagi? Pemerintah punya alasan sendiri, walau menyakitkan kita. Mau menangis, mau menjerit, ya menjeritlah. Mungkin begitulah adanya. Semua ini membuktikan semakin sulit bagi anak-anak kita, para sarjana yang baru lulus dan mereka yang sudah terlanjur berharap untuk bisa bekerja di instansi pemerintah.

Mendengar tragisnya nasib calon PNS di Kemenkumham dan juga nasib 8500 guru non PNS yang akan disaring atau diseleksi lagi tersebut, para mahasiswa terlihat tercenuh da nada yang menggeleng-gelengkan kepala. Apalagi setelah aku menyampaikan lagi data BPS berikut ini. Menurut data BPS, angkatan kerja pada Februari 2017 sebanyak 131,55 juta orang, naik sebanyak 6,11 juta orang dibanding Agustus 2016 dan naik 3,88 juta orang dibanding Februari 2016. 

Sementara, penduduk bekerja di Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 124,54 juta orang, naik sebanyak 6,13 juta orang dibanding keadaan Agustus 2016 dan naik sebanyak 3,89 juta orang dibanding Februari 2016. Lalu, apa yang akan terjadi, kalau nanti mereka tamat dan menjadi sarjana ekonomi? Mereka akan berhadapan dengan banyak saingan yang bukan saja lahir dari lembaga pendidikan, tempat mereka dididik, tetapi juga sarjana-sarjana dari Universitas lain yang jumlahnya juga sangat besar. Jadi, tantangan bagi mereka akan terus berat, sejalan dengan semakin banyaknya sarjana baru yang diwisuda sepanjang tahun di Indonesia.

Tantangan  serius lain yang dihadapi oleh mereka ( mahasiswa) yang akan menjadi sarjana kelak adalah tantangan perubahan zaman. Ketika sekarang kita sudah berada di zaman kemajuan teknologi dan informasi, banyak lembaga keuangan atau bank yang mengurangi tenaga kerja mereka dan menggantikannya dengan fungsi teknologi. Misalkan saja, apa yang sudah dilakukan oleh bank-bank selama ini dengan penggunaan ATM yang bisa diakses oleh nasabah dengan mudah itu, maka berapa banyak jumlah tenaga kerja yang berkurang? Pasti sangat banyak bukan? Lain lagi pada jenis-jenis pekerjaan lain yang nantinya akan diganti oleh robot atau segala sesuatu yang self help, layani sendiri yang tidak membutuhkan ada tenaga khusus. Tantangannya semakin berat bukan?

Ya, tentu sangat berat. Oleh sebab itu, agar mereka kelak tidak menjadi penganggur intelektual, maka selagi masih mahasiswa, mereka harus diingatkan. Bukan hanya diingatkan, tetapi harus dengan cepat membagun kesadaran mereka untuk sejak dini, sejak masih duduk di bangku kuliah, harus menyiapkan alternatif lain. Alternatif, pengetahuan, ketrampilan dan sikap perilaku yang lebih antisipatif, melihat ke masa depan. 

Para mahasiswa harus diberikan alternative dengan kemampuan entrepreneurship, agar ketika tidak terserap di Bank, mereka bisa mengerjakan pekerjaan sebagai wirausahawan (entrepreneurs).Demgan pendekatan atau cara ini, mahasiswa kelak bukan saja mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang lain yang dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi orang lain.

Nah, sebagaimana kita ketahui bahwa "Wirausaha", selama ini menjadi narasi dunia kerja atau usaha yang semakin sering terdengar di dalam masyarakat kita. Seringnya orang berbicara soal wirausaha tersebut, seiring dengan semakin banyaknya jumlah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Setiap tahun, lembaga pendidikan baik tingkat SMA dan sederajat, maupun lulusan sarjana (S1) terus melahirkan lulusan-lulusan yang memburu dunia kerja.

 Akan banyak sekali keuntungan bila para mahasiswa  yang sedang belajar di perguruan tinggi tersebut dibekali dengan pengertahuan, ketrampilan dan kemauan untuk berwirausaha. Ya, sejak mahasiswa masih menjalankan tugas dan kegiatan belajar di bangku kuliah, para mahasiwa ini perlu didorong untuk menggeluti dunia wirausaha sejak dini. 

Alangkah bagus bila sejak masih di bangku sekolah sudah banyak mahasiswa yang mau mengerjakan atau mempraktikan wira usaha tersebut. Dengan cara begini, ketika seseorang lebih cepat atau lebih awal membuka usaha, maka pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan serta rasa percaya diri akan bisa lebih cepat diperoleh. Artinya ini lebih baik, sebagai langkah antisipasi terhadap perkembangan kehidupan di masa yang akan datang. Jadi segeralah berwirausaha. semakin cepat, semakin baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun