Pagi Senin, 30 Oktober 2017 menjadi hari yang sangat penting, istimewa dan berarti bagi gerakan literasi di Aceh khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Dikatakan demikian, karena tadi pagi, di penghujung bulan Bahasa, kala bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda, FKIP Bahasa Indonesia dan Sastra, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh membuat sebuah gebrakan di bidang literasi dengan menyelenggarakan Seminar nasional tentang literasi.Â
Seminar tersebut  mengangkat tema "Melalui literasi Kita Tingkatkan Kualitas Sumber Daya manusia Indonesia" dengan mengundang 3 narasumber utama, masing-masing Prof. Dr. Teungku Silvana Sinar,  dari USU Medan, Prof. Dr. Gufron Ali Ibrahim dari Jakarta,  dan Dr. Satria Dharma, pakar literasi dari Surabaya.
Dr. Harun Al- Rasyid,  dalam pengantarnya saat menyampaikan laporannya, memamparkan bahwa seminar ini merupakan rangkaian seminar yang dilaksanakan dalam rangka memperingati bulan Bahasa yang jatuh pada bulan Oktober. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengantarkan Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh menjadi pintu gerbang nasional untuk literasi. Dikatakan demikian atas landasan acuan pada kehebatan penulis -- penulis  Aceh pada masa lalu yang begitu tersohor dan hebat.Â
Oleh sebab itu, tidak salah bila lewat kegiatan ini agar segera didorong Unsyiah menjadi  sebagai Pusat kegiatan dan pengembangan literasi Aceh. Hal ini, penting, karena Aceh juga sebagai pintu masuk Islam ke nusantara, juga menjadi sangat strategis untuk menjawab persoalan-persoalan baca tulis di Aceh yang akhir-akhir ini menjadi sorotan, seiring dengan semakin melemahnya minat membaca dan menulis di kalangan mahasiswa dan masyarakat Aceh, serta tantangan pengaruh penggunaan teknologi informasi seperti gadget yang melemahkan minat baca masyarakat.
" Dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Saya mewakili Rektor Universitas Syiah Kuala, hari ini 30 Oktober 2017 mendeklarasikan Universitas Syiah Kuala sebagai pusat kegiatan dan pengembangan literasi di Provinsi Aceh. Semoga Allah memberkahinya"
Itulah isi deklarasi dari Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh tadi pagi, Senin 30 Oktober 2017. Deklarasi yang dibacakan bersama dengan  Prof. Dr. Jufri, M.Si,Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah, bersama tiga narasumber utama yang ikut dalam acara ini.Â
Deklarasi ini menjadi sebuah kekuatan bagi gerakan literasi di Aceh yang belakangan ini semakin menggeliat yang dilakukan oleh banyak pihak misalnya Ikatan Guru Indonesia (IGI) Aceh yang dimotori oleh Drs. Imran Lahore, Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh yang sejak tahun 1993 telah membangun gerakan literasi di kalangan perempuan akar rumput dengan cara membangun kapasitas kaum perempuan lewat kegiatan pendidikan alternatif, penerbitan majalah POTRET, sebagai media literasi bagi kaum perempuan pada 11 januari 2003 yang diikuti dengan peluncuran www.potretonline.com.
Di tahun 2010 dan penerbitan majalah Anak Cerdas, untuk anak-anak usia PAUD dan SD serta sederajat. Deklarasi merupakan komitmen pihak Universitas yang sesungguhnya bertanggung jawab dalam membangun literasi anak negeri. Oleh sebab itu, apa yang disampaikan oleh Dr. Hizir, Wakil Rektor I saat membuka seminar tadi pagi, ia mengatakan bahwa  bahwa  literasi sangat penting untuk sebuah peradaban. Oleh sebab itu, di Unsyiah, sejak awal mahasiswa sudah harus dapat memahami fungsi literasi. Apalagi bila melihat ke masa lalau, Aceh sebenarnya adalah pusat peradaban pada abad ke 16. Maka, dengan belajar literasi secara  benar, kita dapat berperilaku beradab. Kita akan mengubah Indonesia menjadi lebih baik di usia satu abad Indonesia.
Nah, membaca pernyataan Dr.Hizir tersebut, kita sadar bahwa ketika kita melihat perkembangan Negara-negara maju di dunia, mereka maju bukan karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti kita di Indonesia, tetapi apa yang membuat mereka menjadi Negara-negara maju, makmur dan sejahtera adalah karena mereka sudah memiliki kemampuan lierasi yang sangat hebat dan tinggi. Karena, sesungguhnya, bangsa --bangsa yang memiliku kemampuan literasi yang tinggilah yang mampu membawa Negara mereka menjadi Negara maju. Kita pasti ingat apa yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Jepang untuk memajukan Negara mereka. Kuncinya adalah pada kekuatan baca tulis, yang kita sebut literasi itu.Â
Budaya membaca orang Jepang dan berbagai narasi, dikenal sangat tinggi. Bahkan kini, konon, kesadaran akan pentingnya membaca dan geliat membaca dan belajar itu semakin menjadi budaya kekuatan bagi bangsa Korea dan Tiongkok. Selain itu, tentu saja bangsa-bangsa di Eropa, Amerika dan lainnya, tidak terlepas dari penguasaan literasi yang membuat ada Negara-negara adi kuasa. Ini hanyalah segilintir contoh kecil yang seharusnya membangunkan kita dari kelalaian dan ketertinggalan kita selama ini.
Oleh sebab itu kegiatan seminar  setengah hari  yang menghadirkan tiga pembicara utama masing-masing Prof.DR. Gufron Ali Ibrahim, MS, kelahiran Ternate, Prof. Teungku Silvana Sinar, dari USU Medan dan DR. Satria Dharma, penggagas literasi dari Surabaya membangkitkan lagi kesadaran kita. Seminar yang diikuti oleh lebih kurang 350 peserta dari kalangan dosen, guru dan mahasiswa FKIP Bahasa dan sastra Indonesia, serta peserta umum lainnya, membuka mata kita, betapa bangsa ini sangat lalai dalam membangun literasi yang menjadi kewajiban, kebutuhan untuk menjadi bangsa yang beradab. Tidak dapat dipungkiri bahwa presentasi yang disajikan oleh masing-masing narasumber yang sudah sangat ahli dalam bidang literasi menghentak kesadaran para peserta akan pentingnya membangun literasi.
 Type yang paling bawah adalah type tidak ada buku, tidak bisa baca tulis yang sering kita sebut dengan buta aksara. Jumlah buta aksara di Indonesia menurut data disebtak berjumlah 3.4 juta jiwa atau sekitar 2.07 persen. Type kedua adalah type malas baca yang jumlahnya lumayan besar.Â
Type ini kondisinya ada buku, tidak biasa baca-tulis. Type ke tiga, adalah type yang paling besar jumlahnya, yakni masuk pada kondisi ada buku, tetapi baca-tulis kalau dipaksa. Ya, type Terpaksa baca tulis. Sementara type yang paling atas adalah tyoe yang masih tergolong kecil, yakni baca-tulis sudah biasa. Kondisinya, ada buku, suka dan biasa baca-tulis. Hal yang menyedihkan dalam hal literasi ternyata dalam kurun waktu 3 tahun, indeks literasi bangsa kita  untuk membaca hanya naik satu poin. Jadi sangat memprihatinkan budaya baca tulis kita.
Pada sesi kedua seminar ini, Dr.Satria Dharma tampil solo yang mengajak para peserta seminar melihat derajat perintah membaca. Bagi umat Islam, perintah membaca atau iqra adalah perintah yang tertinggi dan utama. Sesuggguhnya umat Islam adalah umat yang istimewa yang mendapat perintah dari Allah untuk membaca (iqra). Â Perintah yang disampaikan kepada nabi Muhammad sebagai wahyu yang pertama. Iqra adalah petunjuk Allah agar umat Islam menjadi umat memiliki banyak pengetahuan dan ketrampilan dan peradaban Islam.
 Kekuatan Iqra tersebut bagi  umat Islam, sudah banyak melahirkan ilmuan-ilmuan besar seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Namun, sayangnya, secara factual, hingga kini banyak sekali umat Islam, terutama yang berada di Indonesia  yang mayoritas Islam  meninggalkan perintah iqra. Akibatnya, bangsa ini menjadi bangsa yang selalu tertinggal,  bukan hanya  di bidang literasi, tetapi juga dibidang lainnya, termasuk sain dan teknologi. Buktinya, survey Bank Dunia, seperti yang disampaikan oleh Sri Mulyani, dalam bidang sain kita tertinggal jauh, 75 tahun. Tentu kondisi semacam ini tidak bisa dibiarkan, bila kita ingin membangun kehidupan bangsa Indonesia yang beradab dan bermartabat, negari yang maju dan tiak menjadi bangsa pecundang.
Kiranya, masih belum terlambat. Ya, tidak ada kata terlambat. Maka semua kekuatan, potensi yang saat ini sudah tumbuh, harus secepatnya digerakan dalam irama yang semakin cepat, bersama dan bersinergi. Pemerintah, selayaknya menyediakan bacaan-bacaan yang menarik untuk dibaca di sekolah-sekolah, pojok baca-pojok baca, pustaka desa dan sebagainya. Begitu pula dengan masyarakat, harus dengan penuh partisipasi memulai membudayakan budaya baca dari rumah. Mengajak dan memotivasi anak sejak usia dini untuk membaca, dengan pertolongan orang tua dan sebagainya. Kini saatnya kita bangkit, mencerahkan dan mencerdaskan bangsa dengan literasi. Ya, mulailah membaca dari rumah. Dr. Satria Dharma, bahkan memberikan contoh dan cara mempraktikan membaca bagi anak-anak usia dini.
Yang jelas, apa yang dilakukan kemarin di auditorium FKIP Unsyiah tersebut merupakan seminar yang memperkuat gerakan literasi di Aceh untuk mengantarkan rakyat Aceh dan Indonesia menjadi bangsa yang berbudaya baca dan bangsa yang berdaya saing tinggi serta mampu menghadapi tantantang global yang semakin sengit ini. Hidupkan literasi, hidupkan budaya baca. Biasakan membaca, hingga membudaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H