Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menjadi Guru yang "Entertainer"

29 Oktober 2017   00:23 Diperbarui: 29 Oktober 2017   22:25 3527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teaching is an art, begitu ungkapan yang pernah saya baca dari sebuah buku yang saya sendiri sudah lupa. Karena mengajar itu adalah seni, maka proses mengajar itu bisa diimprovisasi. Kita bisa memolesnya dengan berbagai bentuk kreasi-kreasi baru. Mengemasnya dengan hal-hal yang inovatif. Mengajar tentu saja bukan sekedar mentransfer ilmu dan ketrampilan, tetapi harus memilki fungsi-fungsi lain seperti fungsi hiburan. 

Nah, sebagai sosok seorang guru yang menganut falsafah guru yang pembelajar, saya mencoba mengembangkan sebuah cara pembelajaran yang dapat menarik minat para peserta didik untuk belajar bahasa Inggris. Karena pengalaman kita dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di sekolah memang lebih banyak hal yang tidak menarik. Pelajaran bahasa Inggris menjadi pelajaran yang membosankan, ditakuti siswa dan sebagainya.  Realitas ini  saya temukan berbekal pengalaman mengajar selama  lebih 10 tahun. 

Saya juga sering bersama siswa mengidentifikasi berbagai masalah yang menyebabkan kegagalan pmbelajaran bahasa Inggris di sekolah selama bertahun-tahun itu. Setelah mengidentifikasinya, tentu dilakukan langkah selanjutnya dengan menganalisis masalah --masalah itu. Dari hasil analisis ini saya menemukan berbagai faktor. Salah satu faktor utamanya adalah faktor guru. Saya berkesimpulan pada saat itu, bahwa guru sangat berperan dalam membuat sebuah pengajaran bahasa Inggris gagal di sekolah. Kegagalan siswa dalam menguasai bahasa Inggris tidak terlepas dari kegagalan guru melakukan inovasi dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah.

Adalah sebuah keanehan dan sangat tidak masuk akal, kalau seorang peserta didik belajar bahasa Inggris selama 4 jam seminggu (dua kali seminggu), selama 6 tahun lamanya. Namun tidak memahami bahasa Inggris, apalagi untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Padahal, jangka waktu pembelajaran selama 6 tahun juga bukan sebuah rentang waktu yang pendek. Idealnya, peserta didik sudah bisa berbicara cas cis cus dalam bahasa Inggris bukan ?

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Namun, kenyataannya memang hingga kini, betapa banyaknya anak didik kita tidak mengerti, apalagi berbicara bahasa Inggris dengan lancar. Sayangnya kondisi semacam ini tidak pernah menjadi bahan refleksi bagi guru bahasa Inggris. Tidak pernah menjadi bahan kajian. Tidak pernah menjadi sebuah pertanyaan yang dapat mendorong dirinya untuk keluar dari belenggu sistem pembelajaran yang konvensional.

Seharusnya guru bisa bertanya, apakah saya sudah cukup mampu untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada peserta didik?. Guru seharusnya merasa malu, kalau ia sebagai seorang guru bahasa Inggris, tetapi kondisinya sama saja dengan peserta didik, tidak bisa dan tidak pernah berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pertanyaannya adalah apa yang bisa diharapkan dari seorang guru bahasa Inggris yang tidak kompeten mengajar bahasa Inggris, harus mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak didik ? Padahal, tatkala seorang guru bahasa Inggris mengajar di depan  kelas, ia harus menjadi model bagi peserta didik bukan ?

Nah, seperti kata pepatah kuno, kalau begini tarah papan, kebarat juga kan condongnya, kalau begini cara mengajar, maka melarat juga peserta didik jadinya. Maka, sekali lagi wajar, kalau peserta didik yang belajar bahasa Inggris selalu menuai kegagalan. Bahasa Inggris di satu sisi dianggap sangat perlu untuk dapat menguasai ilmu-ilmu dan informasi yang baru dan masih segar. Namun di pihak lain, bahasa Inggris masih dianggap momok yang sangat menakutkan.

Bangkit dari kesadaran itu, ketika saya pindah ke SMA Negeri 3 Banda Aceh, maka saya mulai melakukan berbagai transformasi pembelajaran bahasa Inggris. Saya mencoba merubah paradigma pembelajaran bahasa Inggris dengan memperkaya paradigma pembelajaran yang bervariasi.  Saya sangat yakin bahwa di sekolah ini saya bisa memerdekakan diri saya untuk melakukan perubahan-perubahan paradigma berfikir dan bertindak. Tentu saja, perubahan paradigma tersebut, kita harus mau bereksperimen.mau  berkreasi, berinovasi. Kuncinya adalah kita harus tumbuhkan dahulu sikap kritis. Mau mengkritisi fenomena-fenomena alam, paling tidak fenomena-fenomena  yang ada di sekitar profesi kita sendiri, yakni dunia pembelajaran yang kita geluti sehari-hari.

Mengawali masa tugas di SMA Negeri 3 yang kata banyak orang di Aceh, sebagai sebuah SMA favorit, saya ditugaskan di kelas 1. Sebuah kesempatan yang bagus untuk memulai eksperimen karena mereka adalah orang-orang yang baru memulai pembelajaran di bangku SMA saat itu. Dengan semangat yang besar untuk berkreasi dan berinovasi, saya mempersiapkan diri untuk melakukan sebuah improvisasi dalam sebuah pembelajaran bahasa Inggris. Modal awal yang saya miliki adalah sebuah keberanian untuk berinovasi dan berkreasi. 

Saya harus berani keluar dari sebuah tradisi yang konvensional.. Meninggalkan sebuah sistem pembelajaran bahasa Inggris yang menjajalkan teori-teori. Meninggalkan kebiasaan menyuguhkan aturan-aturan bahasa yang memusingkan peserta didik. Meninggalkan kebiasaan CBSA, catat buku sampai abis yang selama ini membuat para siswa uring-uringan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Untuk membangun sebuah setting  pembelajaran yang kreatif dan inovatif, di samping  membutuhkan  keberanian untuk berkreasi dan berinovasi, juga sangat dibutuhkan keberanian untuk keluar dari belenggu sistem pembelajaran yang ada selama ini. Sadar atau tidak, para guru karena keharusan mematuhi tuntutan kurikulum, telah menyebabkan para guru bersikap otoriter dalam proses pembelajaran. 

Guru masuk ke kelas untuk mengajar membawa sejumlah materi pelajaran yang kerapkali tidak memperhatikan kebutuhan atau keinginan peserta didik. Proses pembelajaran yang terjadi mengesampingkan prinsip-prinsip demokratis. Padahal, para siswa sangat menyukai guru yang bisa menjalankan proses pembelajaran yang demokratis.

Di samping perlunya demokratisasi dalam sistem pembelajaran di sekolah, para siswa sebenarnya sangat menyukai dan memfavoritkan guru-guru yang di mata mereka  tergolong kreatif. Mereka senang dengan guru-guru yang gemar berinovasi, menciptakan dan menemukan hal-hal yang baru yang dibawa ke dalam setting pembelajaran. 

Para siswa juga sangat senang dengan guru-guru yang  suka bergaul (supel) terhadap peserta didik. Para siswa juga sangat senang dengan guru-guru yang humoris. Mereka juga sangat senang dengan guru yang mau dan terbuka terhadap kritik., tidak pemarah dan banyak lagi hal-hal yang disukai anak. Mereka ingin dihargai, tidak mau dipermalukan. Mereka ingin bisa diperhatikan dengan banyak memberikan peran-peran yang dapat melibatkan mereka dalam sebuah proses pembelajaran.

Sadar akan kebutuhan siswa yang demikian, saya melakukan beberapa hal yang dapat dikatakan kreatif dan inovatif serta menantang. Banyak hal yang saya coba praktekkan sejak saya mulai mengajar di SMA negeri 3 Banda Aceh. Akan tetapi hal yang pertama saya lakukan adalah menumbuhkan minat para siswa atau menyemai rasa cinta siswa terhadap pelajaran yang saya ajarkan. Sebab , seperti juga kata orang dalam sebuah bait lagu, kalau cinta sudah melekat, segalanya bisa diperbuat. Untuk menumbuhkan minat atau menyemai cinta tersebut kiranya tidaklah terlalu sulit. Cukup gampang. Yang penting para guru sebelum melakukan hal semacam ini sudah sejak dahulu mau melakukan self development. Banyak cara dan pendekatan yang bisa menumbuhkan rasa cinta itu. 

Agar cinta itu tumbuh dan bersemi. Cinta itu bukan tumbuh karena ketampanan, saya tidak memeiliki tampang yang gagah dan taman. Tetapi  saya berusaha tampil dengan mengedepankan kemampuan berbahasa, kekayaan strategi dan metodologi pembelajaran yang dapat menarik minat dan memikat siswa. Kekayaan strategi, metodologi dan kemampuan berbahasa Inggris yang diwarnai joke-joke segar, membuat para siswa betah belajar. Bukan hanya pada jam-jam pertama di pagi hari, tetapi tetap segar di waktu siang hari, tatkala perut yang lapar dan pikiran yang selalu tertuju ke rumah, para siswa tetap bertahan dan lengkap di kelas.

Kepuasan siswa adalah sesuatu yang harus saya berikan. Maka, saya mencoba melakukan banyak hal yang bisa membuat para siswa senang dan puas. Berbagai cara bisa dilakukan. Namun hal yang paling penting menurut saya dilakukan sebelum melangsungkan proses pembelajaran adalah mendemokratisasikan sistem pembelajaran bahasa Inggris. Agar bisa berjalannya demokratisasi maka strategi yang ssaya jalankan adalah dengan menggunakan sebuah pendekatan yang partisipatoris. 

Saya melibatkan semua siswa untuk mengidentifikasikan masalah-masalah  yang mereka hadapi dalam proses pembelajaran. Masalah itu dianalisis bersama. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, mengapa hal itu bisa terjadi ? Lalu, apa yang sudah anda lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Kemudian, agar masalah --masalah ini tidak terulang lagi, maka menurut anda bagaimana sistem pembelajaran yang anda inginkan ?

Keinginan dan kebutuhan siswa bisa sangat berbeda dengan konsep yang kita bawa. Namun. Oleh sebab itu, saya berusaha memahami keinginan dan kebutuhan siswa. Kemudian bersama-sama para siswa dibangun sebuah konsensus yang harus dijalankan selama proses pembelajaran. Konsensus yang dibangun merupakan sebuah kontrak belajar.   

Di  dalam  kontrak belajar tersebut bersama para siswa dibangun kesepakatan-kesepakatan akan aturan main dalam pembelajaran bahasa Inggris selama satu semester. Aturan-aturan yang disepakai misalnya, proses pembelajaran bahasa Inggris hanya menggunakan satu bahasa, yakni bahasa Inggris. Setiap siswa wajib hukumnya berbahasa Inggris selama proses belajar berlangsung. Lalu, kalau ada yang menggunakan bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran bahasa Inggris tersebut disepakati agar diberikan sangsi. Setelah konsensus ini terbangun, maka proses pembelajaran pun berlangsung. Ini adalah satu hal yang selalu saya bangun tatkala mulai mengajar bahasa Inggris di SMA Negeri 3 Banda Aceh.

Setelah konsensus yang demikian terbangun, maka pembelajaran bahasa Inggris baru bisa dijalankan. Tidak hanya cukup konsensus, akan tetapi bagaimana konsensus itu bisa dijalankan. Maka, saya tetap konsisten. Apabila ada yang melanggar, cukup diingatkan bahwa ini adalah konsensus bersama. Sudah lebih dari 9 tahun pendekatan ini diterapkan. Dan saya  berusaha membawa English language setting and atmosphere ke dalam kelas. Para siswa sepakat untuk menggunakan bahasa Inggris 100 % di kelas. 

Dan mereka bersedia membayar denda. Seratus rupiah harus mereka keluarkan dari kocek per kata, apabila mereka  berbicara dalam bahasa Indonesia selama proses belajar bahasa Inggris. Denda ini, walau kadang sering memberatkan siswa, namun sudah lebih 9 tahun pendekatan ini diterapkan, belum ada satu orang tua pun yang menyatakan keberatan dengan cara ini. Karena kenyataannya, seluruh siswa  di kelas-kelas yang saya asuh, selalu saja menyapa saya dengan penuh keakraban dalam bahasa Inggris. 

Mereka bagi saya adalah teman bagi saya untuk menajamkan kemampuan berbicara atau berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Bertapa senangnya hati seorang guru, kalau melihat para siswanya mampu bekomunikasi dalam bahasa Inggris. Bukan hanya sekedar mampu berbicara tentang soal-soal yang simple, tetapi mereka mampu berdiskusi dan berdebat dalam bahasa Inggris.

Agar bisa menjaga dan mempertahankan keterpautan hati para siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris bersama saya, saya selalu berupaya meningkatkan kompetensi saya sebagai guru bahasa Inggris.Saya mempelajari teknik-teknik mengajar yang kreatif. Maka dalam pembelajaran yang saya lakukan selalu tetap kreatif, inovatif dan humoris. Saya tidak mewajibkan para siswa membeli buku. Saya selalu mencari bahan dari luar buku paket yang ada. Bisa itu guntingan koran, leaflet-leaflet, brosur-brosur berbahasa Inggris dan bahkan bahan-bahan yang saya akses dari email dan internet.  Para siswa di sini selalu saja menemukan sesuatu yang baru, aktual, menarik dan perlu.

Pendek kata,  pendekatan-pendekatan yang kreatif dan inovatif diaplikasikan. Yang saya aplikasikan selama ini, banyak memberikan pelajaran yang berharga bagi saya dalam mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak SMA 3 Banda Aceh. Kemudian, untuk membuat mereka tetap bertahan di kelas, bisa belajar dengan penuh kesenangan. 

Saya benar-benar berupaya menyegarkan suasan belajar yang segar, berenergi, serta dinamis. Kelas bukanlah satu-satunya tempat mereka belajar. Para siswa bisa memilih temoat belajar,  indooratau outdoor. Bahkan sering juga belajar di Caf. Sesuai dengan kesepakatan, bahwa saya adalah guru bahasa Inggris. Dan yang paling mereka enjoy, saya selalu menempatkan diri saya sebagai guru yang entertainer yang membuat mereka selalu saja terhibur dalam belajar bahasa Inggris.

Kala suasana tegang, dan mulai membosankan, mereka saya hibur dengan bait-bait lagu bahasa Inggris dan juga mencairkan suasana dengan, ice breaker, joke dan humor-humor segar. Sehingga bisa mengusir rasa lapar pada jam-jam terakhir. Saya sendiri jugs merasa nikmat menjadi guru. Karena saya memang enjoy dan juga sangat terhibur dengan sistem pembelajaran seperti ini. Sehingga rasa tidak suka menjadi guru pun telah terkubur. Saya tidak merasa lagi bahwa mengajar adalah sebuah beban yang sangat berat, akan tetapi sebuah masa yang begitu indah. Hingga kini, saya masih sangat senang mengajar dan mencintai profesi guru, walau dalam realitas seharian saya harus bekerja di dunia lain.

Saya sejak tahun 1991 aktif bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Selama 3 tahun saya bekerja di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber daya Manusia (LP2SM), sebuah NGO lokal di Banda Aceh.. Lalu, sejak tahun 1994, saya memimpin Center for Community Development and Education (CCDE ) Banda Aceh, yang concerns untuk pemberdayaan dan pemnguatan perempuan usaha kecil, anak dan juga remaja. Dunia LSM juga telah ikut memberikan kontribusi yang besar bagi saya dalam menuai model-model pembelajaran yang dialogis, partisipatoris dan entertaining. 

Dunia LSM telah memebrikan banyak ilmu pengetahuan dan ketrampilan memfasilitasi berbagai training kepada saya. Saya banyak belajar tentang prinsip-prinsip pembelajaran yang membebaskan dan juga memperkaya saya dalam penguasaan metodologi pembelajaran yang menarik. Walau saya sekarang memimpin sebuah LSM, pekerjaan saya sebagai guru tetap berjalan dengan baik hingga kini. Saya cinta dan sangat suka menjadi guru saat ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun