Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Antara Dua Phanga, Aceh dan Phuket

26 Oktober 2017   20:54 Diperbarui: 26 Oktober 2017   21:18 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika mengantarkan bantuan sepeda untuk 15 anak-anak yatim, miskin dan disabilitas di Phanga, sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Jaya beberapa waktu lalu, kami bertiga, aku ( Tabrani Yunis, Iqbal Perdana dan Pak Imran Lahore) menikmati santapan makan siang di sebuah warung di daerah Patek, sebelum sampai ke Phanga yang merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Teunom pada tahun 2000 itu sebelum bencana tsunami. Ya, kami singgah sejenak mengisi perut yang sudah terasa kosong, setelah menempuh perjalanan lebih dari 150 kilometer. 

Aku yang mengemudi mobil double cabin Ford Ranger keluaran tahun 2002 itu memarkir mobil tepat di depan warung. Kami pun mengambil sendiri nasi dan lauk dari lemari nasi yang diletakkan di bagian depan warung. Ada banyak pilihan menu gulai, sayur, sambal dan ikan goreng yang diatur begitu rapi. Kami bisa mengambil mana yang kami suka, sembari meneguk segelas the dingin ( es the manis) sebagai penyegar.

Usai makan siang, melaksanakan salat dzuhur dan kemudian  melanjutkan perjalanan melewati Kecamatan Calang, Kecamatan Krueng Sabe. Jarak dari kota Calang ke Phanga, sekitar 25  kilometer lagi. Dengan sedikit memacu kecepatan, kami tiba di  Kecamatan Phanga sekitar pukul 14.00 WIB.  Di pasar Phanga, kami berhenti sejenak untuk menunggu Bung Maimun yang membantu kami untuk mengantar sepeda ke alamat anak-anak, penerima bantuan anak-anak yatim, piatu dan anak miskin di Phanga mengajukan bantuan sepeda ke CCDE dan POTRET. 

Tidak lama kemudian, Bung Maimun, yang dikenal sebagai salah satu tokoh masyarakat di Phanga itu datang dan langsung mengajak kami masuk ke kampung-kampung  mengantarkan sepeda tersebut ke rumah-rumah anak yang menjadi penerimanya. Mereka sudah ada dalam daftar penerimaan yang masih belum diverifikasi, tetapi kami sudah langsung membawa sepeda, karena kami tahu kondisi kehidupan masyarakat di Panga ini memang banyak yang miskin.

 Apalagi daerah ini adalah daerah yang juga mengalami musibah bencana tsunami 26 Desember 2004 lalu. Buktinya, di daerah ini banyak rumah bantuan tsunami dan juga rumah bantuan dhuafa saat sebelum bencana itu. Bahkan, kami menemukan seorang anak laki-laki yatim piatu yang tinggal bersama neneknya, tidak ada dalam daftar penerima. Karena ia paling layak menerima, maka kami langsung memberikan ia satu sepeda. Dia sangat gembira, terharu dan bersyukur. "Alhamdulillah, saya dapat sepeda" ujarnya. Kami pun sangat terharu, ketika mendengar nasib anak laki-laki ini. Bahkan, aku sampai menitikkan air mata.

p1010008-jpg-59f1e86b28d54e1ed84e1f23.jpg
p1010008-jpg-59f1e86b28d54e1ed84e1f23.jpg
Hmm,, kami datang ke Phanga kala itu adalah untuk mengantarkan bantuan sejumlah sepeda yang diusulkan Bung Maimun, kepada kami di CCDE dan POTRET oleh anak-anak yatim dan miskin di daerah itu.  Bung Maimun tahu bahwa selama ini ada program 1000 sepeda dan kursi roda yang diselenggarakan oleh CCDE, Majalah POTRET dan Majalah Anak Cerdas untuk membantu anak-anak miskin, yatim, yatim piatu dan anak-anak disabilitas di Aceh. 

Program ini adalah program sosial murni yang sumber dananya bersumber dari para dermawan atau donatur yang tersebar di mana saja, baik di Aceh, Indonesia dan bahkan dari luar negeri yang sudi menyumbangkan dana seberapa ikhlas. Ada satu sahabat dari Denmark yang selalu membantu kegiatanku ini. Namanya, Lars Toft Rasmussen yang bekerja di TV2 Denmark. Ia bertemu denganku tahun 2005. Pertemuan yang membuat hubunganku dengannya sampai saat sekarang masih kuat.

Nah, perjalanan kami mengantar sepeda tersebut hingga waktu magrib. Kami pun tidak sempat menikmati keindahan Pasie Phanga dan Pasi Aron Patah yang berpasir putih. Pantai yang banyak dikunjungi orang pada hari-hari libur untuk rekreasi bersama keluarga. Bahkan seperti diceritakan Bung Maimun, di Kemukiman Panga Pucok ada terdapat danau Laot Bhee yang masih alami dengan pemanangan gunung dan hutan pegunungan ang sangat asri. 

Namun, apa daya, karena aku harus berpacu memegang kemudi mobil yang akan melewati 3 gunung, masing-masing Gunung Geureute, gunung Kulu dan gunung Paro yang menanjak dan berliku-liku itu.

Aku sangat terkesan dengan kondisi alam di desa-desa serta wilayah pantai Kecamatan Panga ini, apalagi kalau sempat ke pantainya yang indah itu. Namun, setelah mengamati kondisi alam tersebut, di sepanjang perjalanan pulang ke banda Aceh, pikiranku terbawa jauh melewati pulau dan bahkan benua Asia sekali pun. 

Ya, pikiranku kembali mengembara menunju daerah pantai di Phuket, Thailand, ketika pada tahun 2005, pasca bencana tsunami. Aku kala itu mendapat kesempatan untuk mengikuti acara Workshop and Consultation on Child protection, Phuket 28 Nov -- 2December 2005.Workshop yang berlangsung di Novotel, yang berada di atas bukit dekat kota Patong, Phuket itu mengadakan acara kunjungan ke daerah yang terkena dampak bencana tsunami. Kami saat itu berangkat dengan mini bus milik hotel.

Kala itu, juga pikiranku menerawang mengingat Panga yang saat itu masih menajdi wilayah Aceh Barat itu. Apa yang membuatku mengingat Panga, jelas yang pertama karena ada kesamaan nama tempat. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa ada nama Phanga di Phuket, Thailand ini? Ya, mengapa nama tempat ini sama dengan yang di Aceh? Apakah dulu orang-orang dari Phanga, Phuket, Thailand ini banyak bermigrasi ke Aceh? Aku benar-benar tidak tahu.

 Siapa tahu, memang ada orang dari Phanga di Phuket yang bermigrasi di aman dahulu. Kesan yang kedua, letak Phanga di Phuket itu sama seperti Panga yang kini di Aceh jaya itu. Ya, sama-sama terletak di pinggir pantai. Ke tiga, tentu sama-sama mengalami dampak berat bencana tsunami pada tanggal  26 Desember 2004. Selain itu, suasananya yang banyak pohon-pohon itu juga menjadi kesamaan. Bahkan juga bisa jadi gajah-gajah yang kelihatan di Phanga, Phuket itu juga bisa sama-sama ada di Panga, Aceh Jaya. Pokoknya, ada banyak kesamaan yang membuat penerawangan pikiranku akan dua Phanga yang di Aceh dan di Phuket, Thailand ini.

img-7097-jpg-59f1e8d9b3f5ca6d960f9f52.jpg
img-7097-jpg-59f1e8d9b3f5ca6d960f9f52.jpg
Tidak kalah pula, ternyata there was another similarity. Ya, ada kesamaan yang lain. Kesamaan cita rasa makanan. Kami bisa makan sajian makanan yang pedas-pedas, seperti sambal udang yang ditumbuk dengan asam belimbing. Juga masakan asam pedas yang bagi mereka disebut tomyam itu.  

Ya, begitu banyak kesamaan yang ada. Namun teka-teki di antara dua Phanga itu belum juga aku temukan. Siapa tahu, suatu saat ada yang mau melakukan napak tilas, mencari dana menyusuri lubang-lubang sejarah yang barangkali " Di antara dua Phanga ini, memang saling berhubungan. Alasannya tentau bisa masuk akal, karena kedua daerah ini sama-sama berada dekat lautan Hindia, walau Phuket agak menjorok ke laut Andaman.

Wow, ternyata perjalanan dan pengembaraan pikiran ke sentrum kedua Phanga ini, tanpa disadari, kami sudah berhadapan dengan malam. Aku mempercepat laju mobil, namun harus berhenti lagi di Patek, untuk melaksanakan salat magrib dan makan malam. Kami harus makan malam dan istirahat sejenak, agar tidak mengantuk ketika mendaki bukit gunung Geureute yang indah tetapi mendebarkan itu. 

Bukan hanya itu, banyaknya tikungan dan tanjakan tajam di pengunungan Kulu dan Paro mengharuskan aku punya energy dan tidak mengantuk. Alhamdulilah, perjalanan sepanjang 175 kilimeter dari Phanga, Aceh Jaya ke Banda Aceh bisa kami lewati, setalh tepat pukul 21.00 WIB kami masuk ke kota Banda Aceh. Kembali aku terkenang Phanga, Aceh Jaya, Aceh dan Phanga di Phuket, Thailand. Siapa tahu aka nada jawabannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun