Dulu, ketika internet dan media sosial atawa medsos belum berkembang seperti sekarang ini, kita menggunakan majalah, surat kabar atau buku-buku, sebagai sumber bacaan. Tentu saja sifat komunikasi yang terbangun adalah satu arah, tidak interaktif seperti  media sosial yang kita gunakan sekarang lewat Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain.Â
Namun demikian, walau membutuhkan waktu yang relatif lama, kita tetap mencoba berkomunikasi dua arah dengan cara mengirimkan surat pembaca untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang kita baca. Bila ingin interaksi secara langsung, maka pilihannya adalah menggunakan media audio dan audio visual, seperti radio dan televisi. Begitulah perkembangan media komunikasi kita saat itu.
Nah, sebagai orang yang gemar membaca saat itu, aku suka sekali membaca majalah-majalah yang mengangkat kisah-kisah inspiratif, kisah kehidupan manusia atau orang-orang yang dalam hidupnya berjuang melawan sesuatu untuk bisa bertahan hidup ( survival). Salah satu kisah yang sering aku baca di majalah Kartini, misalnya adalah kisah orang-orang yang berjuang melawan penyakit tertentu, yang mereka kemas di dalam rubrik, "Oh Papa, Oh Mama". Â Rubrik publik untuk mengekspresikan penderitaan atau masalah hidup yang sedang dihadapi dan sebagainya.
Ya, berbagai kisah sedih tentang seseorang yang mengidap penyakit dan sulit disembuhkan. Misalnya ada yang berjuang hidup melawan penyakit ganas seperti tumor, kanker dan sebagainya. Ada pula kasus orang-orang yang mengalami stres sekian lama dan bahkan menjadi gila. Berbagai macam jalan atau cara yang ditempuh untuk mengobati penyakit tersebut.Â
Ada yang berobat ke dokter, bahkan ke dukun-dukun serta bagi mereka yang stres dan trauma mencari jalan terapi kepada para psikolog dan psikiater dan lainnya. Biaya pun dikeluarkan begitu besar, yang penting bisa segera pulih. Ya bisa sembuh dan kembali seperti semula. Apalagi bagi kebanyakan masyarakat menyakini apa yang dikatakan dengan "segala penyakit ada obatnya, kecuali mati".Â
Namun, tidak sedikit yang putus asa, karena penyakit yang diderita tak kunjung sembuh atau pulih. Begitulah kisah sedih yang kita bisa baca di majalah-majalah, termasuk majalah Kartini dan lainnya saat itu yang sangat berkesan hingga saat ini.
Mengenang bacaan-bacaan kisah-kisah inspiratif dan elegi orang -- orang yang bernasib malang itu, mendorong aku untuk menulis tantang pengalaman pribadiku, ketika aku pernah mengalami trauma yang panjang. Trauma akibat dari sebuah peristiwa bencana alam yang sangat dahsyat yang pernah menghantam hidupku dan keluargaku pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu.Â
Bencana gempa bumi 8.9 SR da nada juga menyebutnya 9.1 SR yang diikuti gelombang tsunami menghantam dan memporak-porandakan sebagian besar daerah pesisir pantai barat dan timur Aceh kala itu. Tsunami yang bisa dikatakan sebagai sebuah gelombang revolusi yang sangat dahsyat itu yang menyebabkan lebih dari 200.000 korban meninggal dan hilang, serta kehancuran insfrastruktur dan lainnya, termasuk isteri, anak, dan harta-hartaku. Bencana itu membuat aku mengalami trauma yang bisa dikatakan lumayan berat. Sebab, setiap kali hari Sabtu dan Minggu datang, aku sering menangis dan bahkan hatiku bagai berteriak-teriak, ingin bertemu anak dan istriku yang tak pernah bertemu lagi sejak hari bencana itu.
Bencana itu telah membuat hidupku terombang ambing. Merasa hidup seperti kehilangan kepastian. Setiap hari ditemani rasa sedih dan kehilangan. Aku malah tidak sanggup mendengar suara anak-anak menangis. Sangat benci melihat kalau ada orang tua yang memarahi anaknya. Bahkan suatu hari di bulan Februari 2005, kala aku mendapat kesempatan belajar tentang child help line di India, saat itu pernah beberapa kali tidak mampu melihat anak-anak yang berada di pengungsian dan yang mengalami sakit di rumah sakit di India.Â
Ketika aku melihat anak-anak yang menderita, aku langsung down. Sedih dan menangis. Hati terasa meronta-ronta. Walau sebenarnya aku sering berucap "Anakku, isteriku, hartaku, bahkan diriku, bukanlah milikku. Semua milik Allah dan kembali kepada Allah". Namun, sebagai manusia, aku tetap selalu bersedih, kala itu.
Benci Pada Laut
Salah satu yang pernah aku alami dalam menjalani hidup, di mana "life must go on" kala itu, adalah sebuah perasaan yang membuat aku seperti kehilangan rasa suka terhadap laut. Aku sudah mulai tidak mau ke pantai. Ya tidak suka mengarungi laut dengan mengunakan kapal. Karena setiap aku melihat laut, aku dihadapkan pada sejumlah pertanyaan tentang kehilangan itu.Â
Aku ingat, kala itu di tahun 2006, kebetulan aku mengikuti dua acara di Phuket, Thailand. Hotel tempat aku menginap, tidak jauh dari pantai atau laut. Kondisi itu selalu membuat pikiranku bermain-main dengan rasa rindu dan kehilangan. Aku mencoba menghilangkannya. Seharusnya aku menceritakan hal itu kepada kawan-kawan, agar rasa sedih, rasa rindu itu bisa hilang. Namun, karena tidak ada kawan yang saat itu diajak bicara, maka salah satu caraku untuk mengobatinya adalah dengan cara menulis. Aku menulisnya seperti ini.
Kutitip Rindu Pada Deburan Ombak
Oleh Tabrani Yunis
Ku titip rindu di deburan ombak  nan membelai pantai
Agar lega luka nan menganga
Obati duka pada cinta nan hilang
Ku titipkan rindu pada ombak
Agar setiap kali riak pecah
Hadir  wajah mungilmu nan kurindu
Kutitipkan rindu pada deburan ombak nan membelai pantai
Tuk ku jadikan cerita
Bahwa kau pernah ada dalam jiwa
Kau pernah sejukan raga
Walau hanya sekejap
Kutitipkan rindu pada deburan ombak
Tuk kujadikan catatan bahwa cinta kasih sayang ku pernah ada
Walau sebutir embun karena sesungguhnya kau bukanlah milik ku
Kau hanyalah milik sang Khaliq
Kutitipkan rindu pada ombak nan memutih
Tuk ku jadikan sejarah
Bahwa di tanah kita pernah ada amarah ombak
Nan membawa luka di ujung masa
Di tanggal dua puluh enam Desember dua ribu empat
Phuket, 23 November 2005
Itulah salah satu caraku mengobati rasa stres dan trauma saat itu. Lalu, pada kesempatan perjalananku dari Sabang dengan menumpang kapal feri, di tengah laut, aku menatapi laut dan kembali hatiku bertanya-tanya, hingga aku menangis di feri itu. Aku pun kemudian menuangkan semua itu dalam sejumlah ungkapan perasaan. Ya, aku menuliskan untaian kata pengobat trauma, seperti yang untaian kata di atas. Ada banyak lagi untaian kata yang aku susun, untuk mengobati trauma itu.
Selain menuliskan untaian-untaian kata yang katanya agak puitis itu, untuk mengibati luka hati yang menganga, aku juga banyak dan harus menceritakan kepada banyak orang tantang peristiwa itu, hingga berderai air mata. Bahkan, aku ingat dengan tawaran seorang sahabat, Eka Budianta yang saat itu akan meraysakan ulang tahunnya yang ke 50.Â
Dalam sebuah email, ia menyampaikan kepadaku bahwa dalam rangka ulang tahunnya yang ke 50 itu, teman-teman Pak Eka Budianta menulis kesan, kisah, puisi dan apa saja dalam hubungan persabahaatan dengan pak Eka Budianta. Aku juga kebagian tawaran itu, karena aku sendiri sudah bersahabat dengan beliau sejak sebelum peristiwa tsunami tersebut. Maka, saat itu, aku mulai menulis tentang persahabatanku dengan beliau. Aku menulis tulisan yang berjudul " Menapak Jejak Sahabat".
Ketika menulis tulisan itu, aku menceritakan, suatu ketika tida tahun 2002, Pak Eka Budianta datang menjemputku dari  tempat kegiatanku di Kemayoran, Jakarta. Saat itu, beliau membawku jalan-jalan ke mall Grand Indonesia. Ketika, berjalan-jalan, tiba-tiba aku menerima telpon dari isteriku saat itu bahwa anakku Albar Maulana Yunisa demam.Â
Mendengar percakapanku dengan istri, Pak Eka bertanya, siapa yang sakit. Pak Eka Budianta saat itu langsung bertanya, apak Albar sudah bisa membaca. Ia pun membeli sebuah buku Bahasa Inggris yang saat itu lumayan mahal. Kisah ini merupakan bagian cerita yang aku tulis dalam buku " Mekar di Bumi" itu.
Nah, apa yang aku alami ketika menulis? Aku selalu saja terbawa emosi, rasa sedih dan bahkan menangis kala menulis. Tentu tidak salah dan itu, konon bagus untuk mengobati rasa trauma itu. Ketika aku menangis dan terus menuliskan apa yang kau rasa, apa yang aku alami, maka kala itu pikiran menjadi plong. Kepala terasa lebih ringan.Â
Oleh sebab itu, aku terus membiasakan diri menulis dan menulis untuk mengobati trauma yang pernah aku alami. Alhamdulillah, ternyata kegiatan menulis yang aku lakukan, termasuk menuliskan tulisan ini, telah membantu diriku keluar dari trauma yang menyelimuti diriku. Aku bersyukur kepada Allah, karena aku diberikan kemampuan untuk mengatasi trauma dengan terus menulis dan menulis yang manfaatnya sangat dahsyat ini.Â
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya, bila ada orang-orang yang mengalami trauma atau stress untuk mencoba mengekspresikan segala masalah, kesedihan dan stress dengan terus menulis. Apalagi menulis merupakan kebiasaan yang tidak merugikan diri. Ya, selayaknya, aku bersyukur, kini aku sudah keluar dari trauma itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H