Salah satu yang pernah aku alami dalam menjalani hidup, di mana "life must go on" kala itu, adalah sebuah perasaan yang membuat aku seperti kehilangan rasa suka terhadap laut. Aku sudah mulai tidak mau ke pantai. Ya tidak suka mengarungi laut dengan mengunakan kapal. Karena setiap aku melihat laut, aku dihadapkan pada sejumlah pertanyaan tentang kehilangan itu.Â
Aku ingat, kala itu di tahun 2006, kebetulan aku mengikuti dua acara di Phuket, Thailand. Hotel tempat aku menginap, tidak jauh dari pantai atau laut. Kondisi itu selalu membuat pikiranku bermain-main dengan rasa rindu dan kehilangan. Aku mencoba menghilangkannya. Seharusnya aku menceritakan hal itu kepada kawan-kawan, agar rasa sedih, rasa rindu itu bisa hilang. Namun, karena tidak ada kawan yang saat itu diajak bicara, maka salah satu caraku untuk mengobatinya adalah dengan cara menulis. Aku menulisnya seperti ini.
Kutitip Rindu Pada Deburan Ombak
Oleh Tabrani Yunis
Ku titip rindu di deburan ombak  nan membelai pantai
Agar lega luka nan menganga
Obati duka pada cinta nan hilang
Ku titipkan rindu pada ombak
Agar setiap kali riak pecah
Hadir  wajah mungilmu nan kurindu
Kutitipkan rindu pada deburan ombak nan membelai pantai
Tuk ku jadikan cerita
Bahwa kau pernah ada dalam jiwa
Kau pernah sejukan raga
Walau hanya sekejap
Kutitipkan rindu pada deburan ombak
Tuk kujadikan catatan bahwa cinta kasih sayang ku pernah ada
Walau sebutir embun karena sesungguhnya kau bukanlah milik ku
Kau hanyalah milik sang Khaliq
Kutitipkan rindu pada ombak nan memutih
Tuk ku jadikan sejarah
Bahwa di tanah kita pernah ada amarah ombak
Nan membawa luka di ujung masa
Di tanggal dua puluh enam Desember dua ribu empat
Phuket, 23 November 2005
Itulah salah satu caraku mengobati rasa stres dan trauma saat itu. Lalu, pada kesempatan perjalananku dari Sabang dengan menumpang kapal feri, di tengah laut, aku menatapi laut dan kembali hatiku bertanya-tanya, hingga aku menangis di feri itu. Aku pun kemudian menuangkan semua itu dalam sejumlah ungkapan perasaan. Ya, aku menuliskan untaian kata pengobat trauma, seperti yang untaian kata di atas. Ada banyak lagi untaian kata yang aku susun, untuk mengobati trauma itu.
Selain menuliskan untaian-untaian kata yang katanya agak puitis itu, untuk mengibati luka hati yang menganga, aku juga banyak dan harus menceritakan kepada banyak orang tantang peristiwa itu, hingga berderai air mata. Bahkan, aku ingat dengan tawaran seorang sahabat, Eka Budianta yang saat itu akan meraysakan ulang tahunnya yang ke 50.Â
Dalam sebuah email, ia menyampaikan kepadaku bahwa dalam rangka ulang tahunnya yang ke 50 itu, teman-teman Pak Eka Budianta menulis kesan, kisah, puisi dan apa saja dalam hubungan persabahaatan dengan pak Eka Budianta. Aku juga kebagian tawaran itu, karena aku sendiri sudah bersahabat dengan beliau sejak sebelum peristiwa tsunami tersebut. Maka, saat itu, aku mulai menulis tentang persahabatanku dengan beliau. Aku menulis tulisan yang berjudul " Menapak Jejak Sahabat".
Ketika menulis tulisan itu, aku menceritakan, suatu ketika tida tahun 2002, Pak Eka Budianta datang menjemputku dari  tempat kegiatanku di Kemayoran, Jakarta. Saat itu, beliau membawku jalan-jalan ke mall Grand Indonesia. Ketika, berjalan-jalan, tiba-tiba aku menerima telpon dari isteriku saat itu bahwa anakku Albar Maulana Yunisa demam.Â
Mendengar percakapanku dengan istri, Pak Eka bertanya, siapa yang sakit. Pak Eka Budianta saat itu langsung bertanya, apak Albar sudah bisa membaca. Ia pun membeli sebuah buku Bahasa Inggris yang saat itu lumayan mahal. Kisah ini merupakan bagian cerita yang aku tulis dalam buku " Mekar di Bumi" itu.