Sore kemarin, ketika ingin menikmati secangkir kopi di Gerobak Arabicca coffee, aku berjalan kaki menyisiri pedestrian track, jalur untuk pejalan kaki yang dibangun oleh pemerintah kota Banda Aceh sejak setahun lalu itu. Belum begitu jauh berjalan, mendekati warung kopi, kenikmatan perjalananku terganggu. Aku melihat sebuah kios didirikan tepat di atas track pedestrian itu, sehingga aku tidak bisa lewat, kecuali melewati jembatan papan di belakang kios itu.
Dengan rasa kesal, aku menyampaikan perasaanku kepada pemilik kios yang setahuku baru hari ini ia berjualan di jalur tersebut. Aku memberanikan diri untuk menyampaikan kepada pemilik kios. Ya, aku merasa  sebagai pejalan kaki, aku punya hak menyampaikan bahwa aku merasa terganggu dengan aktivitas lelaki itu yang berjualan di track. Aku langsung berkata, " Pak, Bapak berjualan di atas jalur ini, mengganggu pengguna jalur, ya mengganggu pejalan kaki yang mau lewat". Ternyata, pemilik kios tidak merasa sudah mengganggu hak pejalan kaki. Ia malah mengatakan, "Bisa lewat situ. Lewat jembatan kayu itu".
Aku pergi meninggalkannya dan menuju warung kopi. Setiba di warung kopi, aku tidak menemukan teman untuk bisa ngopi bareng, aku memutuskan kembali ke tempat tinggalku. Namun, ketika pulang, sang pemilik melaporn pada pemilik warung di depan ia menempatkan kiosnya. Dengan berani saja aku langsung mendekatinya dan ia bertanya, mengapa aku melarang pemilik kios berjualan di atas track itu. Aku berusaha menjelaskan bahwa ini track untuk pejalan kaki, bukan untuk tempat bejualan. Lalu, lelaki itu bertanya lagi, bapak orang kampong di sini? Aku langsung menjawab, benar, aku penduduk kampong ini.Â
Maksudku mengingatkan pemilik kios, bukan karena posisiku sebagai penduduk kampong, tetapi sebagai pejalan kaki yang merasa dirampas haknya atas jalur pejalan kaki ini. Ia pun melanjutkan mengapa bapak ini saja yang dilarang? Mengapa orang-orang yang memarkirkan sepeda motor dan mobil di depan warung itu, tidak bapak larang? Hmm, ternyata panjang. Aku pun kemudian berkata, saya belum lewat ke tempat itu dan tidak mungkin saya akan melarang semua perampas hak pejalan kaki itu saya ingatkan.
Nah, apa yang aku alami dan hadapi sore ini di pedestrian track itu adalah hanya satu dari sekian banyak kasus dan tindakan pengebirian hak pejalan kaki di pedestrian track oleh orang-orang yang tidak tahu dan tidak peduli akan hak pejalan kaki di kota ini. Sejak jalur pejalan kaki itu di bangun, sebenarnya banyak orang yang merasa bersyukur, karena jalur itu adalah jalur yang aman untuk pejalan kaki. Aman.Â
Dalam artian tidak harus berjalan di pinggir jalan yang berbahaya, karena bisa ditabrak kendaraan roda dua atau roda empat. Jadi jalur pejalan kaki adalah pilihan yang aman. Pada pagi hari, jalur itu banyak digunakan oleh masyarakat yang berolahraga pagi. Mereka bisa berjalan kaki atau berlari di atas jalur tersebut. Di waktu-waktu lain, juga sejalan dengan fungsi jalur itu, masyarakat yang berjalan kaki, memanfaatkan jalur sebagai jalan yang aman dari kecelakaan lalu lintas.
Sayangnya, jalur yang seharusnya memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki tersebut, banyak orang yang menyakiti dan merampas hak pejalan kaki. Selain digunakan untuk tempat berjualan, seperti kasus di atas, juga digunakan sebagai lahan parkiran. Misalnya, para pemilik kendaraan seperti kendaraan roda dua, maupun roda empat, tanpa merasa bersalah memarkirkan kendaraan mereka di atas jalur tersebut. Mereka tidak peduli apakah mereka sudah mengganggu dan merampas hak pejalan kaki, ya tidak peduli. Yang penting mereka bisa memarkirkan kendaraan, selesai.
Mereka tidak merasakan sakit hati itu. Â Soal pejalan kaki tidak bisa lewat, ya tidak ada urusan dengan mereka. Begitulah rupanya budaya dan wajah buruk kita dalam melihat hal pejalan kaki. Berbeda sekali dengan apa yang kita lihat di beberapa kota lain. Kita ambil contoh pedestrian track di kota Surabaya. Di kota ini, jalur pejalan kaki itu benar-benar untuk pejalan kaki, bukan tempat memarkirkan kendaraan, atau menjadi lapak untuk pedagang kaki lima dan sebagainya. Kita merasa sangat nyaman menggunakannya. Selalu ada warning atau larangan yang dipasang sepanjang jalur pedestrian dan masyarakatnya benar-benar patuh, tidak seperti di kota Banda Aceh yang bisa digunakan untuk apa saja.
Kotor dan dirusak
Sebagai warga kota Banda Aceh, keberadaan jalur pejalan kaki di sepanjang jalan Prof. Ali Hasyimi itu memang sangat bermanfaat. Namun, sayangnya jalur itu setelah dibangun oleh pihak yang membangunnya, tidak mendapatkan perawatan. Misalnya dalam hal kebersihan, jalur ini tidak ada pihak kebersihan kota yang membersihkannya. Kalau pun ada pihak pembersih jalan seperti petugas Dinas kebersihan kota, yang dibersihkan hanyalah di jalan raya, sementara jalur pejalan kaki tidak.Â
Bahkan, setelah ada pekerjaan memangkas taman yang dibuat di sisi jalur, seringkali potongan rumput di atas track tidak dibuang dan dibiarkan kering di atas track tersebut. Maka, jangan heran kalau di atas jalur ada banyak sampah daun dan lainnya yang kadangkala menutupi jalur pejalan kaki tersebut. Hebatnya, kota ini sudah mendapat dan merebut piala Adipura sebanyak 9 kali berturut-turut. Jadi aneh kan? Tapi kita mau bilang apa? Paling-paling kita akan ngomong sendiri, seperti melihat fenomena WTP yang diiklankan oleh setiap kepala daerah yang sangat berbagga hati dengan WTP itu.
Selain ada kesan kotor, jalur pejalan kaki di kota ini, juga sering dirusak dengan terpaksa. Perusakan ini adalah akibat dari pola atau bahkan budaya pembangunan tambal sulam. Sebut saja model pembangunan bongkar pasang yang sepertinya sengaja dilakukan. Bisa jadi, ketika membagun track pejalan kaki tersebut, pihak --pihak yang terlibat dalam pembangunan kota itu tidak saling berkoordinasi atau bersinergi. Katakanlah, paling kurang ada 3 pihak yang bakal saling merusak atau membongkar. Seperti kita ketahui bahwa di pinggir jalan, di dalam tanah itu ada pipa PDAM, ada kabel Telkom, dan juga kabel-kabel lainnya.Â
Seharusnya, ketika akan membangun jalur pejalan kaki, pihak-pihak ini bisa berkordinasi untuk menghindari agar tidak ada fasilitas umum yang mungkin akan mengalami pengrusakan seperti apa yang kita lihat saat ini. Tidak dapat dihindari bahwa ketika pipa PDAM bocor dan posisinya persis di bawah jalur pejalan kaki tersebut, maka badan jalan (track pejalan) pasti akan dibongkar alias dirusak dengan sengaja atau terpaksa.Â
Bisa jadi, ketika kabel Telkom, atau kabel-kabel lain yang ada di bawah jalur mengalami gangguan atau putus, maka sekali lagi jalur pejalan kaki akan menjadi korban. Walaupun diperbaiki kemudian, namun kondisinya belum tentu pas seperti semula. Akibatnya, apabila  usia jalan itu diperkirakan untuk satu tahun, maka pada usia 4 bulan atau lima atau enam, akan mengalami kerusakan. Kalau sudah begini, maka setiap hari para pejalan kaki diganggu oleh banyak hal seperti kita sebutkan di atas. Ironis bukan?
Ironis, ya memang sangat ironis. Namun itulah fakta yang kita saksikan setiap hari. Fakta ini hanya dirasakan oleh orang-orang yang kadangkala ingin melihat kondisi yang lebih baik dan lebih bermartabat. Orang-orang seperti ini akan sering merasa sakit hati sendiri melihat segala hal yang tidak berbudaya.Â
Padahal, kita akui bahwa pihak pemerintah, maupun pihak legislatif, sudah banyak sekali mengadakan perjalanan studi banding, tapi mengapa hasil studi mereka tidak pernah diterapkan di tempat sendiri ya? Heran juga kita rasanya. Ya, memang heran. Jadi kalau masyarakat tidak sadar dan tidak mau tertib memarkir kendaraan, juga disebabkan oleh factor mereka melihat orang-orang pemerintah dan legislatif yang juga melakukan hal yang sama.
Idealnya, pemerintah kota Banda Aceh yang sudah membangun pedestrian track (jalur pejalan kaki) tersebut, ketika setelah membangun jalur tersebut melakukan upaya sosialisasi kepada masyarakat. Misalnya memberikan informasi kepada masyarakat tentang pembangunan jalur pejalan kaki dan fungsinya, serta memberikan pengumuman tentang apa saja yang oleh dan tidak boleh dilakukan di atas jalur tersebut.Â
Masyarakat kita perlu diedukasi dengan hal-hal yang baik, hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan fasilitas umum yang sudah dibangun oleh pemerintah. Sayangnya, hal ini malah diabaikan saja, sehingga kita bagai masyarakat yang kehilangan budaya. Berapa lama lagi kita akan seperti ini? Selayaknya kita hormati pejalan kaki. Begitu pula para pedagang dan para pemilik kendaraan juga harus menghormati dan menghargai pejalan kaki.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H