Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Volunteerisme" yang Mencengangkanku di Miami

29 September 2017   21:22 Diperbarui: 29 September 2017   22:04 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokuemn Pribadi :Peserta YLIP ke Miami

Malam ini, aku bernostalgia ke masa 10 tahun lalu, kala mengikuti program YLIP ke Miami, Amerika. Ya, pagi itu Selasa, tanggal 3 Juli 2007, peserta program Youth Leadership Indonesia Program ( YLIP) yang terdiri dari 16 peserta remaja dan 5 pendamping dewasa, harus bagun pagi-pagi benar. Bayangkan, pukul  05.00 pagi waktu Miami, semua sudah harus bangun. Bangun pagi pagi benar, karena semua peserta dijemput pada pukul 6.30. Makanya peserta harus bergegas.

Sebelum jam 6.30, para peserta sudah ada yang turun ke lobby Di lobby, ternyata sudah ada Sydney yang akan mengantarkan kami dengan van putih bermerek Ford itu. Ia menyapa kami. Good morning!. Begitu seru Sydney yang juga memfasilitasi kami selama pelatihan kepemimpinan yang diadakan di Florida International University saat itu.

Sidney bertanya, apakah kami siap untuk berangkat. Namun, karena masih ada yang belum siap di kamar, kami menunggu tepat pukul 6.30 agar semua bisa dipastikan berangkat. Tak lama kemudian, Prof.Dr.Gudorf, yang memimpin program ini datang dengan mengendari van putih, yang konon disewa selama program ini berlangsung. Prof. Gudorf yang usianya sudah lebih kurang 58 tahun ini, masuk ke lobby hotel untuk menjemput kami.

Ketika Prof.Gudorf datang,kami semua sudah siap unruk berangkat. Namun,saying, kami tidak sempat sarapan pagi. Prof. Gudorf yang sangat lincah dan gesit itu, masuk ke van dan meminta kami menghitung apakah jumlah peserta yang ada di van yang disopirinya itu sudah cukup. Ya untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Ternyata semua sudah lengkap. Van pun melaju kencang menuju tempat kami akan mengadakan kerja bakti.

Tepat pukul 7.45 kami tiba di lokasi perumahan yang sedang dibangun oleh sebuah organisasi yang bernama Habitat for Humanity.  Setiba di lokasi itu, kami melihat beberapa rumah yang sudah siap dan sebagian rumah lagi masih dalam tahap pengerjaan. Di lokasi itu ada beberapa mobil yang diparkir di pinggir jalan. Lalu kami menuju ke pos para pekerja. Kami berkumpul di situ dan disambut oleh beberapa orang yang sudah menanti kami. Seorang mandor memberikan pengarahan tentang apa, dimana  dan bagaimana kami membantu pekerjaan mereka selama satu hari itu. Ia memberikan penjelasan dan mengakhir penjelasannya dengan berdoa. Ia sendiri yang memimpin doa itu.

Sang mandor kemudian memanggil pemimpin tukang yang akan membawa kami bekerja di bangunan yang sedang dibangun itu. Untuk kami yang bersusia di atas 18 tahun, diberikan pekerjaan membuat atap rumah. Sementara bagi peserta yang usianya di bawah 18 tahun bekerja di bagian dalam rumah serta di halaman rumah yang risikonya mungkin rendah. Nah seusai pengarahan dan pembagian tugas, kami mendapatkan peralatan berupa palu, paku. Semua bahan sudah ada di atas atap.

Kelompok dewasa kemudian menuju sebuah rumah yang beratap hitam. Kami mendirikan tangga yang sudah disediakan. Lalu naik ke bubungan atap dengan menggunakan sepatu karet. Perasaan takut dan cemas sedikit mewarnai perasaan dan hati kami. Betapa tidak, naik ke atas atap yang selama ini jarang dilakukan saat di Indonesia, membuat rasa takut terasa menghantui. Namun, karena Sydney dan Prof. Gudorf sudah duluan naik, akhirnya rasa malu membuat rasa takut sedikit menghilang. Kami pun berusaha dengan cemas merangkak dan belajar berdiri di atas atap tersebut. Najib temanku dari LKIS Jogja juga ikut merangkak di bubungan atap. Tapi sebelum naik ke atas atap, Najib lebih dahulu mengolesi sun block di wajah dan kakinya serta tangan dan tengkuk agar kulitnya tidak terbakar oleh sinar matahari. Karena udara di Miami sangat panas. Panasnya mencapai 87 derajat fahreinheit. Waduh, sangat menyengat sinar matahari di pagi itu. Apalagi hari itu kami berada atas atap rumah. Bisa dibayangkan bagimana panasnya.

Berbarengan dengan kami, ada dua pemuda Amerika yang ikut bekerja bersama kami. Kedua pemuda itu juga naik ke atap. Di sini, kami dipandu oleh seorang kepala tukang yang penampilannya sangat bersahaja dan bersuara sangat lembut. Ia mulai menunjukkan dimana kami memulai memasang atap yang terbuat dari pasir dan aspal. Dia mengukur ruas garis sekitar 10 sentimeter per lembaran atap tersebut. Kami kemudian mengambil paku dari kaleng yang ditempatkan di atas talang atap dan memasukkan ke dalam kantung terbuat dari kain yang kami ikat di pinggang kami.

Prof. Gudorf yang inspiratif (europe.fiu.edu)
Prof. Gudorf yang inspiratif (europe.fiu.edu)
Profesor Gudorf yang naik bersama kami, memulainya dengan menuju ujung atap bagian bawah. Ia dengan mudah dan seperti perempuan perkasa berjalan di kemiringan atap tanpa rasa takut dan gamang. Dia berjongkok, lalu memasang satu persatu atap dengan cara memakunya di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh kepala tukang. Sesekali dia duduk di atas atap yang terbuat dari kain terpal berwarna hitam. Atap itu tearasa sangat panas dan membuat kulit bu Gudorf yang putih itu memerah. Perempuan tua itu, kelihatan benar-benar kuat dan perkasa. Padahal ia adalah sorang guru besar yang seharian bekerja di Florida International University, Miami. Tetapi ia bekerja tak ubahnya seperti seorang buruh kasar yang sedang mengambil kerja upahan.

Tidak kalah gesitnya juga, Sydney yang selama kegiatan program adalah sebagai  fasilitator dalam pelatihan kepemimpinan remaja di FIU. Ia memfasilitasi kami dengan materi Conflict resolution, juga setiap hari mengantar dan menjemput kami dari hotel ke FIU dan kemana saja kami harus pergi.  Perempuan Amerika kelahiran Australia yang saat itu tinggal di Virginia ini, dengan menggunakan kaos hitam dan celana pendek, berjongkok di dekat Professor Gudorf sambil memukulkan palu ke paku di atap yang sedang dipasangnya. Ia juga bekerja  dengan sangat telaten dan sungguh-sungguh, walaupun terik matahari sudah membuat wajah dan hidungnya bule itu merah seperti buah jambu. Seperti tak ada beban ia terus memasang atap satu persatu.

Sambil menahan rasa haus dan teriknya matahari yang sudah di pucak kepala, karena waktu sudah hampir pukul 12.00, aku berkali-kali berusaha mencari air minum, sementara Gudorf dan Sydney serta beberapa orang yang sejak pagi berada di atas atap itu tidak peduli dengan teriknya matahari yang sudah membuat kulit mereka memerah itu. Mereka juga tidak seperti aku dan kawan-kawan lain yang merasa seperti cacing kepanasan. Betapa hebatnya dan tahannya mereka, bisa bekerja tanpa berhenti dan tanpa istirahat hingga waktu makan siang tiba. Bayangkan, para perempuan perkasa yang usianya sudah sangat tua itu memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kami. Terus terang, untuk pekerjaan seperti itu, adalah pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh perempuan, tetapi ketika kita menyebut kerja memasang atap rumah bahkan hingga pada pekerjaan --pekerjaan mengecat saja jarang kita lihat. Apalagi dalam terik matahari itu berada di bubungan atap rumah.

Selain dua perempuan perkasa itu, ada Mas Ancu yang nama aslinya  Syamsul Maarif, yang sedang menjalankan pendidikan untuk mengambil gelar Phd, di Arizona State University dan menjadi fasililator di bidang Multicultural dan diversity pada acara YLIP itu, juga bekerja keras dan gigih tanpa merasa lelah, walau panas matahari membakar sendi-sendi tubuhnya  pada hari itu. Dengan bercelana pendek dan berkaos putih, lelaki kelahiran Makassar itu, benar-benar membuat aku merasa terkagum-kagum.

Kedua perempuan itu, Mas Ancu dan beberapa mahasiswa Amerika beserta tukang yang mengadakan kerja bakti di komplek rumah Habitat for humanity itu sudah memberikan pelajaran penting bagiku dan juga bagi teman-teman yang ikut bekerja bakti saat itu. Pekerjaan volunteerism yang dilakukan itu adalah pekerjaan yang benar-benar ikhlas, tidak setengah hati, juga dilakukan tanpa ada waktu istirahatnya. Berbeda sekali dengan kegiatan gotong royong yang kita lakukan di tempat kita. Misalnya ketika sedang bekerja, banyak yang duduk dan merokok, atau sebentar-bentar duduk dan ngobrol serta hal lainnya. Dalam masyarakat Aceh, ketika disebut gotong royong itu, sering diplesetkan dengan  kata-kata, si droe duek, si droe dong ( satu orang duduk, satu orang berdiri). Just imagine, di negeri yang kitas sebut kapitalis ini, sikap voluntary mereka masih sangat tinggi. Bukan hanya itu, tetapi juga sifat social mereka terhadap para homeless yang tinggal di Miami itu, mendapat pelayanan makan malam setiap hari di rumah singgah yang disediakan.

Jadi, pekerjaan volunteerism yang kami lakukan pada saat itu, 10 tahun lalu itu adalah sebuah pelajaran atau pendidikan volunteerism yang sangat berharga bagi kami. Aku merasa beruntung bisa menjadi salah satu dari mereka yang bisa ikut beruntung mengikuti program YLIP saat itu.  

Oleh Tabrani Yunis 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun