Belakangan ini, perbincangan-perbincangan soal literasi di negeri ini semakin sering kita dengar. Perbincangan-perbincangan itu ada di kantor-kantor Dinas pendidikan, ada di sekolah, bahkan menjadi perbincangan banyak orang kali menyeruput secangkir kopi. Misalnya, beberapa malam yang lalu, ada sekitar lima orang yang punya kepedulian soal pendidikan, sambil menikmati masing-masing secangkir kopi Arabika Gayo di Gerobak Coffee yang terletak di jalan Prof. Ali Hasyimi, yang tak jauh di kantor Redaksi majalah Anak Cerdas yang aku terbitkan itu, mereka dengan gegap gempita membicarakan persoalan ini.
Salah satu di antara mereka memulai percakapan dengan menyorot persoalan kualitas pendidikan di Aceh yang dari waktu-ke waktu masih menjadi penjaga papan bawah. Padahal anggaran pendidikan yang dikucurkan untuk provinsi ini, konon sangat besar. Ya pokoknya setelah Jakarta, langsung Aceh. Ia merasa sangat prihatin dengan kondisi itu. Â Sehingga, bagai gayung bersambut, teman-teman yang lain yang sedang duduk semeja pun larut dalam diskusi informal di warung kopi itu.
Nah, ketika menyimak diskusi mereka, pikiranku melayang-layang terbang mengenang  beberapa waktu lalu, ketika Pak Satria Dharma yang ku kenal sebagai pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI) sudah beberapa kali ke Aceh dalam misi membangun gerakan literasi. Ia menebarkan virus literasi dengan kunjungan muhibahnya yang ditemani oleh ketua IGI Aceh, Bapak Drs, Imran Lahore yang guru bahasa Inggris itu. Pak Imran Lahore dalam kapasitasnya sebagai ketua IGI Aceh itu, meminta kesediaan pak Satria Dharma untuk datang ke Aceh, ya ke ibu kotanya Aceh, yakni Banda Aceh untuk menjadi pemateri tunggal mengenai literasi di aula FKIP Unsyiah, Darusalam, Banda Aceh. Ya, meminta kesediaan terbang dari Surabaya ke Aceh dengan biaya sendiri dan beliau menyanggupinya.
Kedatangan pak Satria Dharma ke Aceh menebar virus literasi itu bukan hanya sekali ketika mengisi seminar literasi di aula FKIP Unsyiah itu, tetapi setelah itu, pak Imran Lahore kembali mengajak pak Satria untuk datang lagi keliling beberapa kabupaten di Aceh yang bersedia mengumpulkan para guru untuk ikut kegiatan kampanye literasi tersebut untuk ikut seminar literasi.
Alhamdulilah, perjalanan beliau yang melelahkan itu, mendapat sambutan di beberapa kabupaten mulai dari pantai Barat Aceh, hingga ke pantai Timur. Buktinya, kabupaten Bireun yang tersengat virus literasi dengan antusias menyikapi. Sebagai tindak lanjut, sejumlah guru dan pengawas yang salah satunya adalah Zainuddin Karim, dari kabupaten Bireun dikirim untuk belajar literasi ke kota Surabaya dengan tujuan setelah mempelajarinya di Surabaya, bisa mereplikasinya di Bireun. Rupanya, Bireun serius dan akhirnya menemukan kesuksesannya dengan menetapkan kabupaten Bireun sebagai kabupaten literasi. Tidak rugi pula, Bireun pun kemudian mendapat penghargaan atas prestasi di bidang literasi ini.
Di pundak negara memikul beban sejarah, beban tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa. Maka, jalan yang paling tepat untuk mencerdasakan bangsa adalah dengan membangun dan meningkatkan kemampuan literasi anak bangsa. Lembaga yang diberikan tanggung jawab untuk mencerdaskan generasi bangsa ini adalah lembaga-lembaga formal seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi serta lembaga pendidikan fromal lainnya.Â
Kedua, upaya pencerdasan bangsa itu juga dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan informal, yakni keluarga dan lembaga pendidikan non formal sekali pun. Ketiga lembaga pendidikan ini bertanggung jawab dan berperan mencerdaskan anak bangsa. Sayangnya, kualitas ketiga lembaga pendidikan ini, hingga kini masih banyak yang tidak membuat hati kita tenang, tidak membuat hati kita puas, karena kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan.
Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan yang berkualitas tinggi , selama ini menjadi kebutuhan  kita semua. Ya,  kebutuhan orang tua, masyarakat dan pemerintah. Juga bahkan merupakan tuntutan dari UUD 1945 yang mengemban misi mencerdaskan bangsa. Namun, pendidikan yang berkualitas seperti yang dibutuhkan tersebut, secara faktual, masih jauh dari harapan. Â
Mengapa demikian? Â Pasti banyak sekali elemen, faktor yang mempengaruhi dan sebagainya. Salah satu akar masalah rendahnya kualitas bangsa Indonesia sebenarnya adalah masalah rendahnya kemampuan dan budaya literasi anak bangsa saat ini. Sayangnya, selama ini, akar masalah ini seperti tidak ditemukan. Sehingga, upaya pemerintah mengatasi persoalan rendahnya kualitas pendidikan selalu penuh retorika, dan tidak menyentuh akar masalah. Yang diintervensi hanya pada hal-ahal yang muncul di permukaan gunung Idealnya untuk membangun dunia pendidikan yang berkualitas tersebut diawali dengan membangun budaya membaca di kalangan masyarakat kita.Â
Karena rendahnya kualitas pendidikan kita berakar pada rendahnya minat baca, rendahnya kemauan membaca, rendahnya budaya membaca di dalam dunia pendidikan, maupun di dalam masyarakat. Padahal untuk membangun dan meningkatkan kemampuan membaca generasi bangsa ini bukan hal yang sangat pelik. Tentu bisa dipermudah, yang penting niat. Pasti banyak sekali cara untuk membangun budaya literasi di lembaga-lembaga pendidikan kita. Salah satunya adalah dengan membiasakan membaca dan membudaya. Kemudian diikuti dengan kemampuan menulis dan selanjutnya.
Agar tidak menjadi komoditas politik semata, maka diperlukan gerakan yang masif dalam membangun literasi di Aceh. Tidak cukup pula hanya dengan membangun gerakan, tetapi diperlukan pula sinergi antar instansi pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat secara baik dan berkelanjutan. Ini perlu, karena jalan menuju gerakan literasi yang bersinergi masih panjang. Harus dicamkan bahwa membangun gerakan literasi itu bukan hanya tugas dan kewajiban satu pihak, misalnya pemerintah saja, tetapi menjadi tanggung jawab semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H