Baru saja dua hari yang lalu, bangsa kita, bangsa Indonesia memperingati " Hari pahlawan". Â Peringatan hari pahlawan, dimaksudkan untuk mengenang, mengambil iktibar atau pelajaran dari para pahlawan yang telah gugur dalam merebut negeri ini dari belenggu penjajahan selama katanya lebih dari 350 tahun. Peringatan hari pahlawan dilakukan juga untuk mengajak bangsa Indonesia, dari Sabang sampai ke Meureuke, bahkan yang ada di luar negeri sekali pun ikut melakukan selebrasi dengan cara-cara tertentu, mengenang jasa para pahlawan yang dengan tulis dan ikhlas berkorban jiwa dan raga untuk membentuk dan mempertahakankan negara kesatuan Indonesia.Â
Ini memang perlu, karena kemungkinan besar, bangsa kita adalah bangsa pelupa. Bangsa yang mudah melupakan sejarah, walaupun the founding father bangsa ini, Soekarno sudah mengingatkan agar kita tidak meluakan sejarah. Namun faktanya, dalam banyak hal, kita sering lupa, atau melupakannya.Â
Oleh sebab itu, selama ini muncul istilah-istilah yang berupa sentilan terkait lupa tersebut. Misalnya ada kegiatan atau event yang bertajuk " Melawan Lupa", atau yang lain dan sebagainya. Pokoknya, upaya melupakan sejarah itu selalu ada, karena kepentingan politik dan sebagainya. Juga ada pihak-pihak yang peduli akan sejarah, dengan cara sendiri, kembali mengingatkan agar kita tidak lupa. Maka, perlu ada upaya melawan lupa tersebut.
Dalam konteks pahlawan, seperti pahalawan bangsa yang berperang, berjuang hidup dan mati dalam perang seperti zaman dahulu, agaknya sekarang sudah tidak ada lagi. Ya, tidak ada lagi pejuang yang seperti itu. Yang ada dan banyak jumlahnya adalah pahlawan-pahlawan kesiangan. Siapakah pahlawan kesiangan itu, pasti banyak yang kita jumpai di sekitar kita. Biasanya pahlawan kesiangan ini ya, pahlawan yang terlambat menjadikan diri sebagai pahlawan. Pahlawan kesiangan, biasanya lahir dari diri sendiri yang menyamar dan menyebutkan dirinya sebagai pahlawan.
Hmm, sebenarnya sih, tidak boleh ada yang namanya pahlawan kesiangan, karena kalau menyebut pahlawan, ya pahlawan saja. Kalau ada banyak orang menyebutkan diri sebagai pahlawan kesiangan, istilah itu bisa terasa tidak mengenakkan, karena nuansanya agak melecehkan kebesaran nama pahlawan tersebut. Namun, apa boleh buat, istilah itu memang banyak bergentayangan di tengah kehidupan kita. Ya sudahlah. Biarkan saja orang-orang berfikir, dan mereneungkannya. bagus atau tidak, biarlah sejarah juga yang membuktikannya.
Lalu, setelah sejumlah pahlawan di negeri ini ada yang gugur di medan perang dan ada yang selamat dan mungkin masih ada yang hidup sebagai veteran atau apalah namanya, namun yang namanya pahlawan yang niat dan motif perjuangannya tentu tidak sama dengan pahlawan masa kini. Pahlawan dulu, pahlawan yang kita kenang di hari pahlawan, setiap tanggap 10 November ini, tentu tidak sama dengan sebutan pahlawan masa kini. pahlawan masa lalu itu, adalah pahlawan yang berbasi perjuangan dan perang melawan penjajahan oleh suatu bangsa.Â
Sementara pahlawan sekarang, di era yang sudah merdeka dari cengkeraman bangsa-bangsa penjajah secara teritorial itu, basis perjuangan sekarang akan sangat jauh berbeda dengan yang dahulu. Sekarang, perjuangannya tidak ada perang dalam bentuk menggunakan senjata bambu, atau bahkan senjata modern untuk melawan penjajah seperti Belanda dan Jepang, tetapi pahlawan dalam konteks sekarang adalah pahlawan yang dibangun dengan basis persoalan global.Â
Salah satunya adalah pahlawan-pahlawan yang berjuang untuk mencerdaskan bangsa ini. pahlawan yang secara sadar terpanggil untuk berjuang membangun dan mengajak masayarakat bangsa untuk menjadi bangsa yang cerdas dengan menggerakan kembali bangsa untuk membaca, membangun budaya literasi. ya, saat ini, kita membutuhkan banyak pahlawan literasi untuk mengatasi masalah atau penyakit bangsa kita, bangsa Indonesia di tengah percaturan dan persaingan global ini.
Barangkali, kita boleh bangga dan berbesar hati , karena negeri ini sudah merdeka lebih dari 71 tahun. Idealnya, dengan masa seperti itu, bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang sangat cerdas, memiliki budaya belajar yang tinggai, memiliki kekayaan inteletual yang banyak, serta memiliki bangsa yang berbudaya baca dan budaya literasi yang tinggi. Ternyata tidak. Bangsa kita, Indonesia ternayata masih banyak yang terlena dan terbawa mimpi, sehingga tertingal dalam hal budaya literasi.Â
Beberapa fakta memilukan masih menyelimuti bangsa ini.  Bayangkan;ah, Kualitas SDM Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Ini bisa kita lihat dari  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menempati peringkat ke 110 dari 187 negara, dengan nilai indeks 0,684.  Walaupun kemudian, jika dihitung dari sejak tahun 1980 hingga 2014, berarti IPM Indonesia mengalami kenaikan 44,3 persen. Namun, kita masih berada pada posisi yang rendah. Lalu, di bidang pendidikan, ternyata, kualitas Pendidikan kita masih juga rendah.Â
Daftar kualitas pendidikan negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan(OECD) dirilis 13 Mei 2015 oleh BBC dan FinancialTimes mencatat  tentang peringkat tertinggi sekolah-sekolah global  dan negara-negara Asia menempati lima posisi teratas sementara negara-negara Afrika dengan peringkat terendah dan Indonesia ke delapan dari bawah. Singapura memimpin di peringkat pertama, diikuti oleh Hong Kong. Diujung lain, Ghana menduduki posisi terbawah. Sementara Indonesia menduduki posisi nomor 69 dari 76 negara. Selain itu dalam hal budaya membaca dan sastra, kita diingatkan dengan tragedi nol buku dan sebagainya.Â