Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengusung Keranda Kematian Media Cetak

28 Oktober 2016   00:41 Diperbarui: 29 Oktober 2016   01:05 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, nun di ibu kota Jakarta, tersebutlah sebuah berita duka. Berita duka tentang kematian sebuah media sastra yang usianya sudah lumayan lama. Ya, sebuah majalah sastra yang sudah alang melintang terbit membangun dan merawat literasi, menumbuhkan jiwa sastrawi masyarakat Indonesia selama puluhan tahun, akhirnya terpaksa mengnetikan edisi cetak dan beralih ke platform baru, yakni dalam bentuk online. Mungkin para pembaca, sama seperti saya, juga ada membaca berita itu. paling tidak ada membaca berita seperti yang diberitakan oleh kantor berita Antara pada tanggal 26 Juli 2016. 

Berita itu menyebutkan begini. Jakarta (ANTARA News) - Majalah sastra Horison berhenti menerbitkan edisi cetak dan kemudian kerja redaksi akan berfokus sepenuhnya ke platform dalam jaringan atau online.  "Ternyata biaya untuk menerbitkan cetak cukup besar. Dengan beralih ke online, biaya menjadi tidak sedemikian besar," kata salah satu pendiri Horison, Taufiq Ismail, dalam peringatan 50 tahun Horison di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Berita berhentinya majalah Horison edisi cetak itu adalah berita duka. Dikatakan demikian, karena apapun alasannya,  majalah yang bentuk fisiknya cetak sesungguhnya masih sangat diperlukan, terutama untuk koleksi bacaan sastra yang mungkin lebih membanggakan dalam bentuk cetaj tersebut.  benar, bahwa di banyak daerah di tanah air masih berharap agar majalah ini masih diperlukan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa untuk menerbitkan dalam bentuk cetak, selama ini membutuhkan biaya yang besar. 

Bukan hanya pada biaya cetak, tetapi juga pada proses distribusi pasca cetak. Pokoknya, memang menghabiskan dana yang lumayan besar. Apalagi, untuk kebutuhan biaya operasional penerbitan media cetak tersebut tidak bisa bergantung pada hasil penjualan yang sering terganjal oleh rendahnya bidaya baca dan rendahnya daya beli masyarakat terhadap majalah tersebut.

Jadi,  berhenti terbitnya majalah Horison tersebut, sesungguhnya adalah tragedi yang memilukan bagi dunia sastra dan dunia literasi di tanah air. Namun, apa hendak dikata, kalau nasib media cetak memang semakin berada pada posisi yang tidak menguntungkan. seperti kata orang dahulu, ya seperti telur yang berada di ujung tanduk.

Mati atau berhentinya penerbitan majalah Horison yang edisi cetak, lalu migrasi ke platform online, sesungguhnya bukan hanya dialami oleh majalah Horison, tetapi saat ini banyak majalah besar di Jakarta yang dulunya berjaya dan berkibar, juga sedang berada di ambang kematian. Bukan tidak mungkin majalah sekaliber Tempo, Gatra, femina, Kartini dan lainnya akan menghadapi realitas yang sama seperti majalah Horison. 

Tentu banyak alasan atau sebab yang bisa kita prediksi yang menyebabkan kita harus menyediakan banyak keranda kematian media cetak tersebut. Alasan yang paling kuat adalah soal trend. Kini kita sudah masuk jauh ke era digital. Segalanya sudah serba digital. Digitalisasi media juga sudah menjadi keharusan. maka ternd gelombang digitalisasi ini membawa dampak yang paling besar bagi media cetak. 

Di era digital ini, iklan yang selama ini menjadi nafas bagi sebuah terbitan media cetak sudah lebih memilih media online. Mereka lebih memilih beriklan di media online yang dinamis dan sangat cepat serta bisa diakses oleh jutaan orang secara global. Sehingga para pemasang iklan,pun meninggalkan media cetak. Nah, ketika pemasukan dari iklan berkurang dan bahkan hilang, maka bagaimana kehidupan atau keberlanjutan media cetak bisa berlangsung?

Selayaknya, media cetak yang terbit di jakarta tidak mati, apabila dukungan iklan yang semuanya ada di Jakarta masih memberikan amunisi iklan kepada media cetak tersebut. namun, sekali lagi, ketika mereka mengurangi atau memutuskan pasokan iklan, maka media cetak yang terbit di Jakarta pun harus menyiapkan keranda kematiannya. Para pembaca selama ini pasti banyak menemukan fakta ini. Banyak media cetak yang secara bertahap melakukan upaya digitalisasi, memilih platform online.

Kondisi seperti ini lebih buruk lagi bagi media cetak yang terbit di daerah, baik dalam bentuk koran atau surat kabar, maupun dalam bentuk majalah. Di Aceh misalnya pada pasca bencana tsunami banyak muncul media cetak, baik koran, majalah maupun tabloid. ketika begitu banyak yang muncul, maka begitu banyak pula berguguran, lalu mati. 

Kalau pun ada yang bertahan, hanya satu atau dua media. Ada yang hanya sekali terbit lalu mati. Ada yang bertahan dan membesar selama beberap tahun, namun juga terpaksa tumbang dan tidak pernah terbit lagi. Masalahnya adalah karena tidak ada kekuatan finansial dan ternd tersebut. kalau pun yang ada bertahan adalah dengan melakukan migrasi ke bentuk online.

Kini, tak dapat dipungkiri juga. Majalah POTRET, media perempuan kritis dan cerdas, sebagai satu-satunya majalah perempuan yang terbit di Aceh dan juga berada di sejumlah daerah di Nusantara, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menghadapi nasib serupa. Buktinya, majalah POTRET setelah terbit 13 tahun, dan pada tahun ke 14 ini sudah dalam keadaan payah untuk tersebut. Amunisi yang disiapkan sudah habis. Apalagi selama ini majalah ini tampil tanda dukungan iklan. Maka, wajar kalau majalah ini terpaksa berheni terbit, walau belum mendeklarasikan kematiannya. Persoalannya sama. 

Selain tidak mendapatkan iklan untuk bertahan, pemerinta daerah tidak melihat majalah ini sebagai media yang meiliki arti bagi pembanguna dunia baca, pembangunan literasi anak bangsa. Tidak melihat bahwa keberadaan majalah ini selama ini adalah sebagai bentuk kontribusi nyata untuk membangun gerakan menulis di kalangan masyarakat, sehingga pemerintah daerah tidak melihat pentingnya majalah ini terbit. 

Walau sebenarnya majalah POTRET adalah majalah yang menampung karya anak-anak sekolah di Aceh. Majalah POTRET menjadi jembatan dan media belajar menulis bagi perempuan dan para sisa serta guru dan masyarakat umum. majalah ini dibiarkan hidu sendiri dan mati pelan-pelan.

jadi, sebagai alternatif, majalah POTRET yang sudah selama 7 bulan tidak terbit, sudah sejak tahun 2012 menyiapkan jalur online dengan membuka jalur www.potret-online.com dan kini bermigrasi ke www.potretonline.com. Tampaknya, kendatipun idealisme mengatakan POTRET harus bertahan hidup, secara nyata kini majalah itu tidak mampu terbit lagi.Kecuali biala para pemasang iklan mau meliriknya kembali. 

Pemerintah daerah mau sedikit memberikan perhatian, maka majalah ini tidak harus berenti terbit, karena impian untuk membangun geralan menulis di kalangan peempuan, para siswa dan masyarakat Aceh masih belum selesai. Kita masih harsi membangun kembali budaya literasi, karena sesungguhnya kemampuan literasi bangsa ini sudah berada pada titik nadir. 

Idealnya POTRET harus menjadi media belajar bagi anak-anak dan guru di sekolah, namun apa daya, pemerintah daerah memang tidak mau peduli, walau majalah ini seharusnya penting dipertahankan. Kita tidak bisa menyeruka n agar ada upaya "Save POTRET " karena memang pemerintah daerah tidak mau peduli. memang sedih bila majalah POTRET harus juga mengusung keranda kematiannya di era digital ini. Namun demikian, bila mau, pasti bisa diteruskan.

Semoga majalah Anak Cerdas, the children magazine yang juga satu-satunya majalah anak yang terbit di Aceh dan beredar luas ke nusantara ini, tidak mengikuti jejak seniornya. Untuk itu perlu ada perhatian semua pihak. Karena saat ini minat anak-anak mengirimkan karya ke majalah ini sudah mulai tumbuh. sayang sekali kalau mati sebelum sempat berkembang.

Oleh: Tabrani Yunis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun