Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Play for Peace, Memupuk Damai Anak-Anak Dunia

10 Oktober 2015   00:27 Diperbarui: 10 Oktober 2015   06:50 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku kemudian mengejar anak-anak yang sudah meraih lantai dua. Kami berjalan melirik kiri kanan,memperhatikan barang-barang yang dipajang di etalase toko-toko itu. Tak lama kemudian, kami tiba di ruang tungg yang di tempat itu ada susunan batu pahatan yang bagus, juga ada patung boneka. Kami memanfaatkan tempat ini untuk diabadikan dalam foto. Ada yang terkagum-kagum, ada yang dengan ekspresi gembira melenggang mengelilingi toko-toko itu. Apalagi tiba-tiba di veranda ada 2 mainan yang lucu, seperti anjing dan sapi yang bersuara dan bergerak-gerak sendiri. Kelihatannya sangat lucu. Pada Fitra ku katakan, wah, kalau aku masih punya anak, aku akan beli mainan itu. Ya,aku sering membeli mainan buat anak-anak ku, Albar Maulana Yunisa dan Amalina Khairunnisa, ketika mereka masih hidup sebelum bencana tsunami yang melanda Aceh.

Sudahlah sir, kata Fitra. Nanti sir jadi sedih. Mata kami pun tertuju pada hal yang lain. Keinginan membeli sesuatu muncul dalam hati. Tapi kami sendiri belum punya uang Swiss. Di dompet kami yang ada cuma rupiah, ringgit, dolar dan mungkin Euro. Kita perlu tukar uang dulu ya, kataku kepada anak – anak. Nanti kalau kita ingin beli sesuatu, tak punya CHF. Karena itu, aku bertanya pada Damian di mana kami bisa menukar uang. Sejenak Damian tertegun. Okay, lets go down stair, katanya. Kami pun ikut turun ke lantai bawah melewati tangga. Di sudut bagian tengah, tampak sebuah toko mirip kantor travel. Yeah, you can change your money there, kata Damian. There is the moneychanger. Kami pun berjalan menuju outlet yang bernama Travelex, Worldwide money itu. Kecuali Mulya dan Popon, karena mereka harus ke toilet dulu. Firna dan Suci berdiri di depan outlet menukarkan uang mereka, lalu datang yang lain. Aku menukar 100 Euro dan 46 dolar dengan CHF 203.60.

Aku mengambil uang itu dan slip penukaran. Aku memperhatikan slip itu. Ku baca-baca dengan teliti, karena aku takut kalau aku silap. Aku berbalik menuju tempat duduk sembari memperhatikan sejumlah uang yang ku miliki. Aku membaca kertas itu, ku baca Commission Free ! next time order your money online. Di slip itu ditulis juga web site-nya, www.travelex.co.uk. Bahkan kalau mau kirim lewat email juga bisa.karena ada dibubuhkan alamat emailnya. Mau tau ? emailnya : customerservice@travelex.com. Nah, karena kami memang sudah berada di unit 5 Maple Grove Business centre, Lawrance Road, Hounslow, Middlesex,TW4 6DR itu, ya tidak perlu online. Menghitung duit di tangan, terasa sangat sedikit, karena untuk membeli sesuatu di Swiss harganya cukup mahal. Dan aku merasa tidak punya uang cukup untuk itu. Ya, apa yang bisa dibeli dengan uang hanya 200 an itu. Ya, sudahlah.kataku.

Popon dan Mulya yang tadinya mau ke toilet, tampak turun dari lantai 2. Mereka juga mau membeli CHF dengan ringgit yang dibelinya saat di bandara antara bangsa Malaysia. Kami menunggu mereka selesai, Damian pun menjelaskan kami tentang koin dan cara menghitungnya. Dengan bercanda, kami berkata, we want to buy something here. Can we buy many things with this small amount of money? Wow, you can, but not many things. Ha ha. Ia ketawa.

Kami meninggalkan tempat itu menuju pintu keluar tempat kami menyimpan barang-barang. Sambil berjalan-jalan, mata kami terus saja meloloti barang-barang yang dipajang di etalase pertokoan itu . Mata melihat pada harga. Kelihatannya murah, ya hanya 12 Franch Swiss. Tapi, uang kami sangat sedikit. Ah,lupakan soal belanja dulu. Kami rupanya tidak langsung menuju tempat keluar itu, tapi melewati depan pintu check in. Tak jauh dari tempat check ini itu, ada gate masuk ke taman observation. Kami diajak Damian masuk ke tempat itu. Damian pun mencoba masuk, tapi rupanya harus pakai tiket. Lalu Damiane keluar membeli 13 tiket. Kami masuk dengan pemeriksaan yang cukup ketat, semua yang ada di badan berbentuk metal seperti ikat pinggang harus dilepaskan dan dimasukkan dalam keranjang berserta HP dan yang lainnya.

Melewati pintu pemeriksaan, di mulut anak-anak terdengar suara kekaguman melihat indahnya bandara Flughafen Zurich dengan dikelilingi panorama yang sangat indah dan sejuk. Mata kami liar melumati keindahan Zurich. Anak-anak beraksi bagaikan paparozzi yang mengintip setiap fenomena dengan kamera mereka. Pokoknya, memang indah dan serba teratur. Kami punya waktu hanya sedikit, lalu Damian mengajak kami keluar dari tempat itu, kembali ke pintu keluar dekat barang-barang yang kami simpan.


Tiba di tempat penyimpanan barang, para peserta dari Afrika Selatan dan Amerika latin, sudah menunggu. Kami mengambil barang-barang dan keluar sambil membawa satu apel di tangan yang diambil dari keranjang apel disediakan panitia. Kami membawa barang ke luar menuju bus yang diparkir di pinggir bandara. Sopir bus memasukan barang ke bus dan kami satu persatu masuk atau naik ke bus. Fitra dan Irma duduk di seat paling depan. Aku dan Hazri, Zulfikar mengambil posisi paling belakang. Karena di belakang ada seat yang ditata seperti duduk di restoran saja. Di samping kami ada seorang anak Afrika Selatan, Solomon namanya. Damian datang membagikan roti dan air mineral. Ia tidak memberikannya pada anak Afsel, karena tidak termasuk dalam kelompok Damian. Kami mulai memakan makanan Eropa ini di bus yang sedang meninggalkan bandara Flughafen, Zurich menuju Trogen Village. Roti itu terasa nikmat mungkin karena perut mulai terasa lapar.

Dengan mulus bus meluncur di jalan toll menuju Trogen. Melintasi jalan yang dikelilingi panorama yang sangat indah, dihiasi hutan-hutan rakyat yang tertata rapi dengan lahan pertanian dan sapi-sapi sedang merumput, kami meninggalkan Flughafen, bandara Zurich. Diantara kami, ada yang seakan tak puas-puasnya memandang keelokan pemandangan di sepanjang jalan itu. Rasanya, tak sepicing mata pun mata ku terpejam, walau sebenarnya perasaan ngantuk bergantungan di pelupuk mataku. Namun, aku tidak mau melewatkan kesempatan sekali ini menikmati keindahan Swiss.

Perjalanan dari Flughafen ke Pestalozzi Children Village di Trogen memakan waktu lebih kurang 2 jam. Sekitar pukul 10 waktu setempat, kami tiba di Trogen Village. Bus berhenti tepat di depan dapur. Di sebelahnya ada restoran dan Gym. Satu per satu kami menuruni tangga bus. Sopir bus membuka bagasi dan mempersialakan kami mengmabil barang-barang bawaan kami. Damian, lelaki jangkung yang menjadi guide rombongan kami, membawa kami ke rumah nomor 9. Ketika masuk rumah, yang terbuat dari kontruski serba kayu dengan model Eropa ini, kami masing-masing dipersilakan untuk melihat-lihat ruangan. Silakan pilih, kata Damian. Yang penting, satu kamar sesuai dengan bed yang ada. Anda suka yang mana, begitu meminta kami memilih ruang mana yang kami sukai. Untuk kamar yang besar bisa diisi dengan 4 orang peserta.

Udara di luar rumah, bahkan juga di dalam terasa sangat dingin. Padahal, pada bulan Agustus ini, di Swiss lagi musim summer. Namun, suhu udara pada siang hari berada sampai pada 15 derajat Celcius. Kami merasa enggan untuk keluar rumah. Damian, sang pembimbing kami di rumah nomor 9 ini, tidak menyia-nyiakan waktu. Mungkin juga karena ini tanggung jawabnya, ia memanggil beberapa peserta dan supervisor dari Indonesia ke dapur. Di sini, Damian menjelaskan tentang cara-cara penggunakan dapur. Di sini, tampaknya segalanya self service. Mau makan, ingat waktu makan,lalu ambil ke dapur umum. Ingin nyuci, ya silakan gunakan mesin cuci. Mau minum, ya buat sendiri. Tidak ada yang membuat atau melayani. Ya, maklum sajalah dapur orang –orang Eropa.

Opening Ceremony, 13 Agustus 2003

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun