[caption caption="Literasi yang Terabaikan"][/caption]
Hari ini, tanggal 8 September 2015. Tampaknya, hari ini di kota Banda Aceh dan juga di kota-kota lain di Indinesia tidak ada gema suara yang menerikan, “ berantas buta aksara” atau mengajak masyarakat untuk meningkatkan partisipasi untuk membangun gerakan listerasi dan sebagainya. Hari ini tampaknya memang tidak ada lembaga-lembaga pemerintah, seperti Dinas Pendidikan menggelar acara yang bernuansa aksara, juga tidak sekolah-sekolah yang ikut menggemakan semangat dan melakukan advokasi terhadap nasib bangsa kita di Indonesia yang masih didera penyakit buta aksara yang menyengsarakan
mereka. Hari ini benar-benar seperti aksara tanpa kata, atau aksara tanpa suara dan sebagainya. Tidakkah, kita sebagai bangsa yang masih bermasalah dengan budaya membaca ini masih menimpan banyak masalah terkait keaksaraan? Bukankah pemimoin bangsa ini tahu bahwa hari ini, tanggal 8 September sudah ditetapkan oleh PBB dalam hal ini UNESCO, sebagai hari Aksara Internasional. Apakah memang hari ini tidak dilihat begitu penting? Entahlah.
Mungkin tidak terlalu penting, sehingga tidak ada suara, tidak ada kata dan gema untuk segera mengakhiri dan memberantas buta aksara di negeri ini. Seharusnya hari ini memang hari penting dan pada hari ini harus ada tindakan nyata untuk secara bersama melihat persoalan keaksaraan di negeri ini. Melihat dampak buruk dari masih banyaknya masyarakat Indonesia yang masih buta aksara dan keaksaraan yang lebih tinggi.
Yang jelas hari ini adalah hari penting dan tanggal penting dan bersejarah, terutama bagi bangsa-bangsa di dunia yang memandang perlu dan pentingnya upaya bangsa-bangsa di dunia untuk memberantas buta aksara yang masih menyelimuti sekitar 781 juta penduduk dunia. Sebagaimana catatan UNESCO seperti dilansir oleh Tempo.co edisi 20 Sep[caption caption="Minat Baca masih Rendah"][/caption]tember 2014, bahwa secara global terdapat 781 juta penduduk dewasa yang tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung. Dua pertiga dari mereka adalah perempuan. Sedangkan pada kelompok anak, terdapat lebih dari 126 juta anak yang tidak dapat membaca kalimat sederhana meskipun separuh dari mereka pernah bersekolah selama empat tahun. Selain itu, terdapat 42% anak-anak dari keluarga miskin dan anak yang berada di wilayah konflik tidak bisa sekolah (out of school) yang akan menjadi "calon" buta-aksarawan baru.
Di Indonesia pun, sebenarnya masih memiliki masalah buta aksara yang melilit lebih kurang 6 persen lagi. Karena katanya Indonesia sudah berhasil menurunkan jumlah angka buta aksara. "Angka buta aksara di Indonesia tinggal enam persen," begitu kata Prof. Ainun Naim, Phd, Sekjen Kemendikbud, dalam acara jumpa wartawan terkait pelaksanaan Asia Eropa Meeting (ASEM) on Lifelong Learning 2015, Selasa (10/3/15). Dijelaskannya, sejak Indonesia merdeka, angka buta huruf di Indonesia sangat tinggi, mencapai 90 persen. Menakjubkan, bila kita melihat angka presentase tersebut dan pantas untuk memperoleh penghargaan dari UNESCO sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja pemerintah Indonesia memberantas penyakit buta aksara di kalangan masyarakat kita di Indonesia. Hebat. Indonesia memang hebat.
Namun harus diingat, angka itu kelihatan kecil, kalau dilihat dari angka prosentase yang katanya hanya 6 persen lagi. Akan tetapi harus dilihat dari angka populasi penduduk yang bila diambil 6 persen itu masih ada lebih kurang 13 juta orang yang masih buta aksara. Kemudian, dalam melihat angka buta aksara, seharusnya kita tidak melihat pada level terendah dari keaksaraan tersebut, yakni melihat pada kemampuan membaca, berhitung dan menulis saja, tetapi keaksaraan yang lebih tinggi adalah pada kemampuan memahami, menganalisis dan juga kemampuan solusif dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Nah, bila melihat pada tataran keaksaraan yang lebih tinggi, maka angka keaksaraan akan lebih besar jumlahnya. Oleh sebab itu, selayaknya kita tidak terpana dengan angka 6 persen yang membuat Indonesia mendapat penghargaan dari UNESCO. Seharusnya kita malu, karena sudah 70 tahun Indonesia merdeka, angka buta aksara masih relative tinggi. Harus disadari bahwa, tingginya angka kemiskinan di Indonesia saat ini berkorelasi positif terhadap tingginya angka buta huruf tersebut. Oleh sebab itu, usaha, strategi dan metode pelaksanaan pendidikan keaksaraan harus tetap dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia saat ini.
Lalu, terkait dengan persoalan keaksaraan, seharusnya pemerintah bangsa ini malu melihat kenyataan dari tendahnya budaya baca atau literasi di negeri ini. KOMPAS.com - memberitakan bahwa minat baca anak di Indonesia sangat rendah. Berdasarkan data UNESCO, persentase minat baca anak Indonesia sebesar 0,01 persen. Artinya, dari 10.000 anak bangsa, hanya satu saja yang memiliki minat baca. Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi X DPR RI, Yayuk Basuki, dalam kunjungan di Kendal, Senin (25/5/2015). Hmm, bukankah ini fakta yang memalukan?
Jelas ini adalah fakta yang memalukan sekali. Fakta yang menunjukan wajah kita bangsa Indonesia yang memliki motivasi membaca yang rendah. Karena semakin rendah motivasi kita membaca, maka konsekswensinya adalah semakin rendah kualitas baca kita. Ketika kualitas baca kita rendah, maka semakin rendah pula daya saing bangsa ini untuk bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Akibatnya, ketika budaya baca rendah, kepedulian untuk mengatasi persoalan keaksaraan juga rendah, maka masyarakat bangsa ini akan kembali terpuruk ke dalam jurang kemiskinan dan kebodohan. Bila ini terus begini, bukan tidak mungkin HDI bangsa ini bisa meningkat.
Oleh sebab itu, selayaknya hari ini, hari Aksara Internasional yang sudah ditetapkan berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Menteri Negara-Negara Anggota PPB yang diselenggarakan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tanggal 17 November 1965 di Teheran, Iran, tanggal 8 September ditetapkan sebagai Hari Aksara Internasional (International Literacy Day) itu, kita peringati dan dijadikan sebagai momentum untuk secara bersama membangun kembali gerakan memabac yang tertinggal dan membangun budaya literasi agar negeri ini tidak menjadi Negara yang menduduki posisi ekor dari angka HDI dan standard penilaian kualitas manusia lainnya seperti di bidang pendidikan, yakni PISA dan lain sebagainya.