Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mereka Tidak Mengenal Guru

4 September 2015   06:54 Diperbarui: 4 September 2015   07:22 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jangan Lupakan Guru"][/caption]

Oleh Tabrani Yunis

Aku masih ingat siapa nama guruku yang mengajarkan aku saat aku di kelas satu SD. Aku masih ingat siapa nama wali kelasku ketika aku masih kelas satu.Aku masih membayangkan saat-saat ia memegang tanganku membimbingku untuk bisa menulis abjad a,b,c,d hingga z. Aku juga masih tergiang suaranya saat meluruskan bacaanku yang keliru saat itu. Ya, aku memang sangat ingat terhadap guru yang telah berjasa membuat aku bisa membaca, berhitung dan menulis. Bukan hanya itu, bahkan aku juga masih ingat siapa kepala sekolah SD ku yang sudah ku tinggal selama 40 tahun. Apalagi terhadap guru-guruku di SMP,  aku masih ingat dengan mereka. Bahkan, aku masih ingat dengan   guru-guru yang mengajarkan aku pelajaran bahasa Inggris dari kelas satu hingga kelas III  di bangku Sekolah Menengah Pertama. Apalagi dengan guru-guruku yang mengajarkan aku menjadi guru, ya kala aku belejar tentang teori-teori pendidikan, psikologi, didakteikmda metodik dan lain sebagainya ketika belajar di SPG ( Sekolah Pendidikan Guru) di tahun 1979-1982.  Ya aku masih ingat semua.  Aku ingat dengan jasa guru-guru mata pelajaran yang lain yang telah memberikan aku ilmu, ketrampilan dan mengubah sikap dan perilaku semua murid atau siswa menjadi lebih baik.

Apa yang membuat aku dan juga teman-temanku sangat ingat akan jasa guru-guru yang telah mengubah hidupku dan juga hidup orang banyak tersebut? Mengapa nama-nama guru tersebut begitu melekat dalam ingatanku dan murid atau siswa-siswa lain? Ya, bayangkan, hingga umurku dan teman-temanku yang lain sudah 50 bahkan lebih, tetapi kami masih ingat dengan nama dan bahkan gaya guru tesebut mengajarkan kami. Ya, begitu berkesan dan penuh kenangan. Terasa begitu dekat. Mungkin, bila cerita semacam ini kita ceritakan kepada anak-anak sekarang, mereka tidak percaya.  Pokoknya, guru-guru itu begitu dekat dan melekat di hati hingga kini, walau para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut sudah tiada, sudah meninggal, tetapi jasa mereka masih dikenang. Wajah meeka masih ada dalam memori para siswanya.

Berbeda dengan anak-anak sekarang. banyak sekali murid, atau siswa yang tidak mengenal siapa guru meeka. bayangkan saja, ketika kita tanyakan, siapa nama guru bahasa Inggrismu? Ia menjawab, hmm, nggak tahu, atau tidak ingat. Ketika kita tanya siapa nama guru pelajaran sejarahmu? Ia juga mengatakan tidak tahu atau tidak ingat. Bahkan nama wali kelas saja, lupa-lupa ingat. Apalagi kalau kita menanyakan nama guru yang ada di sekolah mereka, tetapi guru tersebut tidak masuk mengajar di kelas mereka, maka mereka sama sekali tidak mengenal nama guru tersebut. Mengapa demikian? Apakah memang para guru yang mengajar, mendidik dan membimbing mereka, sudah tidak begitu mengesankan?

Agaknya, zaman memang sudah berubah, perilaku dan sikap manusia juga berubah mengkuti perubahan zaman, Bila dulu hubungan sosial antar sesama begitu akrab dan melekat, sistem kekerabatan sosial masih begitu kental. Pendidikan budi pekerti masih menjadi andalan, orang-orang saling peduli, saling tolong menolong, tidak begitu egois dan memang rasa kekeluargaan di sekolah begitu terasa. Mungkin kini sudah tidak begitu, bisa jadi semuanya dihitung dalam bentuk rupiah. Hubungan sosial juga ikut terhitung demikian. Maka, wajarlah kalau banyak anak yang tidak mengenal siapa guru mereka. Ini adalah sebuah realitas sosial yang perlu kita catat saat ini. Entah seperti apakah nanti di masa depan, enatah masih ada anak yang masih mengenal guru. Mari kita kenang sejenak, mari kita refleksi lagi, melihat hubungan kita dengan guru-guru kita. Jangan lupakan guru. Mari kita mengingat jasa mereka.

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun