Oleh Tabrani Yunis
Trotoar yang membelah jalan menjadi dua jalur itu kini tampak kering. Rumput yang dahulu ditanam, menguning bahkan memerah. Ada indikasi rumput di trotoar itu jarang atau bahkan memang tidak disiram untuk sekian lama. Walau di kota Banda Aceh sebenarnya ada banyak armada atau mobil penyiram tanaman. Namun, entah mengapa selama ini mobil penyiram taman dan trotoar itu tidak [pernah kelihatan lagi. Entah sudah terbakar, entah pula sudah kehabisan bahan bakar. Mungkin juga karena tidak ada anggaran kota Banda Aceh untuk mengoporasikan mobil-mobil tersebut. Tapi itu tidak mungkin ya? Mana mungkin Wali kota Banda Aceh tidak menyediakan anggaran untuk itu. Bukankah kota Banda Aceh dirancang sebagai kota madani dan kota masa depan?
Ya, terserahlah. Yang penting saat ini kita menyaksikan rumput-rumput di trotoar itu sedang menyongsong kematian dalam lumatan kekeringan. Bisa jadi pohon-pohon yang sengaja ditanam di atas trotoar itu juga sengaja untuk dimatikan. Karena kalau rumput-rumput dan pohon-pohon itu cepat mati, ya akan cepat dicari ganti dengan rumput dan pohon yang baru. Sebab kalau sudah mati, ya akan ada lagi proyek baru, yang bisa mendatangkan keuntungan.
Kita masih harus melihat pada trotoar itu. Seringkali, ya karena sudah berkali-kali kita menyaksikan pembangunan trotoar di jalan itu berjalan bongkar pasang. Tidak ubahnya seperti permainan edukatif yang dimainkan anak-anak kita di rumah. Anak-anak kita bisa membongkar kapan saja dan mau seperti apa saja. Begitu pula kelihatannya pembangun trotoar di kota ini. Entah seperti apa ya pembangun di kota lain, entah sama seperti yang kita lihat di kota Banda Aceh ini. Kalau yang di kota Banda Aceh, kelihatannya pembangunan trotoar itu sering dilakukan. Seperti sengaja diatur sedemikian rupa. Membangun trotoar itu tidak seirama dengan proses pengaspalan jalan. Misalnya, pengaspalan jalan dilakukan sekarang, lalu dalam waktu tidak lama diikuti pula dengan pembongkaran trotoar, untuk diganti dengan block baru yang lebih tinggi. Lalu, sekitar setahun kemudian, jalan diaspal lagi, dan trotoar dibongkar lagi.
Nah, sekarang ini ada trotoar yang sedang dalam pengerjaan lagi. Beberapa hari yang lalu, sekitar hampir dua minggu lalu, trotoar yang ditumbuhi rumput dan pohon, orang Aceh mengatakan itu pohon hasan tampak tanahnya dibongkar dan diambil, dimasukan ke truk. Entah kemana tanah itu dibawa, ya itu urusan merekalah. Tapi yang membuat kita bertanya, mengapa tanah yang sudah ditumbuhi rumput dan pohon itu dikeruk lagi dan kemudian ditimbun lagi dengan tanah baru. Walau tampak ada campuran tanah humus dibawa atau ditumpahkan di trotoar itu. Itu kan sama saja pembangunan trotoar yang tambal sulam? Padahal, kalau memang mau dirawat dengan baik dan sungguh-sungguh, pengerukan dan penambahan tanah berhumus itu tidak perlu, karena rumput dan pohon mendapat asupan gizi dari proses penyiraman yang seharusnya rutin. Ya, sudahlah, Mungkin memang urusan pembanguna trotoar itu dirancang dengan model tambal sulam.
Agaknya pola bongkar pasang dan tambal sulam itu, tidak hanya berlaku pada paradigma pembangunan trotoar di kota ini. Kita juga sering disuguhkan dengan pemandangan lain dalam membangun fasiltas umum. Para pelaku pembangunan itu tampaknya memang tidak mau bersinergi. Artinya membangun bersama, sehingga tidak ada yang satu mulai membangun dan selesai, lalu datang lagi pihak lain yang membangun fasilitas umum yang lain, lalu fasilitas yang dibangun oleh pihak sebelumnya ada yang dibongkar. Sehingga yang sudah dibangun orang lain, rusak lagi karena ada pembangunan fasilitas lainnya. Kita ambil saja contoh misalnya, pihak telkom yang membangun jaringan lewat jalur menanam kabel di tanah, pengerjaannya selesai. Lalu pihak PU membangun pula saluran drainase. Tanpa koordinasi dengan Telkom sehingga saat pengerjaan kabel telkom terputus dan merugikan konsumen telkom. Begitu pula halnya dengan perusahaan PDAM yang memasang pipa air. Mereka menggali pinggiran dan bahkan memotong badan jalan, saat kondisi jalan bagus, lalu kemudian menjadi berlubang dan sangat mengganggu dan merusak. Pembangunan model ini bisa saja terjadi kapan saja dan sangat mengganggu pelayanan umum masyarakat. Seakan-akan ini memang disengaja, karena kalau cepat rusak, ya cepat dapat proyek lagi tahun depan. Apakah memang begini mentalitas pembangunan di negeri kita ini? Entahlah. Kita hanya bisa menyampaikan apa yang kita lihat dan rasakan.
Beberapa kasus atau contoh di atas hanyalah contoh kecil saja. Karena sesungguhnya kebobrokan dan keanehan itu terjadi dalam banyak kegiatan pembangunan yang berlangsung selama ini. Tentu saja bukan hanya di kota Banda Aceh yang ber-icon- kota Madani ini, tetapi praktek serupa memang terjadi dimana-mana di Aceh dan bahkan juga di Indonesia. Namun, dalam tulisan singkat ini, tidak mungkin kita angkat semua hal. Jadi apa yang diungkapkan di atas, hanyalah beberap contoh saja yang bisa kita saksikan saat ini.
Apa yang kita saksikan selama ini, secara jujur kita akui bahwa ada trend atau kecendrungan pola pembangunan kita di Aceh khususnya dan di Indonesia umumnya menganut prinsip pembangunan bongkar pasang atau bisa kita sebuat tambal sulam. Ini adalah model pembangunan di negeri yang kita sebut developing countries, atau negera yang sedang berkembang. Pembangunan dalam banyak hal memang dilakukan dengan cara membangun untuk waktu yang tidak lama, membongkar karena mau dibangun atau direnovasi, lalu bangun lagi untuk batas waktu yang kalau bisa tidak perlu berpuluh tahun, tetapi satu periode lima tahunan. Dengan demikian, selalu ada proyek baru. Tentu cara ini sebenarnya bukanlah cara yang dilakukan oleh para designer kota yang cerdas. sebab, kalau designernya cerdas dan berorientasi ke masa depan, maka pola pembangunan yang digunakan tidak demikian. Ya tidak dengan cara bangun, bongkar dan bangun lagi. Orang berorientasi ke masa depan dan cerdas, akan menggunakan uang pembangunan itu dengan cara yang lebih hemat. Sekali membangun, bisa dinimati berpuluh tahun. Kalau pun ada pembangunan, bukannya pembangunan, tetapi hanya untuk pemeliharaan. Jadi tidak dalam bentuk proyek pembangunan bongkar pasang dan tambal sulam tersebut. Pembangunan yang beroreitasi ke masa depan dan efisiensi ini harusnya menjadi pilihan kita.
Kalau takut tidak ada proyek baru, sebenarnya itu adalah pemikiran yang sesat. Sebab, untuk membuat proyek baru, tentu bisa merancang kebutuhan kota yang lain yang nilainya bisa lebih besar dan tidak cilet-cilet. Kita misalnya saat ini membutuhkan jalan layang, karena mengingat pertumbuhan dan penambahan jumlah kenderaan hingga 10 tahun mendatang akan membuat jalan-jalan macet. Maka proyek -proyek transportasi dan lainnya untuk masa depan itu bisa lebih hemat dan berhasil guna, serta tidak mubazir seperti apa yang terjadi selama ini.
Sebaiknya kita belajar lebih jujur dan lebih cerdas serta berorientasi ke masa depan dalam mempercepat proses pembangunan yang mensejahterakan rakyat. tentu saja dengan cara ini, kita bisa melakukan langkah efisiensi dalam membangun sarana pembangunan bagi peningkatan pelayanan fasilitas umum bagi kelancaran pembangunan manusia. Bahkan dengan cara ini, paradigma pembangunan kita lebih bermartabat dan bermoral. Kita seharusnya malu menggunakan pendekatan pembangunan yang tambal sulam, bongkar pasang, atau membangun, merusak, dan membangun lagi itu. Mari kita jujur pada diri kita juga juru pada masyarakat dan paling penting jujur kepada Allah. Semoga bisa jadikan pelajaran bagi kita semua.
Â
Banda Aceh, Jumat 28 Agustus 2015
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H