Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mematikan Media Cetak Aceh

13 November 2014   02:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:56 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Tabrani Yunis

Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh

Nasib media massa local, terutama media cetak, seperti surat kabar, tabloid dan majalah terbitan Aceh selama ini sangatlah tidak menentu. Cendrung sangat memprihatinkan. Banyak media cetak yang tumbuh, bermunculan, terutama setelah bencana tsunami 26 Desember 2004 terjadi. Ketika Aceh menjadi daerah yang terbuka dari keterisolir konflik yang berkepanjangan, sejumlah media cetak bermunculan. Kita mengingat beberapa nama media tersebut, misalnyaSerambi Indonesia yang terbit pada tahun 1989 itu memunculkan Pro haba, Harian Rakyat Aceh- Metro Aceh, Aceh Independent, harian Aceh, Pikiran Merdeka, Media NAD, Mingguan Raja Post, Atjeh Times dan lain-lain.Di antarasemua surat kabar yang terbit dan beredar di Aceh saat ini, hanya sedikit yang bisa bertahan hidup. Realitas menunjukan saat ini hanya Serambi Indonesia dan Pro Haba yang bisa bernafas lega dan menjadi pilihan mayasarakat Aceh. Selainnya hanya terbit beberapa saat, lalu mati. Kalau pun masih terbit, oplah dan sirkulasinya sangat terbatas. Tidak ubahnya bagai orang yang hanya untuk bertahan hidup.

Nasib serupa juga dialami oleh beberapa tabloid yang terbit di Aceh, misalnya sepertiAceh Kita, Suwa, Kontras, Beujroh, Modus dan lain-lain, namun yang geliatnya masih terasa dengan menggigit, hanyalah tabloid Modus. Sementara yang lain mengalami nasib yang mengenaskan, harus mati sebelum berkembang. Kalau pun ada yang masih hidup, nasibnya tidak ubah seperti kata pepatah lama, layu sebelum berkembang, atau hidup enggan mati tak mau, bahkan ada yang memang harus memaksakan diri untuk mati, tidak terbit lagi.

Selain nasib surat kabar dan tabloid yang kembang kempis dan tak menentu, nasib serupa juga dialami oleh majalah-majalah yang terbit di Aceh. Ada banyak majalah yang mewarnai Aceh, misalnyaAceh Magazine, Aceh kini, Aceh Poin dan lain-lain. Namun semua majalah itu mati dan tidak pernah muncul lagi hingga kini. Kini hanya ada dua majalah yang terbit di Aceh yang beredar nasional yakni majalah POTRET yang terbit sejak tahun 2003 dan majalah Anak Cerdas, the children Magazine yang baru terbit sejak tahun 2013. Kedua majalah ini masih terbit, walau terseok-seok untuk bertahan hidup dalam membangun gerakan menulis di tengah masyarakat Aceh dan Indonesia, karena tidak mendapat dukungan iklan dari perusahaan maupun daru pemerintah.

Surat kabar, tabloid dan majalah yang menjadi mainstream media, media promosi dan advokasi serta media pencintraan, tersebut diterbitkan oleh berbagai kalangan seperti insan-insan pers, praktisi media, pengusaha dan bahkan politikus serta ada beberapa juga yang diterbitkan oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau yang pasca tsunami dikenal orang sebutan NGO (Non Governmental Organization) itu. Cukup banyak yang tumbuh, lalu mati. Bahkan, instansi pemerintah pun sejak sebelum bencana tsunami sudah ada yang menerbitkan media, seperti Dinas Pendidikan dengan Kiprah, lalu pasca tsunami Bappeda menerbitkan pula Tabangun Aceh, Badan Arsip dengam majalah BACA dan lain-lain.

Hadirnya, banyak media di Aceh sesungguhnya banyak memberikan manfaat bagi masyarakatdan daerah Aceh. Manfaat pertama, terkait dengan akses masyarakat Aceh terhadap sumber-sumber informasi menjadi semakin dekat, murah dan mudah. Manfaat kedua, Selain memberikan kemudahan akses, masyarakat juga memiliki kebebasan memilih media yang diinginkan sesuai dengan kemampuan masing-masing.Manfaat ke tiga, bagi masyarakat yang ingin belajar dan mengembangkan kemampuan menulis di media, banyaknya media itu, semakin membuka ruang belajar dan partisipasi masyarakat dalam mengekspresikan pikiran dan pendapat secara tertulis. Tentu saja, sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Sementara keuntungan bagi daerah Aceh, selain membantu pemerintah mengatasi persoalan penyediaan lapangan kerja, kehadiaran semua media tersebut juga menjadi media promosi bagi daerah. Namun, sayangnya banyak media itu tumbuh, namun kemudian mati dan hilang ditelan masa Tidak ubahnya seperti kata pepatah lama,ada yang “ seperti kerakap tumbuh di batu, Hidup enggan mati tak mau”. Ada pula yang tumbuh, langsung mati.

Matinya sejumlah media cetak di Aceh belakangan ini, mungkin bagi sebagian orang tidak menjadi masalah, karena tidak dianggap penting. Namun, dalam perspektif kebebasan informasi, edukasi, promosi dan advokasi, kematian media tersebut adalah sebuah kemalangan yang memprihatinkan. Untuk itu, kita membutuhkan banyak media yang bisa menyediakan informasi,mengedukasi dan mempromosikan serta melakukan advokasi bagi rakyat dan daerah. Karena secara ideal, diharapkan semua media itu bisa tumbuh dan berkembang dengan sehat, sehingga manfaat yang disebutkan di atas, bisa secara optimal dirasakan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, matinya sejumlah media cetak tersebutmengurangi akses dan media belajar bagi masyarakat. Apalagi saat ini minat dan daya baca masyarakat kita masih realtif rendah. Selayaknya kita merasa prihatin.

Ada banyak factor yang menyebabkan sulitnya hidup dan matinya sejumlah media cetak di Aceh selama ini. Factor utama terkait dengan pendanaan atau pembiayaan. Seperti kita ketahui bahwa dukungan iklan atau pariwara adalah nadi dan darah segar bagi keberlangsungan hidup sebuah media cetak dan lainnya. Bukan berarti hasil penjaualan tidak mendukung, namun bila dikalkulasi biaya cetak dengan penjualan, margin keuntungan sangat kecil dan bahkan bisa tidak menguntungkan. Nah, kesulitan iklan bagi media daerah menjadi penyebab susah hidup dan matinya media cetak local. Selain kesulitan mendatangkan iklan, daya beli serta minat membeli surat kabar, tabloid dan majalah di Aceh masih sangat rendah. Faktor kedua, terkait dengan orientasi sang penerbitnya. Banyak mediacetak di Aceh dilatarbelakangi oleh political background. Pemilik media menerbitkan media untuk kepentingan politik, sehingga media itu tidak memiliki basis kekuatan yang fundamental. Media seperti ini mati ketika langgam politik yang diikuti terlindas. Sehingga media yang diterbitkan juga terlindas oleh persoalan politik.Faktor ke tiga, kebijakan pemerintah daerah yang tidak mendukung hadir dan hidupnya media local. Kebijakan yang ada justru hanya membantu media yang dianggap kuat saja. Sementara yang lemah dibiarkan begitu saja. Faktor ke empat terkait denganfanatisme masyarakat terhadap satu media. Sehingga, media lain seakan tidak memuat berita dan kontens yang akurat. Akibatnya, media yang seharusnya bisa hidup berdampingan, susah hidup dan mati.

Membredel Media Internal

Di tengah kesulitan hidup dan matinya sejumlah media mainstream, seperti surat kabar, tabloid dan majalah di Aceh. Tiba-tiba, Gubernur Aceh, H. Zaini Abdullah mematikan semua media yang diterbitkan oleh SKPA (Dinas dan Badan) di Aceh. Gubernur Aceh melarang semua SKPA menerbitkan dan bahkan harus menghentikan semua media SKPA tersebut lewat kebijakan yang tergolong sangat tidak bijak dan mematikan inisiasi local dalam industry media di Aceh. Larangan tersebut dilansir oleh beberapa media. DiliputNews.com – Gubernur Aceh Zaini Abdullah melarang Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) atau dinas menerbitkan majalah dan tabloid.

“Mulai sekarang, saya minta SKPA menghentikan semua penerbitan tabloid, namun agar menganggarkan dana promosi dan pemberian informasi. Penyampaian informasi publik harus melalui Biro Humas,” katanya di Banda Aceh, Senin 4 Agustus 2014. Oleh karena itu, Gubernur menjelaskan untuk kegiatan promosi dan sosialiasi program, maka diperlukan optimalisasi fungsi dan peran Biro Humas. Menurutnya, Humas Pemerintah Aceh adalah corong, sumber informasi dan pusat pencitraan Pemerintah.

Membaca kebijakan atau instruksi Gubernur Aceh tersebut, kebijakan ini adalah sebuah tindakan yang tidak arif dan tidak dewasa. Dikatakan demikian, karena sebenarnya untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas, daerah ini membutuhkan banyak media untuk membantu menyediakan media belajar bagi masyarakat, media untuk penyebaran informasi dan media untuk mengembangkan potensi literasi masyarakat. Dengan banyaknya media, banyak peluang belajar dan berekspresi bagi masyarakat.

Maka, keluarnya larangan ini, Gubernur terkesan gamang terhadap isi atau contentmedia tersebut, lalu dengan sangat gegabah menghentikan semua terbitan SKPA tersebut. Tidak ubahnya seperti kata orang terdahulu, ketika takut terhadap satu tikus, lalu lumbung padi yang dibakar. Maka, kebijakan ini bahkan dapat dinilai sebagai bentuk tindakan pembredelan, walau korbannya bukan media mainstream. Apa lagi, langkah inimenghilangkan ruang public untuk mengembangkan motivasi dankapasitas menulis serta kesempatan untuk mengasah kemampuan menulis masyarakat dan dan staf di Dinas-dinas tersebut.

Gubernur Aceh seharusnya bisa lebih arif dan memiliki pandangan yang lebih terbuka. Karena bila Gubernurkhawatir bila media SKPA melakukan pencitraan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, Gubernur Aceh tidak harus menghentikan terbitan tersebut tetapi karena alasan penghematan dan untuk menjadikan Biro Humas menjadi satu-satunya corong pencitraan Pemda. Bila semua informasi ditangani oleh Biro Humas Pemda Aceh, maka pertanyaannya, apakah Biro Humas Pemda Aceh mengerti semua hal yang ditangani Dinas-dinas tersebut? Oleh sebab itu, selayaknya Gubernur atas nama Pemda, bisa bertindak lebih bijak dan berorientasi pada pendidikan masyarakat. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun