Meski negara kita punya landasan negara Pancasila dan UUD 1945 yang menunjukkan keberagaman Indonesia, namun pemahaman dari konsekwensi keberagaman harus melalui jalan terjal. Dalam dua dekade ini kita menghadapi era reformasi, dimana keterbukaan mendapa angin segar setelah hampir tiga dekade rakyat Indonesia harus menjalani masa dimana kebebasan dibatasi.
Namun keterbukaan pada zaman reformasi itu menghasilkan dampak intolerasi terhadap perbedaan yang sudah menjadi takdir bangsa Indonesia. Banyak sekali pihak yang terjebak pada glorifikasi kekhalifahan yang dibawa oleh faham transnasional. Glorifikasi itu begitu kuat sehingga banyak orang terprovokasi. Kita bisa lihat bagaimana fenomena provokasi ISIS di Suriah pada tahun 2-11-2016, mereka mampu meenggerakkan orang di seluruh dunia untuk membantu ISIS demi kekhalifahan.
Di dalam negeri sendiri faham transnasional itu merembes ke banyak sendi masyarakat. Diantaranya sekolah, pada ibu-ibu yang punya kajian-kajian eksklusif, dan banyak kantor bahkan masjid-masjid BUMN yang terindikasi banyak menyampaikan faham transnasional.
Rembesan di segala sendiri itu berproses sehingga banyak ditemui gejala-gejala intoleransi. Salah satu sifat intoleransi itu adalah eksklusifitas yang sulit menerima pihak yang berbeda. Beberapa penelitian menyebut level terendah dalam toleransi itu adalah penerimaan (terhadap yang berbeda) dan ditemukan semakin banyak orang yang tidak bisa menerima pihak yang berbeda ini.
Kita mungkin mendengar demonstrasi beberapa ormas yang memprotes pendirian sekolah Kristen di Pare-Pare Sulawesi Selatan. Meski soal legal dan sudah dilakukan sosialisasi, namun banyak orang yang memprotesnya dengan dalih bahwa sekolah yang berbeda keyakinan itu berada di lingkungan yang banyak umat muslimnya. Kemelut ini sudah bertahun-tahun terjadi sampai sekarang.
Peristiwa terbaru adalah seorang ASN (pejabat selevel kabid) yang memprotes saat tetangganya melakukan biston (semacam pengajian jika di umat muslim). Biston itu semacam doa bersama yang dilakukan oleh umat Kristen di rumah salah satu umat Kristiani. Dan kegiatan itu tidak memerlukan izin formal. Sang ASN ini berteriak-teriak ketika memprotes dan mengatakan bahwa ibadah seperti itu perlu izin (formal)
Peristiwa itu berakhir dengan permintaan maaf oleh sang ASN didampingi oleh forkopinda Bekasi. Namun Nampak di situ, bahwa peristiwa itu hanya dipahami sekadar kesalahfahaman saja dan bukan intoleransi. Padahal bagaimanapun, awam bisa melihat bahwa itu adalah intoleransi.
Sudah hampir dekapan dekade kita merdeka dan kita harus bisa lebih dewasa dalam melihat konteks berbangsa. Kita berada di negara dengan keberagaman yang kompleks dan saling menghargai adalah kunci untuk bisa menciptakan kerukunan antar umat.
Indonesia adalah negara yang menjunjung Pancasila sebagai dasar negara. Pada sila pertama  yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa  hakekatnya adalah kebebasan beragama bagi semua warga negara , tanpa memandang mana mayoritas mana mintoritas. Apalagi merasa bahwa minoritas wajib mengalah terhadap mayoritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H