Mungkin kita masih ingat dengan rentetan peristiwa bom Katedral Makassar beberapa waktu lalu. Bom Katedral Makassar itu dilakukan oleh suami istri yang mempunyai kaitan dengan kelompok tertentu di Makassar.Â
Mereka punya pengajian dan kegiatan rutin yang khusus. Akhirnya diketahui, bahwa mereka punya kecenderungan intoleran bahkan radikal. Inilah kemudian yang mendorong mereka mengebom gereja itu.
Selang dua hari setelah bom gereja Katedral, masyarakat dikagetkan dengan peristiwa penyerangan di Mabes Polri yang dilakukan oleh seorang Wanita muda (berumur 24 tahun) Dia membawa senjata air soft gun. Karena dianggap membahayakan, akhirnya dia ditembak mati oleh aparat.
Dua peristiwa ini kelihatannya tidak sama, karena satu menggunakan bom dan menyerang rumah ibadah umat lain, sedang satunya menyerang mabes polri yang notabene adalah kantor penting bagi kepolisian Republik Indonesia. Bahkan Mabes Polri adalah kantor pusat polisi Indonesia. Pelaku bom gereja Katedral punya kelompok khusus, sedangkan penyerangan Mabes polri dilakukan oleh pribadi, alias lone wolf.
Namun bila kita telaah lebih jauh, dua peristiwa ini sebenarnya punya motif dan pemicu yang sama. Pelaku itu masing-masing meninggalkan sepucuk surat untuk ibu masing-masing. Dalam surat itu diungkap bahwa mereka tidak setuju keluarganya berhubungan dengan bank, pemerintah dan aparat.Â
Bahkan pelaku Mabes Polri melarang ibunya untuk menjadi pengurus Dama (Dasa Wisma) yang merujuk pada pertemuan ibu-ibu dalam satu RT. Artinya keduanya menganggap pemerintah dan aparat (negara) adalah toghut. Mereka juga menganggap orang lain yang berbeda adalah kafir yang darahnya halal untuk dibunuh.
Ini membuktikan bahwa praktek kekerasan (radikalisme) yang dilakukan oleh beberapa oknum dengan mengatasnamakan agama tertentu biasanya menggunakan/mengutip ayat-ayat atau hadist tertentu. Ayat itu dipakai sebagai dasar atau pembenar tindakan mereka (mengebom atau menyerang aparat)
Walaupun dalam alam nyata, pemahaman terhadap dalil teologis yang mereka kemukakan terindikasi abstrud (tidak jelas), namun karena semangat atas nama agama dan keyakinan begitu besar, yang bersangkutan seringkali bersikukuh bahwa keyakinannya benar. Â
Padahal benang merah terpenting dari semua agama di dunia itu adalah damai -- menciptakan  kedamaian- baik bagi umat pemeluk sendiri dan bagi umat lainnya. Kedamaian itu akhirnya membentuk harmoni dalam kehidupan. Sehingga, jika ditelaah lebih lanjut, kekerasan yang dilakukan para pelaku itu adalah negasi (berlawanan) dengan apa yang diajarkan agama. Â
Tahun ini negara kita menginjak 77 tahun. Sebenarnya cukup umur bagi kita semua untuk bisa memaknai harkat kita sebagai manusia beragama dan bernegara. Dengan keberagaman etnis, agama dan bahasa yang ditakdirkan Allah kepada Indonesia, sudah sepantasnya kita bersyukur.Â
Bali dengan mayoritas Hindu memberi kita hawa segar untuk tamasya di akhir tahun. Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mayoritas beragama Islam adalah potensi untuk pertanian dan kelautan. Lalu kita punya Maluku yang mayoritas penduduknya ada yang Kristen ada yang Islam yang alamnya penuh dengan kekayaan laut.
Allah memberikan Indonesia dan keberagaman yang dimilikinya untuk membuat kita bersyukur dan menghargai satu sama lain. Karena itu mungkin sudah saatnya kita mewaspadai hal-hal yang jadi penyebab satu kelompok atau satu orang terkena faham transnasional dan akhirnya radikal seperti yang dilakukan oleh dua pihak di awal tulisan ini.
Radikalisme sudah jelas membalikkan logika banyak orang soal keberagaman di Indonesia. Bagaimana menyikapinya ? Hindari faham itu dan belajar soal agama lebih dalam sehingga kita bisa pahami ajaran agama sesuai konteks keindonesiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H