Mohon tunggu...
TABITA DEVI
TABITA DEVI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Malang

Mahasiswa Pendidikan Geografi, yang tertarik dengan perubahan yang terjadi di lingkungan akibat proses interaksi manusia dan alam. Pendidikan dan ilmu pengetahuan mendorong untuk terus mempelajari perubahan-perubahan tersebut

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Pembakaran Lahan Pertanian Masih Terjadi di Indonesia

15 Juli 2024   15:00 Diperbarui: 15 Juli 2024   18:33 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abu Sisa Pembakaran Lahan Pertanian di Kabupaten Kediri. Sumber: Dok. Pribadi

Pernahkah kamu menerjang kabut asap ketika melewati area persawahan? Atau melihat abu bekas pembakaran lahan pertanian? Masyarakat desa pasti tidak asing lagi dengan peristiwa seperti ini. Bahkan menganggap kejadian ini sebagai hal yang biasa terjadi.

Dari tahun ke tahun, praktik pembakaran lahan pertanian masih terjadi di Indonesia. Hal ini dilakukan petani untuk membuka lahan pertanian atau membersihkan sisa hasil panen. Bahkan aktivitas ini telah menjadi bagian dari tradisi lokal masyarakat Indonesia.

Dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan dan kesehatan manusia membuat banyak pihak mempertanyakan apakah praktik pembakaran lahan pertanian ini masih relevan jika dilakukan saat ini. Fenomena ini perlu menjadi sorotan dalam upaya Indonesia menuju pertanian yang berkelanjutan.

Tantangan Tradisi Lama

Praktik pembakaran lahan pertanian telah menjadi tradisi yang dijalankan sejak jaman dahulu oleh masyarakat Indonesia. Bahkan telah menjadi bagian dari tradisi lokal masyarakat.

Untuk membuka lahan baru, masyarakat memanfaatkan api untuk membersihkan semak belukar dan tanaman di lahan yang akan digunakan sebagai area pertanian. Terlebih lagi, beberapa wilayah di Indonesia memiliki kondisi tanah yang kurang subur (daerah gambut) untuk pertanian. Sehingga, abu bekas pembakaran dirasa dapat menekan kadar keasaman pada tanah.

Hal yang sama dilakukan setelah masa tanam selesai. Petani akan membakar jerami atau sisa tanaman di lahan sawah dengan pandangan bahwa abu yang dihasilkan dari proses pembakaran akan menyuburkan tanah kembali. Sehingga lahan pertanian lebih cepat siap untuk ditanami tanaman baru.

Dengan melakukan pembakaran pada sisa hasil panen, efisiensi dalam pengelolaan tanah dapat meningkat, serta dapat mengurangi kebutuhan pestisida dan herbisida. Sehingga risiko penyakit, gulma, dan hama dapat dikendalikan.

Teknik pembakaran lahan pertanian menjadi bagian dari tradisi masyarakat Desa Limboro Rambu-Rambu, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat dengan sebutan “metunu”. Masyarakat Dayak Tobag di Kalimantan Barat juga membakar lahan dan menggunakan metode pertanian “gilir balik”. Demikian juga tradisi yang dilakukan masyarakat Sumatra Selatan. Masyarakat menyebut tradisi pembakaran lahan pertanian dengan sistem pertanian sonor, dan masih banyak tradisi pembakaran lahan pertanian lainnya.

Keterbatasan Sumber Daya

Adanya keterbatasan ekonomi, tenaga kerja, teknologi, dan pengetahuan petani mengenai pengelolaan pertanian yang berkelanjutan menyebabkan petani memilih teknik pembakaran lahan pertanian ini. Selain itu, petani juga memiliki rentang waktu yang terbatas antara waktu panen dan masa penanaman kembali.

Sektor pertanian menjadi sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Sayangnya mayoritas petani di Indonesia berusia diatas 45 tahun dengan pendidikan akhir sekolah dasar. Didukung dengan terus berkurangnya minat kaum muda terhadap dunia pertanian. Hal tersebut berpengaruh terhadap pengetahuan dan ketrampilan petani dalam mengelola pertanian.

Banyak petani yang belum mengenal inovasi mengenai pemanfaatan jerami atau residu pertanian, sehingga sisa hasil panen dianggap sebagai limbah pertanian dan tidak memiliki nilai ekonomis. Teknik pembakaran dinilai lebih efektif karena cepat, murah, dan praktis dibandingkan dengan membuka lahan tanpa membakarnya.

Menurut Ahmed dkk. (2015), praktik pembakaran lahan pertanian jauh lebih murah jika dibandingkan dengan praktik lainnya. Dengan teknik ini, petani memakan biaya 34% lebih murah dibandingkan harus mengelola dan membuang residu hasil panen.

Akan tetapi, tradisi ini dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kesehatan masyarakat ataupun bagi lingkungan. Sehingga, praktik pembakaran lahan pertanian ini perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah maupun masyarakat luas.

Pembakaran Lahan Pertanian di Kabupaten Malang. Sumber: Dok. Pribadi
Pembakaran Lahan Pertanian di Kabupaten Malang. Sumber: Dok. Pribadi

Dampak Pembakaran Lahan Pertanian

Polusi udara menjadi dampak yang langsung dirasakan masyarakat dari adanya pembakaran lahan pertanian. Pencemaran udara dapat mengganggu kesehatan masyarakat, seperti batuk, infeksi saluran pernapasan, sakit mata, hingga berakibat pada menurunnya kualitas air. Sementara itu, kabut asap yang menutupi atmosfer dapat mengganggu jarak pandang pengguna jalan dan berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Dari segi lingkungan, pembakaran yang dilakukan dalam jangka panjang dapat memperparah pemanasan global dan perubahan iklim. Kandungan senyawa organik yang tersimpan pada tanaman akan lepas ke atmosfer menjadi emisi gas rumah kaca. Emisi karbon ini yang menyebabkan suhu bumi semakin panas sampai dengan mempercepat perubahan iklim bumi.

Tommy dan Hidayat (2014) berpendapat bahwa sisa hasil pertanian, khususnya jerami, sebaiknya tidak dibakar karena menyebabkan pencemaran udara dan hilangnya unsur hara. Selanjutnya, dampak yang ditimbulkan dari pembakaran dalam jangka panjang adalah rusaknya kualitas tanah.

Pembakaran lahan dapat menimbulkan kenaikan suhu tanah, sehingga karakteristik tanah pada sawah dapat berubah. Hal tersebut berpengaruh terhadap perubahan keadaan lingkungan di dalam tanah yang mempengaruhi kehidupan mikroorganisme dan antropoda.

Menuju Pertanian Berkelanjutan

Pengelolaan sumber daya alam yang baik perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan, termasuk meminimalkan polusi udara, air, dan tanah. Melindungi tanah pertanian dari polusi dan membiarkan organisme tetap hidup dapat memecahkan berbagai permasalahan pertanian.

Petani seharusnya mulai menyadari dampak buruk dari pembakaran lahan pertanian dan mulai beralih kepada pertanian berkelanjutan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah dengan mulai menggunakan pupuk dan pestisida organik, serta memanfaatkan residu hasil pertanian sebagai produk dengan nilai ekonomis.

Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan untuk mewujudkan pertanian keberlanjutan di Indonesia. Selain itu, pengenalan teknologi dan inovasi yang lebih terjangkau dan cepat diperlukan masyarakat untuk menggantikan sistem pembakaran lahan pertanian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun