Mohon tunggu...
Tabina Almira Khairunnissa
Tabina Almira Khairunnissa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswi

Saya mahasiswi Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelusuri Kekerasan Berbasis Gender: Praktik Devadasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan di India

20 Desember 2023   11:46 Diperbarui: 20 Desember 2023   12:05 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kompasiana.com

Saat kita mendengar tentang kekerasan terhadap perempuan tentunya hal ini tidak asing di telinga kita bahkan lumrah untuk kita dengar, kekerasan terhadap perempuan ini selain dapat kita rasakan di sekeliling kita, juga menjadi isu yang global.Kekerasan terhadap perempuan menjadi isu global ini memerlukan perhatian serius sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. PBB mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai ancaman atau tindakan pemaksaan yang melibatkan penderitaan fisik, seksual, atau mental pada perempuan. Data WHO menunjukkan bahwa sekitar 30% perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual, dengan India sebagai salah satu negara yang masih menghadapi tantangan serius terkait kekerasan perempuan.

Salah satu negara di dunia yang sampai ini masih maraknya permasalahan terhadap kekerasan perempauan adalah India. Sampai saat ini Praktik sejarah kuno yang melegalkan perbudakan masih tetap eksis di India hingga hari ini, salah satunya dikenal sebagai "sistem devadasi" yang artinya pelayan dewa. Gadis-gadis sebelum mencapai usia pubertas dijadikan "istri" dewa-dewa di kuil desa mereka secara langsung tidak langsung mereka didedikasikan sebagai pekerja seksual atas nama agama (Elfitriani, 2015). Selama berabad-abad, sistem devadasi telah menjadi bagian integral dari kehidupan di India selatan. Aspek keagamaan telah digunakan untuk melegitimasi praktik menyediakan selir bagi orang-orang kaya. Para devadasi, yang mendapatkan pelatihan dalam seni musik dan tari klasik, biasanya tinggal di tempat-tempat yang nyaman yang disediakan oleh pelindung mereka, seringkali seorang lelaki terkemuka di desa Muncul terkait pertanyaan dalam permasalahan.  Apa upaya yang telah diambil oleh pemerintah India untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan terkait dengan praktik sejarah seperti "sistem devadasi"? yang nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam analisis pembahasan.

Teori Feminim Radikal 

Munculnya gerakan feminisme disebabkan oleh ketidaksetaraan yang dirasakan oleh perempuan dalam bentuk ketidaksetaraan gender antara pria dan wanita. Posisi pria dianggap lebih dominan dibandingkan dengan perempuan, dan gerakan feminisme bertujuan untuk menunjukkan bahwa perempuan, yang selama ini sering kali terpinggirkan oleh sistem patriarki, mengalami penindasan baik di ranah umum maupun pribadi. Adapun bentuk dari Teori Feminim Radikal yaitu Teori feminisme radikal merupakan aliran dalam gerakan feminisme yang mengidentifikasi akar ketidaksetaraan gender sebagai hasil dari struktur masyarakat yang patriarki. Teori ini fokus pada perlunya perubahan mendasar dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik guna mencapai kesetaraan gender yang lebih baik. Pada intinya, feminisme radikal menekankan bahwa patriarki, yang merujuk pada dominasi laki-laki, adalah sumber utama ketidaksetaraan gender dan bahwa perubahan kecil atau reformasi tidak cukup untuk mencapai tujuan kesetaraan.

Konsep revolusi sosial total menjadi pusat perhatian dalam teori ini, dengan advokasi untuk perubahan drastis dalam struktur masyarakat. Feminisme radikal menolak institusi-institusi tradisional, seperti pernikahan dan keluarga nuclear, yang dianggap sebagai alat pemeliharaan patriarki, serta mengkritik norma-norma gender yang diwariskan dan dijaga oleh masyarakat. Kesadaran feminis dianggap krusial dalam memahami dan mengatasi ketidaksetaraan gender, dengan dorongan kepada perempuan untuk menyadari penindasan yang mereka alami dan bersatu guna mencapai perubahan yang signifikan. Solidaritas perempuan dianggap kunci dalam melawan sistem patriarki, sementara budaya populer dan media menjadi objek kritik karena dianggap memperkuat stereotip gender dan peran tradisional. Pentingnya transformasi struktural ditekankan sebagai syarat mutlak untuk mencapai kesetaraan, bukan sekadar perubahan dalam hukum atau kebijakan. Dalam konteks ini, mendorong kemandirian perempuan di semua aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, dan sosial, menjadi salah satu tujuan utama gerakan feminisme radikal. Penting untuk dicatat bahwa feminisme radikal merupakan salah satu aliran dalam kerangka gerakan feminis yang lebih luas, yang mencakup berbagai pendekatan dan teori dalam menanggapi ketidaksetaraan gender dengan beragam cara.

Praktek Deviasi Sebagai Kekerasan Berbasis Gender 

Praktik devadasi telah berlangsung selama lebih dari dua ribu tahun. Menurut tradisi India kuno, sebelum mencapai usia pubertas, anak-anak perempuan akan "dinikahkan" dan dipersembahkan dalam pernikahan dengan dewa-dewa di kuil desa mereka. Beberapa kelompok masyarakat menilai sistem ini sebagai bentuk melegalkan prostitusi yang dilakukan oleh para pendeta dengan menggunakan pengaruh agama. Dalam pandangan mereka, perempuan yang terlibat di dalamnya dianggap sebagai budak nafsu. Sebagai devadasis, mereka diwajibkan untuk mengabdikan seluruh hidup mereka untuk melayani dan tidak diperbolehkan untuk menikah. Devadasis meyakini bahwa tindakan mereka merupakan bentuk pengabdian kepada para dewa (Elfitriani, 2015).

Analisis praktik devadasi terhadap kekerasan perempuan membuka pemahaman mendalam tentang dampak sistem ini terhadap hak-hak dan kesejahteraan perempuan. Kekerasan struktural muncul dalam bentuk tradisi yang melembagakan pemaksaan perempuan untuk mengabdikan diri pada pelayanan seksual demi agama. Tradisi ini dapat diartikan sebagai bentuk penindasan struktural yang mengakibatkan ketidaksetaraan hak perempuan. Kekerasan simbolik tercermin dalam penggunaan agama sebagai alat untuk melegitimasi kekerasan, di mana kekuatan simbolik agama digunakan untuk menekan perempuan dan membuat mereka percaya bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pengabdian yang benar-benar diperlukan. Kekerasan budaya menjadi perhatian dalam analisis ini, dengan norma dan nilai patriarki memandang perempuan sebagai objek pengabdian seksual, tanpa memberikan mereka pilihan untuk menikah atau hidup bebas. Kekerasan interpersonal hadir dalam bentuk pelecehan seksual dan pengambilalihan hak reproduksi devadasis. Mereka mengalami kekerasan interpersonal melalui pelecehan seksual dalam konteks keagamaan, serta pengambilalihan hak untuk menikah, menciptakan situasi kontrol terhadap kehidupan pribadi mereka.

Pemerintah India berusaha menghentikan sistem kekerasan ini melalui mengimplementasikan program rehabilitasi untuk mantan devadasis. Program ini bertujuan memberikan dukungan sosial, pendidikan, dan pelatihan keterampilan agar mereka dapat beralih ke pekerjaan lain dan hidup secara mandiri. Selanjutnya, pembentukan undang-undang domestik yang melarang praktik devadasi sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Undang-undang tersebut juga menyertakan sanksi hukuman bagi pelanggar, dengan harapan bahwa hukuman ini akan memberikan efek jera dan mencegah kelanjutan praktik devadasi.Pemerintah pusat India memandang sistem devadasi sebagai isu kepolisian dan ketertiban umum. Undang-undang tersebut mengenakan sanksi kepada siapa pun yang terlibat, berpartisipasi, atau bersekongkol dalam pelaksanaan dedikasi Devadasi. Namun, pemerintah India tidak berhasil mempertimbangkan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan agama yang mendukung kelangsungan sistem Devadasi. Sistem ini terus berlangsung karena mendapat dukungan dari aspek agama, yang memungkinkan terjadinya eksploitasi ekonomi (Bej, 2018).

Analisis Kekerasan Devidasi India Terhadap Teori Feminisme Radikal 

Analisis kasus praktik devadasi di India menggunakan teori feminis radikal membuka pemahaman mendalam tentang ketidaksetaraan gender dan dampak struktural serta budaya yang melembagakannya. Teori ini menyoroti patriarki sebagai akar utama masalah, di mana pemaksaan perempuan untuk mengabdikan diri pada pelayanan seksual demi agama dianggap sebagai manifestasi dominasi laki-laki. Pandangan feminis radikal mendorong revolusi sosial total untuk menggulingkan struktur patriarki yang melegitimasi praktik devadasi, menganggap perubahan drastis dalam norma sosial, ekonomi, dan politik sebagai kunci kesetaraan gender. Teori feminis radikal menolak institusi tradisional, termasuk praktik devadasi, sebagai bentuk penindasan struktural. Norma patriarki yang memandang perempuan sebagai objek pengabdian seksual dianggap sebagai bagian dari sistem yang perlu diubah. Penggunaan agama sebagai alat untuk melegitimasi kekerasan juga menjadi fokus kritik, di mana simbolik agama dieksploitasi untuk tujuan kontrol dan dominasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun