Kali ini saya ingin bercerita tentang daun.
Kenapa tentang daun? Karena hanya saat musim gugur seperti sekarang, saya bisa menikmati pemandangan daun warna merah, kuning, oranye, coklat, yang indahnya melebihi hamparan permadani terindah di dunia.
Keindahan daun saat musim gugur tidak hanya menyihir orang biasa seperti saya.
Para penyair Jepang, dan tentunya juga dari berbagai belahan dunia, banyak menulis karya sastra terutama puisi, tentang betapa indahnya suasana musim gugur.
Indonesia memang negara tropis. Sehingga kita tidak bisa menikmati keindahan dedaunan saat musim gugur.
Akan tetapi, para penyair kita ternyata tertarik juga pada keindahan musim gugur lho.Â
Misalnya Chairil Anwar, pernah menerjemahkan puisi "Musim Gugur", karya Rainer Maria Rilke.
Begini cuplikannya.
yang kini tidak berumah, tidakkan menegak tiang
yang kini sendiri, 'kan lama tinggal sendiri,
'kan berjaga, membaca, menyurat panjang sekali,
dan akan pulang balik melalu gang
berjalan gelisah, jika daunan mengalun pergi.
Daun tidak hanya dinikmati warnanya, namun bisa jadi refleksi atas siklus kehidupan manusia.
Pucuk daun berwarna hijau muda saat tumbuh di musim semi, kemudian berubah menjadi hijau tua pada musim panas.
Seperti juga manusia, lahir sebagai bayi, kemudian tumbuh menjadi remaja dan dewasa.
Seiring bergantinya waktu ke musim gugur, daun pun berubah warna menjadi kuning, kemudian merah.
Akhirnya warna menjadi kecoklatan, dan daun menjadi kering. Kemudian daun jatuh, hilang terbawa angin maupun ditelan bumi, bersamaan dengan berjalannya waktu.
Begitu juga manusia. Dengan bertambahnya umur, maka orang menjadi tua dan lemah. Dalam perjalanan hidup, kadang dia mengalami kegelisanan. Akhirnya, pada suatu waktu manusia pergi menjadi debu.
Refleksi hidup ini juga bisa Anda simak pada cuplikan puisi.
Sebelum menulis lebih jauh, saya ingin bercerita sedikit tentang proses pergantian warna daun.
Elemen warna (pigmen) utama pada daun adalah krolofil dan karotenoid. Krorofil warnanya hijau, dan karotenoid berwarna kuning.
Pada musim semi dan panas, komponen krolofil berwarna hijau pekat lebih dominan terlihat. Saat seperti ini, pigmen karotenoid "tertutup" oleh komponen krolofil.
Akibatnya kita melihat daun hanya berwarna hijau, seperti juga Anda biasa lihat pada dedaunan pohon di Indonesia.
Saat musim gugur, cuaca berangsur menjadi dingin. Akibatnya, pergerakan air dan bahan mineral yang menjadi "makanan" pohon, menjadi lambat.
Pada waktu bersamaan, terbentuk lapisan antara daun dan batang pohon. Dimana semakin dingin suhu udara sekitar, lapisan yang terbentuk menjadi semakin tebal.
Ketebalan lapisan akhirnya menghambat asupan energi. Aliran zat makanan tidak bisa mengalir secara sempurna ke daun, sehingga pada satu sisi, komponen klorofil berwarna hijau, terurai.
Pada sisi lain, pigmen karotenoid berwarna kuning lebih terlihat karena krolofil yang "menghalanginya" berangsur hilang.
Proses terus berjalan, dan dengan berjalannya waktu, unsur gula pada daun berubah menjadi antosianin berwarna merah.Â
Karena warna merah lebih pekat, maka lama kelamaan karotenoid berwarna kuning pun akhirnya "tenggelam", kemudian hilang.
Begitulah sedikit mekanisme urutan perubahan warna daun, dari hijau, menjadi kuning lalu berwarna merah. Klimaksnya, daun berubah warna menjadi kecoklatan, kering, Â dan akhirnya jatuh dalam pelukan bumi.
Kalau dipikir sih, sebenarnya pohon (dan makhluk hidup lain) lebih sustainable dibandingkan manusia. Lho, kenapa bisa begitu?
Udara musim dingin biasanya kering. Artinya, kandungan air di udara jumlahnya sedikit.
Untuk mengatasi kurangnya air, maka pohon merontokkan daun. Dengan begitu maka pohon mampu menghemat konsumsi air, sekaligus mempertahankan hidup.
Bukankah ini cara yang brilian? Apalagi, dengan begitu kita dapat menikmati keindahannya.
Pohon melakukan sustainability secara cemerlang dan elegan.Â
Tidak seperti manusia, gembar-gembor sustainability (nama kerennya Sustainable Development Goals), sementara pohon sudah melakukannya jauh sebelum peradaban manusia muncul di muka bumi!
Sebenarnya selain pohon, banyak makhluk hidup lain bertahan hidup (sustainable) dengan berbagai cara, pada saat suhu udara dingin. Anda pasti tahu dengan istilah hibernasi, bukan?
Ironisnya, ini berlawanan 180 derajat dengan manusia.
Kita, terutama orang yang hidup di daerah dengan 4 musim, masih tetap (harus) bekerja, bahkan lebih giat pada saat suhu udara dingin.
Sialnya, musim dingin bertepatan dengan pergantian tahun kalender, dan juga pergantian tahun anggaran bulan Maret/April di Jepang. Artinya, musim dingin bertepatan dengan masa-masa sibuk di kantor.
Bisa dibayangkan betapa tidak sustainable-nya manusia. Kalah dengan hewan dan tanaman dong.
Terkadang saya tersenyum sendiri jika memikirkan hal ini.Â
Ketika musim gugur dan musim dingin, saya harus tetap beraktivitas melawan dinginnya suhu udara yang merasuk sampai ke tulang. Misalnya ketika berjalan di luar, atau saat menunggu kereta api diperjalanan menuju kantor, maupun pulang ke rumah.
Ada benarnya bahwa terkadang manusia harus banyak belajar pada alam. Tujuannya untuk merenungkan dan mengingat kembali hal-hal yang adakalanya terlupa, karena beragam alasan duniawi.
Selain untuk introspeksi, melalui pembelajaran pada alam terutama saat musim gugur, kita bisa mengagumi keagungan Sang Pencipta. Tentu, sambil menikmati keindahan dedaunan.
Saya yakin, Dia menciptakan keindahan ini bukan sekadar untuk menghibur kita. Akan tetapi, juga membuka mata kita, agar sejenak istirahat dan introspeksi.
Terutama sebagai pengingat, bahwa ada saatnya semua keindahan akan berakhir nanti.
Tahun ini sepertinya perubahan warna daun tidak begitu menarik dinikmati, dibanding tahun sebelumnya.
Di sekitar rumah, bahkan banyak daun yang sudah kering dan jatuh. Padahal ada sebagian daun masih berwarna hijau, dan beberapa sudah mulai berwarna kuning dan merah. Pokoknya, warna daun tidak merata.
Keadaan dan keindahan warna daun yang bagus dan merata, dipengaruhi beberapa hal.
Perbedaan suhu siang dan malam yang ekstrim merupakan salah satu syarat agar daun bisa serentak berubah warna, sehingga menarik untuk dinikmati.
Musim gugur tahun ini, suhu udara sudah turun (baca:dingin) sejak awal bulan November. Akibatnya tidak ada perbedaan drastis antara suhu udara siang dan malam hari.
Cuaca juga tidak bersahabat, dimana mulai bulan Oktober langit kebanyakan berawan.
Salah satu syarat untuk keindahan warna daun adalah banyaknya sinar matahari di siang hari. Dengan kata lain, cuaca cerah menjadi faktor penting.
Keindahan daun, amat tergantung pada dua hal yang sudah saya tuliskan. Yaitu suhu, dan cuaca.
Kita semua juga tahu bahwa dua hal itu, tidak bisa diatur karena diluar kemampuan manusia.Â
Tahun ini saya tidak bisa menikmati keindahan musim gugur di lingkungan sekitar dengan sempurna. Akan tetapi, keadaan ini tidak membuat saya berputus asa.Â
Sebaliknya, malah menjadi pemicu semangat, dan juga harapan agar bisa melihat suasana musim gugur lebih indah tahun berikutnya.
Kehidupan dan alam, adalah dua bagian yang tidak dapat dipisahkan. Pelajaran tentang kehidupan, seperti sudah saya bahas sebelumnya, dapat kita peroleh dari alam melalui sehelai daun.
Saya ingin menutup tulisan dengan haiku yang dibuat oleh Masaoka Siki. Dia membuatnya untuk Natsume Soseki.Â
Sebagai catatan, keduanya adalah sastrawan dan penulis yang namanya beken di Jepang. Mungkin Anda mengenal salah satu atau keduanya?
yuku wareni
todomaru nareni
aki futatsu
Inti dari haiku tersebut, kehidupan dua orang pasti berbeda.Â
Ini dilambangkan pada larik akhir haiku dengan dua (bahasa Jepangnya, futatsu) pengalaman berbeda, ketika menikmati musim gugur (bahasa Jepangnya, aki).
Saya sependapat dengan Masaoka. Kehidupan tiap-tiap orang, tentu berbeda satu dengan lainnya.
Manusia adakalanya melihat kehidupan orang lain lebih baik. Seperti juga saat melihat pemandangan musim gugur dengan warna-warni dedaunan, bisa terlihat indah di suatu tempat, namun tidak di tempat lain. Indah pada tahun lalu, namun tidak pada tahun ini.
Akan tetapi, keindahan bukan hal terpenting.
Jika tahun ini kita tidak dapat melihat indahnya dedaunan, maka orang punya harapan dan dapat menjadi motivasi dalam melakukan kegiatan selanjutnya.
Terutama bagi saya, agar bisa bekerja dengan lebih giat karena ada harapan, siapa tahu tahun depan punya peluang melihat pemandangan lebih indah?
Pemandangan musim gugur yang biasa saja, justru jadi kesempatan untuk sekadar berhenti sejenak.
Saat berhenti, kita bisa evaluasi tentang segala macam hal, aktivitas yang dilakukan selama tahun ini. Tujuannya, agar bisa menyongsong tahun mendatang dengan lebih optimis.
Musim gugur dalam abad kuno dilambangkan dengan warna putih. Tepatlah jika saya mengatakan, musim gugur adalah saat pas bagi kemenungan dan untuk reset.
Hasil refleksi, dapat kita gunakan untuk menggurat segala gagasan.
Anggap saja, kita mulai menulis, dengan tinta diatas kertas yang masih putih, menuju harapan baru.
Selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H