Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Diplomasi Perut

4 November 2023   08:00 Diperbarui: 5 November 2023   07:33 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diplomasi Perut (diolah dari DALL-E 3)

Saya tidak begitu paham apakah kata diplomasi cocok digunakan untuk acara makan siang Presiden Jokowi dengan para capres Senin lalu. Berhubung menulis di kompasiana, dan topik pilihan menggunakan kata diplomasi, maka saya ikutan saja.

Akan tetapi, saya tidak menggunakan gabungan kata diplomasi dengan makan siang, maupun meja makan. Karena bagi saya, bukan makanan atau meja makannya yang punya arti disitu.

Kata perut saya pilih untuk menggantikan karena dua alasan. 

Pertama, kata ini lebih menarik dan “seksi”. Seperti kata tari perut, ya kan? 

Harap diingat, diplomasi perut disini jangan diartikan sebagai, saingan siapa yang punya perut besar ya. Ulasannya mengapa saya memilih perut, bisa Anda simak dibawah.

Kedua, perut menjadi pilihan karena banyak istilah di Jepang menggunakan kata ini, ditambah menurut pertimbangan pribadi lebih pas digunakan. Saya akan memberikan contoh dari peristiwa sejarah, dan dari idiom.

Baiklah, langsung ke ulasan. Pada peristiwa sejarah Jepang, diplomasi perut pernah dilakukan. Yaitu pada era sengoku jidai, atau masa para daimyo (penguasa daerah) berebut daerah kekuasaan.

Uesugi Kensin, seorang daimyo daerah Echigo-no-kuni (sekarang bernama Prefektur Niigata) berperang melawan Takeda Shingen, seorang daimyo penguasa daerah Kai-no-kuni (Prefektur Niigata) dan Shina-no-kuni (Prefektur Nagano).

Daerah kekuasaan Takeda adalah nairiku, atau daerah tengah-tengah jauh dari laut. Karena laut adalah jalur penting untuk pasokan barang saat itu, maka perang berkepanjangan membuat daerah kekuasaan Takeda Shingen kekurangan stok barang dan makanan, terutama garam.

Kita tahu bahwa masakan Jepang membutuhkan garam sebagai bahan dasar. Sehingga ketiadaan stok garam membuat mereka panik.

Seperti juga makanan Indonesia yang membutuhkan banyak rempah-rempah, tanpa garam berarti orang Jepang tidak bisa menikmati makanan. 

Kalau tidak menikmati, orang tidak cukup makan. Kurang makan berarti orang tidak mampu berperang dengan gigih, bukan.

Nah saat itulah, Uesugi Kenshin memainkan diplomasi perut. Mendengar Takeda kekurangan stok garam, maka dia tidak memblokir arus masuk makanan. Tujuannya, agar lawannya (terutama pasukan) bisa cukup makan sehingga mendapatkan banyak energi.

Bahkan dikatakan Uesugi mengirim garam kepada musuhnya! Dengan diplomasi perut, dia ingin peperangan berjalan fair, tanpa kecurangan.

Mengenai idiom yang berhubungan dengan perut, salah satu contohnya adalah hara-guroi. Arti harfiahnya, perut hitam.

Ungkapan biasanya ditujukan pada orang licik. Terutama pada orang dengan semua kata yang diucapkan, berbeda 180 derajat dengan perbuatannya.

Orang yang dikategorikan sebagai hara-guroi, selalu menghitung segala perbuatannya dengan untung dan rugi. Jika memungkinkan, semua diatur sedemikian rupa sehingga banyak menguntungkan dirinya.

Dikatakan juga, orang yang mempunyai hara-guroi biasanya mempunyai kebanggaan diri tinggi.

Kita tahu, samurai mempunyai kebanggaan diri tinggi. Oleh karena itu, masih berhubungan dengan perut, untuk membuktikan kebersihan diri atau iktikad, membelah perut saat melakukan bunuh diri (istilahnya jigai, kappuku, seppuku, dan lainnya) lazim dilakukan.

Mereka melakukan itu sebagai bentuk pembuktian, dan untuk menunjukkan bahwa isi perutnya tidak hitam.

Orang Jepang juga punya idiom hara-hachibunme. Arti harfiahnya, perut 80 persen penuh. Idiom digunakan sebagai anjuran kepada orang, bahwa makan tidak boleh sampai full kenyang 100 persen.

Hara-hachibunme sudah terbukti secara medis mampu mengerem penuaan. Saya tidak akan menjelaskan mekanismenya secara lengkap.

Singkatnya, ketika kita makan, maka mitochondria aktif mengubah bahan makanan menjadi energi. Proses ini memakan banyak konsumsi oksigen di dalam tubuh. 

Makin aktif mitochondria mengakibatkan konsumsi oksigen naik. Sialnya, keadaan ini dikatakan bisa mengakselerasi penuaan sel.

Dengan menahan makan tidak sampai full kenyang, maka aktifitas mitochondria dapat menurun. Sebagai akibat, proses penuaan sel bisa diperlambat.

Berbicara tentang perut memang mengasyikkan, karena kita bisa membahas banyak hal yang berhubungan dengan bagian tubuh itu.

Bebarapa waktu lalu ketika demo banyak terjadi, kita tahu ada istilah pasukan nasi bungkus. Entah itu nasi bungkus dengan karet satu (isinya sayur saja), atau karet dua yang katanya berisi tambahan daging. Nasi bungkus kan berhubungan dengan perut toh?

Orang rela melakukan apa pun agar perut bisa kenyang. Akan tetapi, saya yakin diplomasi perut yang dilakukan pada hari Senin lalu itu bukan untuk membuat perut kenyang.

Kenyang (secara jasmani) atau tidak, tentu bukan masalah lagi bagi mereka. Kelaparan juga pastinya tidak ada di kamus.

Entah kalau masalah “kenyang” lain, misalnya saja kedudukan atau kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa partai yang berkuasa pun biasa bagi-bagi “kue” (baca : jabatan menteri atau komisaris BUMN), mungkin sebagai upaya agar perut “kenyang”.

Masyarakat bisa membuat asumsi beragam atas acara makan siang Jokowi dengan para capres. Jika ada yang komen kenapa cawapres nggak diundang, saya kira mungkin karena tidak ada meja yang agak besar.

Anda lihat saja foto makan siang itu. Kalau meja sebesar itu ditambah tiga orang lagi, bukan makan siang lagi namanya. Akan tetapi, sikut-sikutan dong jadinya, karena pasti sempit.

Sebelum mengakhiri tulisan, saya ingin menambahkan catatan tentang mengapa ada idiom hara-guroi. Istilah ini katanya dibuat berdasarkan ikan sayori (nama Inggrisnya, halfbeak).

Ikan sayori tampak cantik dari luar, karena mempunyai badan cerah berkilat. Akan tetapi, saat kita membuka perutnya, maka ada lapisan hitam membungkus bagian dalam perut. Dari sinilah idiom hara-guroi itu lahir.

Meminjam penjelasan sayori lagi alias berbicara tentang ikan, saat kita masuk kompleks perumahan padat dan mencium bau ikan goreng, sulit menebak dapur (rumah) mana yang menggoreng ikan.

Dapur orang lain memang susah untuk ditebak dari luar, atau oleh orang luar. Begitu juga "Dapur" saat diplomasi perut hari Senin itu, susah ditebak apa pembicaraannya, apalagi tujuan sebenarnya.

Saya tidak akan terpengaruh atas diplomasi apa pun, termasuk diplomasi perut. Kecuali tari perut ya, karena mungkin (masih mungkin lho) bisa bikin lieur.

Sebagai warga negara Indonesia, meskipun jauh dari tanah air, saya pasti berpartisipasi saat Pilpres 2024 nanti.

Hanya satu yang pasti saya lakukan, yaitu menentukan pilihan, menggunakan nalar dan logika.

Alasannya simpel. Saya, tidak ingin negara, jatuh ke tangan yang salah.

Selamat berakhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun