Jika saya selalu mengatakan bahwa musim gugur itu romantis seperti orang sudah lama pacaran, maka musim semi ibarat euforia bertemu kekasih baru.
Memang segala sesuatu yang baru di Jepang, dimulai saat musim semi seperti sekarang. Masuk kelas/sekolah baru, kantor baru, pekerjaan/jabatan baru, pindah ke rumah baru, gaji baru, dan daftar baru-baru yang lain.
Sehingga tidak berlebihan kalau saya mengatakan, musim semi adalah euforia bertemu kekasih baru.
Ditambah pemandangan pohon sakura pada musim semi, menjadikan kita seperti kena sihir sehingga terkesima.
Bagi Anda yang belum pernah melihat langsung, mungkin pengalaman atau lebih tepatnya sensasi itu bisa dirasakan ketika melihat foto, anime, film maupun drama Jepang, yang menampilkan pemandangan sakura bermekaran.
Sakura menjadi identik dengan Jepang sebab status dan kedudukannya sebagai milik umum. Dengan kata lain, bunga sakura memang milik rakyat.
Berbeda dengan bunga kiku, status dan kedudukannya adalah lambang dari kekaisaran Jepang.
Kalau kita kilas balik sejarah sejenak, ume merupakan bunga "rakyat" terkenal sebelum era Heian (sekitar tahun 782-1185). Hampir semua waka (puisi pendek Jepang) yang ditulis dimasa itu bertema bunga ume.
Sebagai catatan, bunga ume mekar bulan Februari, bersamaan dengan pergantian dari musim dingin ke musim semi. Setelah musim ume selesai, mulailah bunga sakura bermekaran.
Akan tetapi pada masa Heian dan sesudahnya, keadaan berbalik. Hampir sebagian besar waka yang ditulis, bertemakan bunga sakura.
Dalam hubungannya dengan sakura, ada satu waka yang amat terkenal pada era Edo. Sehingga sampai saat ini, berbagai macam nama produk menggunakan nama berasal dari kata yang digunakan pada waka tersebut.
Bahkan, pasukan berani mati Jepang (tokkoutai) menggunakannya sebagai nama peleton dan kapal laut ketika Perang Dunia ke-2.
shikisimano/yamato-gokorowo/hitotowaba/asahininiou/yamazakura-bana
Begitulah bunyi waka karangan Motoori Norinaga, seorang ahli bahasa pada era Edo. Terjemahan bebasnya, perasaan hati sang pengarang sebagai orang Jepang, dapat digambarkan seperti melihat keindahan bunga sakura yang diterangi oleh sinar mentari pagi.
Empat kata dari waka tersebut, yaitu "shikisima", "yamato", "asahi", dan "sakura", merupakan kata-kata yang digemari masyarakat Jepang sampai sekarang.
Jepang pada bulan April sampai Mei mendatang, merupakan "surga" sakura. Kemanapun Anda pergi, pasti bisa menemukan paling tidak satu pohon sakura, entah itu di pinggir jalan, di sekolahan, bahkan di pekarangan rumah orang.
Bunga sakura memang identik dengan filosofi Jepang, yaitu keindahan pemandangan saat mekar, kemudian dengan cepat bunga layu berguguran.
Sebenarnya ada satu alasan mengapa pemandangan bunga sakura hanya bisa bertahan paling lama 10 hari.
Somei yoshino, jenis sakura yang banyak ditanam saat ini, memang jenis sakura yang mudah rontok. Bunga ini merupakah hasil cangkokan antara sakura jenis edohigan dan ooshima.
Sebuah desa bernama Somei (lokasinya di daerah yang sekarang bernama Komagome di Tokyo) berhasil mengembangkan sakura cangkokan ini pada era Meiji (tahun 1900-an).
Mulai era ini juga, hasil cangkokan disebarkan ke seantero Jepang. Sehingga sekarang, saat musim sakura tiba, hampir seluruh sakura akan berkembang kemudian rontok bersamaan dalam waktu singkat. Wajar saja karena kebanyakan sakura berasal dari induk cangkokan sama.
Dengan demikian, filosofi keindahan bunga sakura bermekaran dan cepat rontok bukan sesuatu yang secara historis telah lama ada. Kalau kita hitung dari zaman Meiji saat "lahirnya" somei yoshino, filosofi itu baru berusia sekitar 120 tahun.
Sebelum sakura jenis somei yoshino menyebar, pada era sebelum Meiji contohnya jika kita kembali ke era Edo bahkan Heian, bunga sakura relatif lebih lama bisa dinikmati.
Alasannya, ada banyak jenis sakura pada saat itu yang tahan lebih lama tanpa rontok, ketika misalnya ada angin kencang maupun hujan.
Di area Kansai (Jepang barat), kita menemukan yama-zakura. Di daerah Kanto (Jepang timur), ada sakura jenis ooshima-zakura. Kemudian di daerah Tokohu (Jepang utara), orang dapat menikmati sakura jenis edohigan.
Sakura pada zaman itu bisa dinikmati lebih lama karena ada lebih banyak jenis sakura. Bukan homogen jenis somei yoshino saja.
Saya pernah mengunjungi beberapa tempat yang terkenal dengan sakuranya, yaitu Jindai Sakura dan Wanizuka. Kedua tempat ini berada di prefektur Yamanashi.
Pengalaman menakjubkan adalah saat berada di lokasi Jindai Sakura, kita dapat melihat satu pohon sakura yang usianya diperkirakan 1800 sampai 2000 tahun! Meskipun pohon sudah patah dan rapuh di sana-sini, masih bisa berbunga seperti pohon sakura lain.
Berada di sana, saya dapat menyaksikan, terutama merasakan langsung kekuatan dan energi dari alam. Pohon yang sudah berusia ribuan tahun pun, masih punya kekuatan untuk berbunga.
Di Wanizuka, kita bisa melihat satu pohon sakura besar berusia 300 tahun. Berjalan di bawah pohon sakura seperti ini, selain pikiran melayang membayangkan bagaimana sang pohon menjadi saksi bisu beragam peristiwa sejarah, hati tentu dapat menjadi riang.
Mengapa saya merasa riang? Alasannya, sekali lagi saya tuliskan bahwa euforia melihat sakura itu seperti pengalaman cinta pertama.
Ada rasa suka cita yang amat dalam, walaupun tidak bertahan lama. Pendeknya umur bunga sakura itu seperti cinta pertama, terutama ketika SMA.
Saya ingin menutup tulisan dengan cuplikan syair lagu dari Ketsumeishi, grup pop Jepang yang menyanyikan lagu "Sakura".
Berada di bawah pohon
Ketika bunga sakura gugur
Angin serasa membawa kembali
Kenangan tentang dirimu
Dan semerbak rambutmu
Selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H