Seandainya ditanya kenal kompasiana dari mana, maka ada rasa bingung menjawabnya. Saat dilanda kebingungan ini, saya bahkan tidak bisa memegang daun pintu.
Alasannya, semua pintu kecuali pintu masuk apartemen tempat tinggal, adalah pintu geser. Boleh jadi itu menjadi alasan, mengapa di Jepang tidak ada ucapan "kalo bingung pegangan daon pintu aje noh!".
Akan tetapi kalau masih penasaran juga, jawaban singkat yang bisa diberikan sekaligus agar tidak usah bersusah payah mengingat-ingat kembali adalah, saya lupa bagaimana mulanya ikut di blog keroyokan ini.
Lebih tepat lagi jika bergabungnya di kompasiana, saya analogikan seperti jelangkung. Datang tidak diundang, nanti jika pergi pasti tidak akan diantar. Lagi pula bagaimana mau diantar, Gojek tidak beroperasi di sini.
Tidak ada alasan lain juga karena saya bukan penulis. Di kompasiana saya tidak menganggap diri penulis. Hobi pun bukan menulis.Â
Disini saya hanya bercerita. Tentu semua cerita itu saya tulis. Sehingga boleh lah dikatakan saya menulis di kompasiana.
Saya tidak memakai panduan apa pun untuk menuliskan cerita. Kalau boleh terus terang sedikit, saya menggunakan gaya koboi untuk menulis. Karena harga kuda mahal, sebagai koboi maka keyboard saya gunakan sebagai penggantinya.
Boleh dibilang saya menulis angin-anginan. Mungkin karena saya sering masuk angin juga, terutama saat suhu udara sudah mulai agak dingin seperti sekarang ini.
Sebagai penulis di kompasiana hanya mengandalkan jurus koboi angin (alasannya sudah saya ceritakan diatas), maka agak sulit untuk berpendapat tentang perjalanan kompasiana yang sudah memasuki tahun ke-14.
Sebenarnya saya sudah bergabung di kompasiana mulai 1 Juli 2017. Jumlah tulisan total dari dua akun hanya 225 artikel. Tentu jumlah ini tergolong sedikit, jika dibandingkan dengan anggota yang telah bergabung dengan jangka waktu sama atau malah lebih pendek.
Oh ya, saya punya dua akun karena tidak bisa login di akun pertama sampai sekarang, meskipun sudah menghubungi kompasiana untuk meminta bantuan. Sehingga dengan terpaksa harus membuat akun baru, yang masih saya pakai saat ini.
Meskipun hanya seorang penulis koboi angin, namun boleh berpendapat sedikit kan?
Jika ditilik dari perspektif perjalanan manusia, usia 14 tahun kompasiana dapat dikatakan sudah dewasa. Anak usia 14 tahun sudah sekolah di kelas 9 atau kelas 10.
Apalagi pada zaman kiwari, umur 6 tahun saja (bahkan umur lebih muda lagi) sudah tidak asing lagi dengan teknologi. Misalnya sudah mahir memainkan gawai, meskipun sebatas mendengar lagu, melihat video atau bermain gim.
Ditengah persaingan ketat pada era digital, kemampuan bertahan kompasiana memasuki usia yang ke-14 patut diacungi jempol.
Inovasi pun banyak dilakukan. Mulai dari penambahan kategori konten, mengakomodasi kaum muda terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa, sampai dengan berbagai macam kerjasama dengan pihak ketiga untuk menyelenggarakan kegiatan termasuk lomba, dan lainnya.
Berbicara tentang inovasi, saya teringat bahwa tanggal 4 Oktober yang lalu (sekitar dua minggu sebelum HUT kompasiana), Komite Nobel menganugerahkan hadiah nobel bidang Fisika kepada tiga orang ilmuwan dari Perancis, Amerika dan Austria, atas jasanya dalam mengembangkan teknologi kuantum.
Mereka berjasa dalam meletakkan dasar-dasar untuk mengamati dan membuktikan bahwa fenomena quantum entanglement, yang merupakan salah satu unsur penting dalam Kuantum Mekanika, itu ada.
Makanan apa gerangan quantum entanglement? Penjelasan rincinya mungkin agak ruwet. Sehingga saya ingin menggambarkan dengan analogi.
Misalnya Anda punya pacar, namun LDR. Anda tinggal di Indonesia, sementara pacar tinggal di New York. Anda cinta mati kepadanya, dan secara batin sudah terhubung satu sama lain.
Sehingga jika Anda merasa lapar, entah bagaimana caranya, pacar yang mungkin sedang mengunjungi Empire State Building juga merasa lapar. Jika Anda merasa kedinginan, pacar yang mungkin sedang duduk syantik di Central Park juga merasa kedinginan.
Anda dan pacar, meskipun berada di dua lokasi berbeda, ternyata terhubung (berhubungan). Jika sesuatu menimpa Anda, maka pacar juga akan terkena imbasnya.
Nah, saya merasa quantum entanglement ini juga terjadi di kompasiana. Artinya bagaimana?
Kita tahu bahwa anggota kompasiana tersebar di beberapa daerah Indonesia dan di luar negeri. Pancaran energi positif dari masing-masing anggota, yaitu dengan menghasilkan berbagai macam tulisan, ternyata bisa dirasakan oleh orang lain.Â
Sehingga masing-masing orang yang membacanya mendapat (terpengaruh) energi positif itu, kemudian berusaha untuk menulis juga.
Padahal masing-masing kompasianer itu saudara bukan, tetangga juga bukan (eh, mungkin ada yang tetanggaan ya?). Akan tetapi, kompasianer bisa terhubung (padahal lokasinya saling berjauhan) dan bersama-sama menghasilkan energi positif.
Dengan alasan tersebut, maka saya menamai fenomena ini sebagai "Kompasianum Entanglement".
Baiklah setelah menuliskan apresiasi, boleh saya memberikan kritik tanpa cabai kan?
Saya lihat di pengumuman acara ulang tahun kompasiana, ada tagar menggunakan kata pride. Kata ini memang sedang tren di berbagai belahan dunia. Saya tidak perlu menjelaskan apa saja yang menggunakan kata pride, karena Anda pasti pernah melihat atau membacanya.
Menurut hemat saya, pride itu bukan untuk ditunjukkan ke luar (orang lain), apalagi dengan kata-kata.  Akan tetapi, pride adalah suatu usaha yang dilakukan dengan perbuatan secara sungguh-sungguh, dan biarkan orang lain menilai perbuatan tersebut.
Misalnya kita mau pride atas Indonesia, ya caranya dengan menggunakan produk Indonesia, atau berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bukan dengan berkoar-koar pride dan menggunakan hashtag.
Penggunaan hashtag menjadi tren karena sekarang semua orang dapat menyebarkan berita, terlepas dari apapun isi dan bentuknya. Mereka (si pembuat berita itu) hanya berharap orang lain (pembaca) tertarik hanya pada kalimatnya. Karena jika tidak memakai hashtag, maka apa yang disampaikannya bisa tenggelam (baca: tersingkir) oleh tsunami informasi.
Penggunakan hashtag ini menurut saya mencerminkan ketidakpercayaan diri. Tariki-hongan (bergantung pada kekuatan lain, dalam hal ini hashtag) kalau pakai istilah bahasa Jepang.
Setelah sedikit kritik (sedikit saja ya biar nggak sakit perut), sekarang saya mau usul.Â
Apakah ada rencana kompasiana untuk membuat versi metaverse dari blog keroyokan kita ini? Siapa tahu dengan cara itu, ada lebih banyak pembaca, terutama orang muda yang tertarik untuk mampir. Syukur jika mereka bisa ikut bergabung dan membagikan tulisan disini.
Usulan itu berdasarkan contoh kasus di Jepang. Sekolah versi metaverse di Saitama, ternyata bisa menarik anak-anak yang punya masalah pergi ke sekolah di dunia nyata. Metaverse dapat memberikan stimulan efek positif bagi anak-anak, sehingga mau mengikuti pendidikan yang diperlukan untuk masa depan mereka.
Blog keroyokan seperti kompasiana dibuat dalam versi metaverse mungkin terasa agak berlebihan. Boleh dibilang itu diluar kebiasaan yang berlaku.
Tentu saya tidak menafikan pendapat tersebut. Jika saya kembali pada masalah mekanika kuantum lagi, seorang Einstein pun berpendapat bahwa teori kuantum merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima dengan akal sehat. Kuantum itu suatu hal aneh, ungkap penggagas teori relativitas itu.
Akan tetapi, dibandingkan dengan menggukanan slogan (hashtag) pasaran yang tidak ada (tidak terasa) bentuk nyatanya, membuat suatu hal yang belum dilakukan oleh platform lain di Indonesia (dalam hal ini kompasiana versi metaverse), merupakan hal yang layak dicoba.
Bukankah begitu kompasianer yang budiman?
Selamat ulang tahun ke-14 kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H