Suatu sore di warteg.
Puutaro: "Sialan kemaren gue kagak bisa aktivasi kartu perdana."
Mat Pengki: "Emangnye kenape?"
Puutaro: "Pas gue proses pakek SMS, NIK udah kagak bisa dipakek. Padahal gue belon pernah daptar. Ini pertama kali gue make hape. Pasti deh, ade orang jail nyang makek data gue."
Suatu pagi di lapangan futsal.
Puutaro: "Kenape lo blingsatan kayak begono?"
Mat Pengki: "Iye, gue mo kirim WA ke bini minta bikinin kopi karena sebentar lagi mo balik ke rumah. Tapi kaga bisa karena kuota data gue udah abis."
Puutaro: "Laaahhh."
Suatu malam di pos ronda.
Puutaro: "Eh Pengki, elo percaya kaga, pasangan Mat Baskom ama Kang Ember entu paling paporit buat pemilu 2024 loh."
Mat Pengki: "Entu data darimane?"
Puutaro: "Kate lembaga survei namanye Ngos-ngosan Consulting."
Mat Pengki: "Haaa??!"
Data memang topik yang paling hangat saat ini, khususnya tentang big data. Tiga situasi pada awal tulisan, menggambarkan dua orang mengobrol dengan topik berbeda, namun ada satu kesamaan. Yaitu, ketiganya berkaitan dengan "data", sebagai bagian dari big data.
Beragam artikel tentang big data ada di Kompasiana, apalagi tulisan yang berkaitan dengan komentar dari seorang menteri dalam kaitannya dengan penundaan pemilu. Jika ingin membacanya, Anda bisa mencari dengan kata kunci "big data" di kolom pencarian.
Ada artikel mengatakan komentar sang menteri berdasarkan big data merupakan hoax, karena tidak ada bukti. Penulisnya juga menuntut transparansi, alasannya karena yang berbicara adalah pejabat publik.
Membaca artikel itu, saya jadi agak bingung. Kalau minta bukti, seperti apa atau bagaimana harus dibuktikan? Apakah mau tahu bagaimana algoritmenya sehingga bisa dapat 110 juta data mendukung penundaan pemilu? Atau mau minta data mentah alias isi dari data yang diperoleh?
Bahkan mahasiswa juga menuntut bukti. Akan tetapi seperti orang kebanyakan, mereka pun tidak mengatakan apa dan bagaimana bukti yang mereka mau.Â
Jika menuntut bukti tapi tidak mengatakan bukti bagaimana yang diinginkan, saya jadi berpikir apakah mereka (yang statusnya mahasiswa itu) cuma belajar lagu potong bebek angsa, dan tidak diajari, atau minimal belajar berpikir serta menganalisis sesuatu secara logis, sehingga bisa menuntut lebih konkret?
Saya gunakan analogi saja. Big data itu ibarat tepung terigu, dan hasil dari pengolahan big data itu ibarat bakso (ah, bakso lagi bakso lagi), bakwan, mpek-mpek, cilok, siomay dan lainnya.