Tidak setiap hari saya mempunyai kesempatan untuk menatap gedung tinggi di kanan kiri jalan sepanjang tol Chuo Expressway (dahulu bernama Chuo Freeway). Pada hari minggu pagi sekitar pukul 6:30, kesempatan itu datang karena saya berada di dalam bus limousine (sebutan untuk bus dengan tujuan dan dari bandara di Jepang) menuju bandara Haneda, Tokyo.
Gedung beton tinggi dan megah itu bak memandang dingin ke arah bus, yang berjalan merambat di tengah-tengah, dengan saya di dalamnya. Suhu udara juga masih dingin pada bulan Maret, ditambah belum banyak pergerakan orang diluar, membuat bus yang kami tumpangi seperti ingin lari dari "dinginnya" kehidupan di Tokyo.
Akan tetapi saya tidak merasakan "kedinginan" suasana di luar, apalagi di dalam hati. Alasannya, euforia karena akhirnya saya bisa mudik setelah pandemi panjang, mengalahkan semua itu.
Saya biasa mudik saat nataru. Sehingga kalau dihitung, maka sudah 3 tahun tidak bisa menginjakkan kaki di tanah tumpah darah. Setelah suntik vaksin 3 kali, serta mendapat sertifikat hasil tes negatif PCR, akhirnya keinginan melihat pertiwi bisa terlaksana.
Sepanjang perjalanan, melalui jendela depan bus saya melihat jalan lurus tol Chuo seperti landasan pacu pesawat terbang. Saya membayangkan bus melaju tanpa halangan bak pesawat memacu lajunya, kemudian tinggal landas menuju langit tidak berbatas.
Jika Anda penggemar lagu-lagu berirama City Pop yang populer pada era 70 sampai 80-an di Jepang, mungkin tahu penyanyi bernama Arai Yumi (sekarang bernama Matsutoya Yumi). Saya merasakan hal sama seperti lagu yang dinyanyikannya berjudul "Chuo Freeway".
Satu setengah jam kemudian, bus sampai di terminal 3. Suasana di dalam terminal sangat lengang, karena Maret memang bukan bulan dimana banyak orang bepergian.
Lagi pula orang mungkin masih enggan bepergian, apalagi ke luar negeri. Pemerintah Jepang juga menganjurkan warganya menahan diri untuk tidak bepergian jauh, termasuk perjalanan ke luar negeri.
Setelah check in dan selesai melewati proses imigrasi, perut keroncongan karena memang tidak sempat sarapan. Sehingga saya mencari dan akhirnya menemukan satu-satunya restoran yang buka di dalam area keberangkatan.
Di sana saya memesan udon hangat dengan campuran wakame (rumput laut) dan umeboshi (buah plum dikeringkan). Rasa masin dan aroma laut wakame bercampur dengan rasa masam umeboshi, menyegarkan (baca: membuat mata saya yang mengantuk menjadi terbuka lebar) serta membuat badan terasa hangat dan perut juga kenyang tentunya.
Selain restoran, hanya ada satu toko oleh-oleh, dan toko buku yang juga menjual obat-obatan masih membuka usahanya. Lainnya, termasuk toko merek ternama seperti Chanel, Franck Muller, Bottega Veneta, terpaksa menutup toko mereka.
Toko Uniqlo yang menyediakan desain khusus untuk dijual di bandara juga tutup. Saya kuciwa (alias kecewa berat) karena biasanya membeli kaos untuk oleh-oleh disini. Efek "keganasan" bencana pandemi yang memorak-porandakan sektor ekonomi, ternyata bisa juga saya rasakan di area keberangkatan di dalam bandara.
Pesawat penerbangan code sharing antara Garuda Indonesia dan All Nippon Airways (ANA) lepas landas tepat pada waktunya. Kru pesawat melaksanakan tugas sesuai protokol kesehatan. Selain memakai masker, mereka juga menggunakan sarung tangan.
Saya mendapat tempat duduk di bagian belakang. Tidak banyak terlihat penumpang yang mengisi tempat duduk di pesawat saat itu.
Di area belakang dimana saya duduk, hanya terisi sekitar 10 orang. Di bagian tengah mungkin lebih banyak, sekitar 20 orang. Sebagian besar kursi tidak ada yang mengisi (atau memang dibiarkan kosong?). Saya merasa, jumlah pramugari lebih banyak dibanding dengan jumlah orang yang harus dilayani sepanjang perjalanan.
Setelah pesawat lepas landas, ketinggian pesawat berangsur naik mulai dari 5000 meter, kemudian 8000 meter, sampai dengan 10.000 meter. Kecepatan juga berubah mulai dari 500 Km/jam, menjadi 800 Km/jam, kemudian stabil pada kecepatan 900 Km/jam. Suhu diluar sekitar -46 derajat Celcius menurut informasi pada layar.
Jika Anda beruntung mendapatkan kursi di sebelah kanan pesawat pada penerbangan pagi hari dari Tokyo menuju Cengkareng, maka pemandangan Fuji-san bisa Anda saksikan dari dalam pesawat. Saya merasa menang atas Katsushika Hokusai (pelukis ukiyo-e ternama yang banyak melukis Gunung Fuji), karena dapat menyaksikan Gunung Fuji berselimut salju di puncaknya, dari atas pesawat.
Setelah melaju tanpa goncangan, pesawat masuk area turbulensi di sekitar Taiwan. Goyangan hebat bak naik roller coaster terasa beberapa saat. Agak deg-degan juga sih, karena sudah lama tidak bepergian menggunakan pesawat terbang.
Saya tidur sepanjang perjalanan, karena capek dengan berbagai kesibukan kantor dan persiapan mudik. Dalam mimpi saya kembali teringat lagu "Chuo Freeway" yang dinyanyikan Arai Yumi.
Lagu itu bercerita tentang perjalanan sepasang kekasih, menyusuri jalan tol Chuo sambil menyaksikan pemandangan di kiri kanan jalan. Sebuah perjalanan penuh kegembiraan, melalui jalur ideal yang lurus dan tanpa hambatan.
Akan tetapi dalam kenyataan hidup, perjalanan manusia tidak selalu lurus dan mulus.
Kita bisa saja menetapkan arah tujuan perjalanan, seperti ketika bepergian menggunakan pesawat, atau moda transportasi lain. Bedanya, ditengah perjalanan kehidupan, selalu saja ada jalan berbelok, maupun godaan yang mengharuskan kita memutar, bahkan mengubah haluan.
Disitulah kemahiran "sang pengemudi" yang mengatur perjalanan dibutuhkan. Bukan melulu kemahiran untuk sigap mengemudikan arah "kendaraan", namun juga tekad untuk teguh melewati berbagai rintangan dan godaan yang akan ditemui sepanjang perjalanan.
Mari menikmati hari-hari perjalanan hidup kita masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H