musim gugur telah tiba. Daun-daun pun mulai berganti warna, sehingga pepohonan bak berselimut nishiki-ori (tenunan berwarna-warni dan warna perak serta keemasan, menggunakan benang sutra).
Suhu udara pagi dan malam hari yang dingin, merupakan salah satu tanda bahwaMusim gugur merupakan musim terindah dalam setahun. Setidaknya menurut pendapat pribadi.
Hari ini saya jalan menuju taman kota, untuk menikmati keindahan musim gugur. Meskipun banyak gedung pencakar langit, namun taman kota relatif mudah ditemukan, tersebar di seantero Tokyo. Saya kemudian duduk pada bangku yang banyak tersedia di sana. Â
Duduk sambil menikmati pemandangan musim gugur, terkadang menimbulkan rasa kerinduan mendalam. Kerinduan untuk bertemu keluarga, teman, dan kerinduan lain.Â
Ada rasa kyoushuu yang merasuk, atau dalam bahasa Indonesia rasa kangen untuk menikmati suasana tanah tempat kelahiran dan masa kecil.
Memandangi dedaunan yang berganti warna menjadi merah, kuning, oranye, maupun coklat, bisa juga membangkitkan rasa nostalgia.
Ketika duduk sendiri di taman, ditemani angin dingin musim gugur yang sesekali menerpa, membuat saya merenungkan banyak hal yang sudah terjadi. Apalagi tahun 2021 sebentar lagi akan berakhir.
Dalam perenungan itu, saya menyadari bahwa semua, baik kejadian, orang, makhluk hidup, bahkan benda-benda lain di sekeliling, ada dan tercipta untuk menjaga keseimbangan. Supaya menjadi seimbang, mereka diciptakan berpasang-pasangan.
Kita bisa mengamati segala sesuatu di sekeliling yang "berpasang". Anda bisa menyebutkan beberapa, misalnya ada terang dan gelap, hitam dan putih, antagonis dan protagonis, naik dan turun, laki-laki dan wanita, kelahiran dan kematian.
Untuk menjaga keseimbangan, beberapa dari pasangan tersebut bahkan terjadi secara ekstrem.
Jika Anda pernah membaca man-ga atau menonton animasi Jepang Kaze-no-tani no Nausika (atau judul bahasa Inggrisnya, Nausicaa of The Valley of The Wind), tentu bisa menyimak bagaimana ekstremnya kejadian "kematian dan kelahiran" alam digambarkan, untuk menjaga keseimbangan.
Man-ga atau animasi Nausika bercerita tentang ekosistem bumi yang perlu diperbaharui. Caranya, bumi menyebarkan tumbuhan beracun untuk meluluhlantakkan segala sesuatu yang berada di sekitarnya (bumi menjadi mati). Kemudian setelah semuanya lenyap, berangsur-angsur kehidupan baru tercipta di tempat yang sama (bumi lahir kembali).
Kompasiana mengusung tema mengubah noise menjadi voice.Â
Pada ulang tahunnya ke-13,Pertama saya ingin mengatakan, bahwa meskipun banyak "letupan" terjadi pada usianya ke-13, misalnya tentang K-rewards untuk menyebutkan salah satunya, tiga belas bukanlah angka sial. Saya mempunyai keyakinan ini karena angka tiga belas merupakan hari keberuntungan dan kegembiraan, setidaknya bagi orang tua yang telah melahirkan dan merawat saya.
Saya juga berpendapat, noise dan voice adalah pasangan, dan mereka ada (baca:tidak perlu diubah) untuk menjaga keseimbangan.
Kemudian kalau kita tilik lebih jauh temanya, apa dan bagaimana definisi noise maupun voice ini tentu akan berbeda, tergantung dari sudut pandang mana yang dipakai dan juga apa kepentingannya.
Misalnya saja, jika kita menyuarakan (atau menuliskan, karena Kompasiana adalah platform untuk menulis) kegelisahan dan keprihatinan kita terhadap suatu hal, maka dari sudut pandang orang yang bersuara (subjek), mereka akan mengangap itu adalah bagian dari voice. Â
Akan tetapi tidak bisa dimungkiri, kalau dipandang dari sudut sasaran suara/tulisan (objek), maka bagi mereka itu bisa menjadi noise.
Kita butuh noise, seperti juga kita butuh voice. Karena seperti saya sudah tuliskan sebelumnya, segala sesuatu di dunia ini diciptakan berpasangan, agar keseimbangan bisa terjaga. Dengan catatan, noise ini bukan hanya cacian belaka, menyasar segala arah tanpa etika (baik sikap maupun tulisan) dan dengan logika tidak keruan.
Itu adalah hasil kemenungan saya hari ini. Setelah beberapa lama bermenung dan duduk agak lama di bangku taman, tenggorokan terasa kering dan gatal karena angin musim gugur memang biasanya tidak mengandung uap air (kelembapan).Â
Saya kemudian berjalan untuk mencari vending dan membeli teh hangat.
Tidak banyak orang terlihat di taman hari ini. Saya teringat haiku (puisi pendek Jepang dengan aturan irama suku kata berjumlah 5, 7, 5) menggambarkan persis seperti suasana taman hari ini, yang ditulis oleh Matsuo Basho, penyair era Edo.
Di jalan ini
Tak kujumpa seorang
Di musim gugur
Sambil sesekali meneguk teh hangat, saya berjalan menyusuri pepohonan, dengan alas daun yang berserak di taman.
Saya kemudian teringat buku yang ditulis oleh Fukuoka Shin-ichi, seorang ahli biologi molekuler. Dia mengatakan bahwa manusia dan makhluk hidup lain, dibedakan atas dasar logos (kata-kata) dan physis (alam).
Makhluk selain manusia, umumnya hidup dengan insting yang bersifat physis. Mereka bertelur, beranak, menghasilkan biji, dengan satu tujuan yaitu untuk meneruskan keturunan. Bahkan ada beberapa dari makhluk hidup itu bisa bertelur/beranak banyak. Misalnya ikan Manbou (Mola-mola), bisa bertelur sebanyak 10 juta butir!
Manusia hidup bukan sekadar physis saja. Hidup kita bukan hanya untuk melanjutkan generasi (keturunan). Berbeda dengan makhluk lain, manusia bisa melahirkan logos. Orang menggunakan logos, untuk berinteraksi dengan sesama manusia.
Sehingga kita harus memikirkan, jangan sampai logos ini mengganggu hubungan dengan sesama manusia. Kita harus berupaya agar logos ini menjadi voice, bukan noise yang dalam artian hanya caci maki tanpa logika.
Memang asyik berjalan di taman saat musim gugur. Sehingga tanpa sadar saya sudah cukup lama berada di taman, dan ternyata sudah 3000 langkah saya tempuh saat mengecek pada jam tangan.
Musim gugur adalah momen yang tepat digunakan untuk bermenung. Dalam perjalanan pulang ke rumah, sambil memandang ke arah daun berwarna-warni, saya berbicara kepada diri bahwasanya hidup di dunia ini ibarat daun pada empat musim.
Tunas baru muncul saat musim semi seperti bayi lahir. Kemudian berkembang menjadi anak-anak, seperti daun rimbun di musim panas. Lalu daun berubah warna pada musim gugur, bak anak manusia yang beranjak dewasa. Akhirnya daun akan layu dan jatuh ke bumi pada musim dingin, seperti juga kita yang akan menjadi tua, dan berkalang tanah.
Daun yang berganti warna seiring dengan perjalanan musim, pun hidup kita adalah hal yang fana. Seperti daun yang muncul dalam wujud tunas kemudian berkembang, usia yang bertambah merupakan keniscayaan.
Akan tetapi berbeda dengan makhluk lain yang hidup hanya berdasarkan physis, bagi manusia yang ber-logos, bertambahnya usia tidak menjadikannya otomatis menjadi dewasa. Kita tentu tahu, bahwa menjadi dewasa itu, adalah pilihan.
Sama halnya ketika berbicara tentang platform Kompasiana ini. Anda bebas untuk memilih, bagaimana caranya berpartispasi di dalamnya. Anda bisa mengisinya dengan noise, atau voice.Â
Alasannya, sekali lagi, Anda berhak menentukan sendiri. Sebab itu adalah pilihan.
Selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H