Man-ga atau animasi Nausika bercerita tentang ekosistem bumi yang perlu diperbaharui. Caranya, bumi menyebarkan tumbuhan beracun untuk meluluhlantakkan segala sesuatu yang berada di sekitarnya (bumi menjadi mati). Kemudian setelah semuanya lenyap, berangsur-angsur kehidupan baru tercipta di tempat yang sama (bumi lahir kembali).
Kompasiana mengusung tema mengubah noise menjadi voice.Â
Pada ulang tahunnya ke-13,Pertama saya ingin mengatakan, bahwa meskipun banyak "letupan" terjadi pada usianya ke-13, misalnya tentang K-rewards untuk menyebutkan salah satunya, tiga belas bukanlah angka sial. Saya mempunyai keyakinan ini karena angka tiga belas merupakan hari keberuntungan dan kegembiraan, setidaknya bagi orang tua yang telah melahirkan dan merawat saya.
Saya juga berpendapat, noise dan voice adalah pasangan, dan mereka ada (baca:tidak perlu diubah) untuk menjaga keseimbangan.
Kemudian kalau kita tilik lebih jauh temanya, apa dan bagaimana definisi noise maupun voice ini tentu akan berbeda, tergantung dari sudut pandang mana yang dipakai dan juga apa kepentingannya.
Misalnya saja, jika kita menyuarakan (atau menuliskan, karena Kompasiana adalah platform untuk menulis) kegelisahan dan keprihatinan kita terhadap suatu hal, maka dari sudut pandang orang yang bersuara (subjek), mereka akan mengangap itu adalah bagian dari voice. Â
Akan tetapi tidak bisa dimungkiri, kalau dipandang dari sudut sasaran suara/tulisan (objek), maka bagi mereka itu bisa menjadi noise.
Kita butuh noise, seperti juga kita butuh voice. Karena seperti saya sudah tuliskan sebelumnya, segala sesuatu di dunia ini diciptakan berpasangan, agar keseimbangan bisa terjaga. Dengan catatan, noise ini bukan hanya cacian belaka, menyasar segala arah tanpa etika (baik sikap maupun tulisan) dan dengan logika tidak keruan.
Itu adalah hasil kemenungan saya hari ini. Setelah beberapa lama bermenung dan duduk agak lama di bangku taman, tenggorokan terasa kering dan gatal karena angin musim gugur memang biasanya tidak mengandung uap air (kelembapan).Â
Saya kemudian berjalan untuk mencari vending dan membeli teh hangat.
Tidak banyak orang terlihat di taman hari ini. Saya teringat haiku (puisi pendek Jepang dengan aturan irama suku kata berjumlah 5, 7, 5) menggambarkan persis seperti suasana taman hari ini, yang ditulis oleh Matsuo Basho, penyair era Edo.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!