Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Arigato Nippon, Sayonara Tokyo 2020

9 Agustus 2021   20:00 Diperbarui: 10 Agustus 2021   09:12 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kata "Arigato" saat penutupan Olimpiade Tokyo 2020 (jiji.com)

Cuaca tanggal 8 Agustus 2021 dengan suhu udara sekitar 28 derajat Celcius, dan kelembapan sebesar 95 persen bukan cuaca yang ramah dan bersahabat bagi manusia. Maklumlah, bulan Agustus adalah musim panas di Tokyo (Jepang).

Selain suhu panas, Agustus menyimpan kenangan pahit bagi Jepang. Alasannya, tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, bom atom dijatuhkan masing-masing di Hiroshima dan Nagasaki.

Olimpiade Tokyo 2020 yang dilaksanakan saat dunia dilanda pandemi, tentu menyimpan berbagai kenangan. Ada kenangan pahit, namun sebaliknya pasti ada juga kenangan manis yang dirasakan oleh atlet dari berbagai negara.

Di tengah kenangan pahit sejarah bagi Jepang, dan suhu udara panas di Tokyo, Olimpiade secara resmi ditutup tanggal 8 Agustus lalu.

Nyala obor dengan bahan bakar gas hidrogen pun perlahan padam, dan bendera olimpiade diturunkan dari tiang. 

Koike Yuriko menyerahkan bendera olimpiade ke Thomas Bach, lalu menyerahkannya ke Anne Hildago yang akan menjadi tuan rumah olimpiade tahun 2024 di Paris, Prancis.

Kalau boleh menyebutkan kenangan manis, tentu Amerika adalah negara yang paling merasakannya. Bagaimana tidak, beberapa jam sebelum penutupan olimpiade, tim Amerika berhasil menyalip Tiongkok dan duduk "manis" diperingkat pertama dengan perolehan 39 medali emas.

Padahal satu hari sebelum penutupan olimpiade, Amerika berada pada urutan kedua setelah Tiongkok dengan perolehan 36 medali emas.

Indonesia harus puas menempati posisi ke-55 dengan jumlah perolehan medali 5 buah. Rinciannya 1 medali emas, 1 perak dan 3 perunggu. Sementara itu, Filipina menempati posisi posisi ke-50, sekaligus merupakan urutan terbaik diantara negara Asia Tenggara yang ikut olimpiade.

Tokyo 2020, selain kontroversial sejak pertama kali Jepang memenangkan undian sampai detik-detik pelaksanaan acara pembukaan, juga sangat unik. 

Alasannya, dalam kurun waktu 125 tahun diselenggarakannya olimpiade modern, baru kali ini olimpiade ditunda (bukan dibatalkan) dan sebagian besar pertandingan berlangsung tanpa kehadiran penonton.

Dari hasil jajak pendapat, sebagian besar masyarakat Jepang sebenarnya menolak olimpiade. Ada rasa khawatir karena masyarakat tidak mampu memprediksi apa yang akan terjadi jika olimpiade dipaksakan untuk berlangsung ditengah pandemi. Meningkatnya jumlah penduduk terjangkiti Covid-19 dari hari ke hari di Tokyo (Jepang) menambah ruwet suasana.

Akan tetapi, setiap atlet, kontingen maupun orang yang ikut ambil bagian dalam olimpiade, pasti dapat memetik suatu pelajaran dari penyelenggaraan olimpiade pada masa sulit ini. Pelajaran tersebut, bisa jadi lebih berharga dari medali apapun yang mereka peroleh.

Bagi penonton pertandingan olimpiade melalui televisi, kegigihan dan keuletan atlet untuk meraih medali, berguna untuk menghilangkan sejenak rasa stres yang dialami selama pandemi.

Dengan menyaksikan atlet berlaga di tiap cabang olahraga, akan memperkaya dan memperdalam pengalaman batin, kemudian diharapkan dapat membangkitkan gairah dan memantik impian serta harapan.

Dalam keadaan sulit, energi yang kita peroleh dari event olahraga adalah pengalaman berharga. Inilah nilai terpenting atas terselenggaranya olimpiade.

Mengapa saya sebut terpenting? Karena tidak seperti olimpiade lain yang mengusung tema utama perdamaian dunia, Tokyo 2020 lebih menitikberatkan ke tema keragaman dan harmoni. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa hal.

Pertama, perbandingan jumlah peserta olimpiade antara pria dan wanita hampir mencapai 50 persen. Kedua, partisipasi atlet yang mempunyai orientasi seksual LGBTQ meningkat jumlahnya menjadi sekitar 160 orang, dari jumlah total atlet sekitar 4500 orang.

Kemudian pada olimpiade kali ini, kesehatan mental atlet juga lebih diperhatikan. Misalnya "ratu" senam Amerika Simone Biles, mundur untuk beberapa nomor pertandingan, dan mengutarakan kepada publik bahwa kesehatan mentalnya tidak menunjang untuk mengikuti perlombaan individu dan grup. 

Kalau kita berbicara tentang acara penutupan olimpiade, memang ada yang terasa kurang. Pertunjukan seni pun, tidak semeriah acara pembukaan.

Saat ini Jepang sedang berada pada suasana o-bon. Sehingga pergelaran tarian dan musik pun, berpusat di suasana tersebut. Sebagai catatan, o-bon adalah waktu dimana masyarakat Jepang memberikan penghormatan dan berdoa kepada leluhur.

Misalnya, tarian bon-odori, dengan lagu khas Tokyo bernama "tokyo-ondo". Beberapa orang terlihat memegang touro (lampion kertas). Tarian saat o-bon (musim panas) dari daerah lain pun ada, misalnya tari Eisa dari Okinawa. Pemirsa juga bisa menyaksikan tarian dari Ainu, suku asli Hokkaido.

Akhirnya, pesta olahraga musim panas terbesar dunia yang berlangsung selama 17 hari usai. Kita tahu, bahwa di setiap perjumpaan, pasti ada perpisahan.

Olimpiade telah resmi ditutup kemarin, dengan menyisakan ketidakpastian.

Kita tidak tahu, apakah olimpiade kali ini berhasil atau tidak. Saat ini pun, tidak ada yang mampu menjawab apakah Tokyo 2020 bisa menjadi legasi Jepang, bahkan dunia.

Akan tetapi kita tidak perlu kecewa, karena ada satu hal yang pasti. 

Yaitu Jepang telah berhasil menanamkan "biji" nilai luhur olimpiade. Dengan catatan tentunya, orang harus sabar untuk bisa melihat "biji" itu tumbuh menjadi pohon, kemudian kita memetik "buahnya". Entah 50 tahun, 100 tahun, bahkan 200 tahun kemudian!

Thomas Bach (ketua IOC) dalam pidatonya saat acara penutupan menyatakan, Jepang telah membagikan oleh-oleh penting pada masa sulit ini. Buah tangan itu adalah harapan kepada dunia, untuk menuju masa depan lebih baik. Sehingga, Thomas berharap agar rakyat Jepang berbangga atas hal tersebut.

Ketua olimpiade Tokyo 2020 Hashimoto Seiko dalam kata sambutannya setelah Thomas, berterima kasih kepada atlet yang telah berhasil menggunakan kekuatan olahraga, untuk membuka pintu gerbang masa depan bagi dunia.

Sebagai penutup, saya ingin menceritakan satu bagian menarik di acara penutupan yang mungkin luput dari perhatian. Pada bagian akhir acara, layar besar di atas stadion Kokuritsu Kyogijou tertulis "Arigato".

Tahukah Anda bahwa tulisan dengan warna dan jenis huruf (font) sama juga terlihat saat acara penutupan olimpiade Tokyo tahun 1964? Hanya saja, saat itu tertulis kata "Sayonara".

Tiga tahun lagi dari sekarang, atlet akan kembali berlari, menendang, berenang, mengayuh, melempar, memukul, berselancar, melompat, meneruskan tongkat estafet Tokyo 2020.

Mari kita semua menunggu dengan sabar perjuangan atlet yang tekun berlatih dan nantinya terpilih, di episode olimpiade berikutnya.

Karena hanya melalui atletlah, kita bisa menyaksikan seseorang yang dapat melampaui batas kemampuan fisik manusia.

À bientôt, à Paris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun