Ketika usia SD, rasa dongkol timbul saat ingin nonton pertunjukan layar tancap dekat rumah, namun dilarang oleh mak. Perasaan yang sama saya rasakan ketika menonton acara pembukaan olimpiade pada tanggal 23 Juli melalui televisi.Â
Ya, saya dongkol seperti ketika kecil dahulu, karena ada larangan untuk pergi ke sana. Padahal stadion Kokuritsu Kyougijou, tempat berlangsungnya acara, bisa ditempuh dari apartemen dengan kereta kurang lebih satu jam saja.
Akan tetapi, kemarin (dan hari ini) rasa dongkol sirna dan timbul rasa gembira. Alasannya, saya dapat menonton langsung acara final cycling road race yang merupakan bagian dari olimpiade, waktu rombongan atlet melewati rute dekat rumah. Akhirnya impian untuk menyaksikan olimpiade secara langsung terlaksana.
Pengalaman ini mungkin tidak akan terulang kembali, dan menjadi  pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Jika Anda penasaran bagaimana suasananya, sila saksikan video saya pada tulisan ini untuk perlombaan road race yang dilaksanakan kemarin (Men's final) dan hari ini (Women's final).
Olimpiade Tokyo akhirnya secara resmi dimulai tanggal 23 Juli lalu, setelah satu tahun tertunda. Kontingen atlet dari 205 negara memasuki stadion dengan menjaga jarak (meskipun ada yang terlihat tidak menjaga jarak) pada acara pembukaan.Â
Mereka masing-masing akan berlaga selama 17 hari pada 33 cabang olahraga, melalui 339 pertandingan di stadion yang sudah disiapkan di Tokyo dan beberapa tempat lain.
Melalui layar televisi, kita bisa menyaksikan atmosfer acara pembukaan yang terasa lain dibandingkan olimpiade sebelumnya.
Tidak ada teriakan maupun suara riuh rendah penonton saat atlet memasuki area stadion. Senyuman atlet pun tidak dapat terlihat karena tertutup masker. Sebagian besar bangku stadion berkapasitas 68 ribu penonton itu kosong melompong.Â
Adalah kenyataan ironis bahwa sorotan lampu berwarna-warni yang rencananya digunakan untuk memperindah dan meramaikan suasana, ternyata digunakan sebagai kamuflase agar stadion terlihat penuh. Meskipun kenyataannya, bangku hanya terisi 1,4 persen dari kapasitas total.
Suara ramai hanya terdengar dari letusan kembang api, dengan pancaran sinar bak lukisan warna-warni di udara lembap pada musim panas di Tokyo. Selain itu, tidak ada sorak-sorai.Â
Mungkin suara pedemo di luar stadion yang menentang diselenggarakannya olimpiade, terasa lebih keras terdengar.
Setelah membahas beberapa hal tentang olimpiade, kali ini saya ingin mengamati pembukaan olimpiade Tokyo 2020 dari sisi budaya. Saya yakin budaya Jepang bukanlah hal baru, dan beberapa diantara Anda pasti sudah mengenalnya.Â
Kita mulai dari saat rombongan atlet dari berbagai negara masuk ke stadion. Biasanya parade atlet dilaksanakan dengan urutan berdasarkan huruf abjad romawi, yaitu a, b, c, dan seterusnya. Pada olimpiade kali ini, urutan parade diatur menurut susunan huruf bahasa Jepang, yaitu a, i, u, e, o, ka, ki, ku, dan seterusnya.
Papan nama pada rombongan tiap negara menggunakan corak bubble (dalam bahasa Jepang disebut fukidashi), seperti kita membaca bagian percakapan antarkarakter pada man-ga (komik Jepang).
Musik pengiring rombongan atlet tiap negara kala masuk ke stadion, adalah lagu utama yang digunakan pada game seperti Dragon Quest, Final Fantasy dan Monster Hunter.Â
Mungkin Anda masih ingat waktu penutupan olimpiade Rio tahun 2016 lalu, Abe Shinzo yang menjabat PM Jepang saat itu, muncul di tengah stadion bergaya seperti karakter game Mario.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa man-ga dan game adalah salah satu sub culture Jepang yang sudah mendunia.
Kemudian kita dapat melihat peragaan tukang kayu (dalam bahasa Jepang, daiku) yang bernyanyi saat mereka bekerja. Aktivitas menyanyi yang disebut kiyari-no-uta ini dilakukan sambil untuk aba-aba, agar pekerjaan dilakukan secara teratur. Pada era Edo, dimana kebudayaan Jepang sedang mengalami perkembangan pesat, orang dapat menemukan kegiatan ini di penjuru kota.Â
Ada juga lampion (dalam bahasa Jepang, chouchin) dipasang pada beberapa gerobak yang memasuki stadion. Chouchin mempunyai banyak ragam dan bentuk. Dahulu chouchin umumnya digunakan sebagai alat penerangan. Akan tetapi, saat ini penggunaannya lebih luas. Sehingga kita mudah menemui chochin waktu festival, pada perayaan keagamaan, maupun dipasang di depan restoran khas Jepang.
Berikutnya ada lingkaran besar terbuat dari kayu diusung ke tengah arena. Lalu setiap bulatan masing-masing bergerak dan akhirnya membentuk lambang olimpiade.Â
Sebagai catatan, bahan kayu untuk lambang olimpiade ini berasal dari pohon yang dibawa oleh atlet dari seluruh Jepang, saat diadakannnya olimpiade pertama tahun 1964 di Tokyo.
Kayu dan tukang kayu merupakan bagian penting dalam budaya Jepang, terutama hubungannya dengan (arsitektur) bangunan. Karena kayu berasal dari alam, maka alam pun sangat erat hubungannya dengan budaya Jepang. Bukti dari hubungan ini tersaji secara apik pada acara pembukaan olimpiade.Â
Omong-omong, jika pernah mengunjungi Jepang, Anda pasti tahu bahwa sebagian besar kuil, baik berukuran kecil maupun besar, umumnya terbuat dari kayu.Â
Pada acara pembukaan, kita dapat menyaksikan versi live piktogram hasil kolaborasi antara grup pantomim gaamaru-chobo dan gabez. Piktogram memang erat hubungannya dengan olimpiade, terutama bagi Jepang. Kalau kita kilas balik sejenak, penggunaan piktogram pada acara olimpiade bermula ketika diadakannya olimpiade pertama di Tokyo tahun 1964.
Saat itu para desainer visual Jepang mencari cara untuk memudahkan komunikasi, terutama bagi penutur asing. Dari hasil pemikiran mereka, maka lahirlah 39 piktogram yang pertama kali digunakan pada olimpiade.Â
Para atlet peserta olimpiade dan pengunjung dari mancanegara kala itu, sangat terbantu dengan piktogram. Hal itu menjadikan piktogram mulai digunakan secara luas sebagai alat komunikasi visual, terutama pada acara berskala internasional seperti olimpiade.
Budaya visual Jepang juga berkembang sejak itu. Dan kita semua tahu bahwa desain grafis Jepang amat populer dan digemari di dunia.
Bagi saya, sajian live piktogram pada acara pembukaan ini lebih menarik dibandingkan kembang api, maupun permainan drone yang melambangkan bola dunia dan emblem olimpiade bercorak persegi dua warna (dalam bahasa Jepang, ichimatsu-moyou).
Apalagi terlihat ada sedikit kesalahan saat pertunjukan piktogram untuk cabang olahraga badminton. Â Dengan adanya kesalahan tersebut, pertunjukan menjadi menarik dan terlihat lebih "manusiawi".
Budaya Jepang penting lain yang disajikan adalah kabuki. Aktor kabuki Ichikawa Ebizou, memainkan tokoh Kamakura Gongorou dalam lakon serial heroik berjudul "Shibaraku".
Disana Anda bisa menyaksikan hal-hal yang berhubungan dengan kabuki. Misalnya lukisan garis-garis warna merah di wajah (sujiguma), pakaian samurai berukuran besar (daimon), pedang (tachi) yang berukuran sekitar 3 meter (catatan: ukuran ini dibuat lebih panjang dari ukuran sebenarnya), bentuk rambut yang dikepang kecil sebanyak 5 buah di daerah pelipis (gohon-kurumabin) dan beberapa karakteristik kabuki yang lain.
Ebizou juga mengucapkan kalimat khas pada lakon kabuki sesuai dengan judul, yaitu "shi-ba-ra-ku". Â Biasanya, pada waktu pertunjukan di panggung, pemain yang berperan sebagai penjahat langsung tunggang langgang setelah mendengar kata ini.
Terakhir dan sebagai puncak dari acara pembukaan, kita dapat melihat podium delapan sudut berbentuk Gunung Fuji, lengkap dengan matahari di atasnya. Bentuk matahari itu kemudian terbuka dan berubah menjadi seperti bunga.Â
Ditengahnya ada obor utama, yang kemudian dinyalakan oleh Osaka Naomi, atlet tenis Jepang. Mungkin Anda akan bertanya, mengapa ada bentuk Gunung Fuji di sana?Â
Kita semua tahu, selain sebagai pusat spiritual, Fuji merupakan pusat budaya Jepang. Ada banyak karya visual dan tulisan terutama karya sastra, dibuat dengan inspirasi dari Gunung Fuji. Sehingga wajar jika bentuknya digunakan sebagai penyemangat atlet dalam dan luar negeri Jepang yang akan, dan sedang bertanding.Â
Apalagi gunung identik dengan puncak. Setiap orang tentu ingin mencapai puncak (posisi tertinggi). Untuk seorang atlet, menjadi wakil negaranya pada pertandingan internasional kemudian meraih kemenangan (baca: mencapai titik puncak) adalah sesuatu yang didambakan.
Begitulah sedikit gambaran sisi budaya yang bisa kita simak pada acara pembukaan olimpiade Tokyo 2020.Â
Kita tahu bahwa pada setiap acara internasional, sisi yang paling mencolok adalah marketing (iklan), teknologi, dan pencapaian (perolehan medali). Akibatnya, sisi lain misalnya budaya, kurang mendapat perhatian.
Akan tetapi, menurut saya ada hal lebih penting dibandingkan dengan tuntutan pencapaian medali, kecanggihan teknologi dan pemasukan iklan.Â
Yaitu bagaimana agar setiap atlet yang bertanding, bangga akan jati diri dan budaya dari negara tempat dia berasal, kemudian menyalurkan rasa bangga itu melalui seluruh pancaindranya, dalam setiap pertandingan maupun perlombaan selama olimpiade, untuk mencapai harmoni dengan sesama atlet lain. Â
Demikian itu hakikat dari olimpiade, sekaligus hal paling penting dan mutlak untuk diwariskan kepada generasi penerus. Alasannya, karena kita hidup di dunia yang terdiri dari beragam suku dan kebudayaan.Â
Itu menurut hemat saya. Bagaimana menurut Anda?
Salam sehat dan salam olimpiade.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H