Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Samurai in Spring

25 April 2021   09:00 Diperbarui: 25 April 2021   13:26 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang yang mencintai musim semi
Adalah orang berhati bersih
Dia temanku, bak bunga sumire

Menurut jajak pendapat maupun pengalaman pribadi, orang Jepang sangat suka musim semi.

Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama dan mungkin tidak pernah kita duga, ternyata orang Jepang tidak suka udara dingin saat musim gugur dan musim dingin. Mereka juga tidak suka udara panas. Sehingga kebanyakan orang Jepang suka musim semi, karena udaranya sejuk.

Kedua, musim semi adalah awal dari kehidupan baru. Tahun ajaran baru dimulai saat musim semi. Begitu juga bagi mahasiswa yang baru saja lulus, mereka biasanya masuk ke kantor pada musim semi, yaitu bulan April.

Toko-toko gencar melakukan promosi saat musim semi. Sehingga orang Jepang umumnya menunggu momen sale musim semi, saat mereka ingin membeli sesuatu barang yang bukan kebutuhan pokok.

Misalnya saja, toko alat tulis dan toko buku, memberikan korting bagi pelajar dan mahasiswa. Toko elektronik juga melakukan sale khusus musim semi, bagi orang yang memulai kehidupan baru sebagai pegawai. Sebab umumnya mereka ini meninggalkan rumah (tempat tinggal orangtua), lalu menyewa apartemen dekat dengan lokasi kantor.

Kehidupan baru bukan hanya berlaku bagi manusia, namun juga bagi tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang rontok daunnya saat musim gugur, mulai tumbuh tunas baru, kemudian menjadi daun muda (shinryoku).

Shinryoku di Kuil Takahata Fudou, Tokyo (Dokumentasi pribadi)
Shinryoku di Kuil Takahata Fudou, Tokyo (Dokumentasi pribadi)
Banyak bunga mekar saat musim semi. Misalnya bunga yang pasti Anda tahu, yaitu sakura. Selain itu ada bunga popi, tulip, botan, tsutsuji, mawar, sumire, dan lainnya.

Sebagai catatan, bunga sumire (Viola mandshurica) disebut dalam bait lagu empat musim (shiki), pada bagian tentang musim semi. Bait lagunya bisa Anda baca pada awal tulisan. Lagu ini dikarang oleh Araki Toyohisha dan populer di Jepang pada tahun 70-an.

Unsur kehidupan baru juga bisa kita selisik dari asal usul huruf kanji yang melambangkan musim semi, yaitu haru. Kanji haru menurut bentuknya, mempunyai arti biji-bijian atau rumput, maupun tunas pohon yang terkurung selama musim dingin, kemudian tumbuh tunas barunya akibat mandi cahaya matahari.

Bunga Lavender di musim semi (Dokumentasi pribadi)
Bunga Lavender di musim semi (Dokumentasi pribadi)
Bentuk kanji haru merupakan salah satu huruf golongan keisei moji. Yaitu huruf kanji gabungan antara bagian yang melambangkan arti (i-fu) dan suara (on-pu). Huruf kanji jenis ini jumlahnya terbanyak dalam bahasa Jepang, dengan persentase sekitar 90 persen.

Mumpung sedang membicarakan musim semi dalam huruf kanji bahasa Jepang, saya teringat ada satu kata yang bisa menggambarkan dengan jelas apa sebenarnya musim semi itu. Yaitu kata haru-ranman. Kata ini mempunyai arti bunga bermekaran, atau terang cahaya matahari bertebaran.

Tahukah Anda bahwa pada musim semi, ada satu kegiatan yang biasa dilakukan oleh orang Indonesia, dilakukan juga oleh orang Jepang? 

Selama masa ohigan pada musim semi yang berlangsung 7 hari, orang Jepang biasanya menyekar ke kuburan keluarga. Ohigan adalah keadaan di mana manusia bisa melenyapkan atau menang atas nafsu duniawi dan mencapai pencerahan (satori). 

Bunga Popi di musim semi (Dokumentasi pribadi)
Bunga Popi di musim semi (Dokumentasi pribadi)
Saat berziarah ke kuburan, seperti yang dilakukan juga oleh orang Indonesia, orang Jepang biasanya membersihkan makam dan berdoa untuk keluarga atau leluhur yang sudah meninggal. Sebagai tambahan, masa ohigan juga ada saat musim gugur.

Sekarang saya akan bercerita tentang dua camilan favorit saat musim semi.

Pertama adalah sakuramochi, yaitu makanan yang terbuat dari ketan diberi warna merah jambu. Di dalamnya berisi kacang merah manis, dibungkus dengan daun pohon sakura. Daun pohon terlebih dahulu direndam dalam air garam, sehingga rasanya agak asin. 

Perpaduan rasa asin daun pembungkus, aroma daun bunga sakura, dan rasa manis kacang merah, merupakan perpaduan dahsyat yang tidak bisa saya temukan pada camilan lain.

Omong-omong, camilan sakuramochi sudah mempunyai sejarah panjang selama ratusan tahun karena makanan ini dibuat pertama kali oleh Yamamoto Shinroku pada era Edo.

Sakuramochi (atas) dan sanshoku dan-go di bawah (Dokumentasi pribadi)
Sakuramochi (atas) dan sanshoku dan-go di bawah (Dokumentasi pribadi)
Camilan kedua adalah sanshoku dan-go, dengan bentuk bulatan 3 warna (sanshoku) berwarna merah jambu di ujung, putih di tengah dan hijau di pangkal, terbuat dari tepung dan gula, yang ditusuk dengan bambu seperti satai. Dan-go kalau digigit agak kenyal dan rasanya agak manis.

Warna pada dan-go merupakan lambang dari bunga sakura. Gigitan pertama pasti pada dan-go merah jambu, yang merupakan warna sakura ketika masih kuncup. Kemudian, putih adalah warna sakura ketika sedang mekar. Gigitan terakhir adalah hijau, sebagai warna pohon sakura saat bunga sakura sudah rontok. 

Dua camilan itu biasanya saya makan sambil menikmati kopi panas Mandheling. Karena saya tidak suka memasukkan gula ke kopi, maka rasa pahit kental dan aroma seperti buah kering dari Mandheling, berpadu sangat elegan dengan rasa manis dari sakuramochi maupun sanshoku dan-go. Jepang dan Indonesia berkolaborasi sangat apik saat musim semi.

Oh ya, saya memilih judul tulisan menggunakan kata "samurai", sebab kata ini sudah mendunia. Dalam sejarah Jepang pun, pada era peperangan antar penguasa daerah (sen-goku jidai), samurai mempunyai peran amat penting. 

Apalagi saya juga suka membaca komik (man-ga) dengan tema samurai, seperti Vagabond, Hunterxhunter, Gintama dan Rurouni Kenshin (film terbarunya baru saja dirilis).

Kok tumben judulnya pakai bahasa Inggris? Kalau tentang ini, saya punya alasan khusus.

Pada musim semi, mungkin karena sering melihat bunga bermekaran di sekitar, maka perasaan saya umumnya gembira dan berbunga-bunga juga. Nah, saat seperti ini, saya biasanya mendengarkan lagu-lagu dari grup favorit yaitu Pet Shop Boys.

Bagi Anda yang gemar musik-musik Pet Shop Boys, tentu tidak asing lagi dengan lagu yang berjudul "Samurai in Autumn". Karena sekarang sedang musim semi, maka boleh dong saya pinjam judul lagu dan mengubahnya sesuai keadaan saat ini.

Bunga Na no Hana yang berwarna kuning (Dokumentasi pribadi)
Bunga Na no Hana yang berwarna kuning (Dokumentasi pribadi)
Begitulah sedikit cerita saya tentang musim semi di Jepang. 

Sebagai negara dengan 4 musim, selama tinggal dan mengembara di sini saya bisa menikmati berbagai macam keindahan tersendiri, yang berbeda antara satu musim dengan lainnya. 

Mungkin jika Anda bermukim di negara lain yang juga mempunyai 4 musim, mempunyai pengalaman musim semi berbeda dari apa yang saya alami. 

Perbedaan itu bisa jadi karena beberapa alasan. Saya ingin menutup tulisan dengan membahas salah satu alasan yang mungkin berguna untuk memahami budaya Jepang. Yaitu perbedaan pandangan atas alam, yang merupakan bagian tidak bisa dipisahkan dari musim.

Berbeda dengan orang Jepang, dunia barat biasanya memandang alam sebagai objek. Kita tahu bahwa Netwon menemukan hukum gravitasi saat mengamati gejala alam, yaitu buah apel yang jatuh dari pohon. Bangunan corak barat juga banyak menggunakan bahan bukan dari alam langsung, misalnya adukan semen dan kaca.

Sebaliknya, masyarakat Jepang memandang alam sebagai subjek. Sehingga mereka lebih suka mendirikan bangunan yang menyatu dengan alam. Misalnya membangun rumah hanya dengan bahan kayu, seperti bisa kita lihat pada bangunan kuil dengan berbagai bentuk di seantero Jepang.

Tulip di musim semi (Dokumentasi pribadi)
Tulip di musim semi (Dokumentasi pribadi)
Melalui sudut pandang tersebut, jika bencana alam terjadi, maka bagi orang Jepang hal itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Akibatnya, mau tidak mau harus diterima. Berbeda dengan orang barat (secara umum, selain orang Jepang), yang memandang bencana alam sebagai kutukan.

Melalui pemahaman ini, tentunya akan membuat kita sedikit lebih mudah memahami budaya Jepang. 

Dengan begitu, saya berharap agar Anda bisa makin menikmati keindahan alam terutama saat musim semi, saat mendapat kesempatan untuk datang ke sini suatu waktu nanti.

Selamat berakhir pekan.

Panorama tulip di musim semi (Dokumentasi pribadi)
Panorama tulip di musim semi (Dokumentasi pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun