Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Quadragesima dan Keabadian

4 April 2021   06:00 Diperbarui: 5 April 2021   01:35 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup di dunia ini, tentu kita tidak bisa lepas dari dimensi ruang dan waktu. Perjalanan ruang dan waktu adalah keniscayaan, meskipun ada orang yang tidak menginginkannya (baca: ingin selalu berusia muda). Selain pertambahan usia, pergeseran waktu membawa manusia dari ruang dunia lawas, masuk ke dalam dunia baru.

Jika waktu adalah keniscayaan, maka ada pertanyaan yang perlu dijawab. Yaitu, tentang apa sebenarnya waktu dan kapan dimulainya?

Bukanlah perkara mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. 

Para ahli telah mengemukakan berbagai macam teori tentang waktu. Ada yang mengatakan waktu dimulai pada saat terjadinya big bang, yaitu ledakan besar yang menyebabkan terbentuknya tata surya.

Albert Einstein, seorang fisikawan yang namanya tidak asing, mengatakan bahwa waktu itu sesuatu yang relatif. Bahkan ada ahli yang mengatakan, waktu sebenarnya tidak ada!

Pada tulisan kali ini, saya tidak ingin membicarakan waktu dengan dimensi jagat raya, seperti pendapat para ahli diatas. 

Saya mau membatasi pembicaraan tentang perjalanan waktu selama 40 hari yang saya alami sebagai orang Katolik, pada masa Prapaskah yang disebut quadragesima (dari bahasa Latin). Saya ingin membahas ini, karena rentang waktu 40 hari mempunyai makna tersendiri, dengan dua alasan berikut.

Pertama, 40 sangat istimewa, karena kita bisa menemukan angka ini digunakan dalam Alkitab beberapa kali.

Misalnya, Nuh terombang-ambing selama 40 hari di dalam bahtera setelah banjir besar melanda dunia. Musa dan Yesus melakukan puasa selama 40 hari. Setelah kebangkitanNya pada hari Paskah yang dirayakan hari ini, Yesus tinggal di bumi selama 40 hari sebelum naik ke surga.

Karena banyak digunakan dalam Alkitab, mungkinkah 40 merupakan angka keberuntungan? Saya tidak tahu jawabannya.

Kedua, quadragesima merupakan masa penting bagi manusia untuk melakukan perubahan hati dan pikiran. Secara konkret, dari yang egosentris (selalu berpusat pada diri sendiri), menjadi hati dan pikiran yang diarahkan kepada Tuhan dan sesama.

Dalam rentang waktu 40 hari itu, puasa yang kita lakukan pada hakikatnya bukan sekadar puasa lahir. Yaitu tidak makan kenyang, maupun pantang atas makanan atau hobi. 

Yang lebih penting adalah, bagaimana selama 40 hari itu orang sadar atas dosa-dosa yang telah dilakukan, sesudah itu memohon ampun. Apalagi puncak quadragesima adalah kebangkitan Kristus. 

Hari ini, hendaknya kita dapat menjadi satu dengan Yesus Kristus, yang wafat kemudian bangkit agar manusia bisa keluar dari kerajaan maut, menuju kehidupan dalam kerajaan yang abadi. 

Bukanlah suatu hal yang kebetulan bahwa quadragesima, ternyata berhubungan dengan situasi yang kita alami sekarang.

Alasannya begini. Saat ini, dunia sedang dilanda pandemi Covid-19. Bagi orang yang bepergian antar kota maupun antar negara, mereka harus masuk karantina baik secara mandiri, maupun di tempat-tempat yang sudah disediakan.

Karantina, berasal dari kata quarantine dalam bahasa Inggris, yang diambil dari bahasa Italia, quaranta. Nah, kata quaranta, artinya juga empat puluh. 

Pada masa pandemi ini, kita memang (terkadang) masih terbelenggu, entah karena karantina maupun karena sebab lain. Akan tetapi, tidak perlu khawatir apalagi pesimis, karena pandemi bukan melulu menimbulkan efek buruk. 

Kalau mau sedikit mengubah cara pandang, penderitaan orang karena pandemi justru memberi arti lebih kepada kita semua. Lah, bagaimana ceritanya penderitaan itu memberi arti lebih?

Jawabannya simpel. Penderitaan yang terkadang berakhir dengan kematian, bisa membuat manusia menjadi sadar bahwa kehidupan sebagai anugerah Tuhan, adalah tiket yang berlaku satu kali jalan. Bukan seperti tiket pulang pergi, di mana orang dapat memakainya dua kali. Bukan juga seperti tiket abonemen yang boleh kita pakai berulang kali.

Tidak hanya kehidupan seumur hidup, namun kehidupan hari per hari, jam per jam, menit per menit, bahkan detik per detik pun, hanya kita rasakan satu kali saja. Waktu yang telah berlalu tidak akan bisa diputar ulang dan alami kembali, bak memutar ulang kaset rekaman.

Empat puluh hari pantang dan puasa itu hendak mengingatkan kembali, bahwa waktu yang kita jalani di dunia ini terbatas. Keterbatasan manusia terasa jelas saat awal quadragesima. Yaitu melalui misa Rabu Abu, yang merupakan ingatan, bahwa manusia berasal dari abu, dan akan kembali menjadi abu. 

Rabu Abu, selain sebagai ingatan, bagi saya adalah hari istimewa. Karena Rabu Abu tahun 2021, merupakan tanda awal bisa kembali mengikuti misa secara langsung di gereja. 

Sebagai catatan, misa Rabu Abu tahun 2020 adalah hari terakhir saya ke gereja. Setelah itu gereja tertutup untuk segala kegiatan, dengan alasan jumlah orang terjangkiti virus bertambah secara drastis di Tokyo.

Kita kembali pada keterbatasan manusia. Walau itu terbatas, hendaknya menjadikan orang sadar. Sehingga dalam keterbatasan, kiranya dapat mengantar orang agar dapat menemukan keilahian, yang akan membuat kita terbebas.

Manusia tidak boleh menyerah pada keterbatasan. Kendati ada keterbatasan, secara bersamaan manusia harus berusaha supaya dapat menemukan jalan menuju keabadian, melalui aktivitas, pengalaman hidup, bahkan dari penderitaan yang dialami.

Bagaimana caranya? Caranya adalah melakukan sungguh-sungguh perjalanan quadragesima.

Yaitu, pertama dengan memohon ampun atas dosa-dosa yang telah kita perbuat. Kemudian mengubah hati dan pikiran yang egois, menjadi hati dan pikiran yang terarah kepada Tuhan dan sesama. Terakhir, mempersiapkan diri kita kembali untuk mengulang, dan menjalankan dengan sungguh-sungguh janji baptis.

Quadragesima memang penuh penderitaan. Akan tetapi kita harus ingat, bahwa penderitaan akibat perjalanan pantang dan puasa yang mungkin terasa berat selama 40 hari itu, bukanlah tujuan akhir.

Manusia harus sadar bahwa tujuan akhir adalah, menjadi satu dengan Kristus yang kebangkitanNya kita rayakan hari ini.

Dengan begitu, jika nanti mengalami penderitaan dalam perjalanan hidup, maka kita tidak boleh menganggap bahwa itu adalah kehendak Tuhan. Apalagi berharap bahwa kebahagiaan akan datang, setelah manusia mengalami penderitaan, yang dianggap sebagai cobaan.

Penderitaan, bukanlah cobaan.

Penderitaan ada bukan karena Dia menginginkan manusia untuk dapat bertahan dalam perjalanan hidup. Akan tetapi kita harus yakin bahwa dalam penderitaan pun, Dia pasti setia mendampingi, memberi kekuatan dan pertolongan, agar kita tetap bertumbuh kemudian berbuah.

Sebagai murid Kristus, orang harus siap dan tegar menghadapi penderitaan, apa pun bentuknya. Dengan keyakinan bahwa Dia pasti akan menghadirkan kebahagiaan, dalam setiap penderitaan yang kita alami. 

Itulah caraNya untuk membimbing, akhirnya membukakan jalan untuk kita menuju keabadian. 

Supaya bisa menuju ke sana, sebagai orang yang percaya kita bisa mulai dengan cara lahir kembali manjadi manusia baru, pada perayaan Paskah mulia hari ini.

Kristus telah bangkit, Alleluia!

Selamat Paskah dan selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun