Kalau tentang keadaan "new" atau yang tidak menurut pola umum, kita bisa dengan mudah melihatnya mulai dari kehidupan sehari-hari.
Misalnya saja di Jepang pada awal masa pandemi, semua jenis tisu tiba-tiba hilang bak ditelan black hole. Padahal biasanya, tisu banyak tersedia dan menumpuk di rak-rak penjualan, baik di warung dekat rumah sampai toserba.
Penyebabnya, karena ada isu bahwa distribusi kertas terganggu oleh pandemi. Sehingga penduduk menjadi panik dan memborong semua tisu, mulai dari tisu wajah, sampai tisu toilet pun lenyap.
Kemudian contoh lain. Setelah jumlah orang terjangkiti virus meningkat, semua orang mulai memakai masker. Masker sempat menjadi komoditi langka di pasaran.
Akibat memakai masker, maka kita harus mengubah cara berkomunikasi.
Contohnya saat kita berbicara langsung, karena tidak bisa lagi melihat mulut orang berbicara (tertutup masker), kita jadi lebih sulit menebak bagaimana maksud (arah) pembicaraan lebih jauh.
Sehingga orang dituntut lebih peka terhadap gerakan badan (dan mata), maupun intonasi suara untuk menerka lebih dalam arah pembicaraan.
Bagi Anda yang punya pengalaman berbelanja di Jepang, pasti tahu bahwa senyuman merupakan senjata utama pramuniaga.
Sayangnya kita tidak bisa melihat senyuman itu lagi, karena mereka mengenakan masker saat ini. Walaupun ada beberapa pramuniaga yang memakai masker transparan, agar pengunjung bisa melihat "senjata utama" mereka lebih jelas.
Dibanding sebelum pandemi, saat ini kita lebih sering menggunakan Zoom, Line, Google Meet, Teams, Slack dan aplikasi lainnya untuk berkomunikasi.
Cara bekerja juga mulai berubah. Orang tidak perlu lagi pergi ke kantor, namun boleh melakukan segala kegiatan dari rumah.